TERPERANJAT saya atas putusan kasasi Mahkamah Akbar yang terkesan berpihak kepada koruptor. Hukuman penjara Edhy Prabowo yang semula 9 tahun dipangkas menjadi tinggal 5 tahun. Pencabutan hak politik Edhy juga dikoreksi dari 3 tahun menjadi 2 tahun.
Majelis kasasi mengoreksi putusan banding Absah-Absah saja dan harus dianggap Betul Tamat Eksis putusan lain yang menganulirnya. Tetapi, saya terperanjat dengan argumentasinya.
Majelis kasasi menilai hakim di tingkat banding Tak mempertimbangkan unsur meringankan terdakwa dalam memutus perkara. Haruskah hakim banding mempertimbangkan unsur meringankan? Itu persoalan pertama. Persoalan kedua tentu saja terkait dengan substansi unsur yang meringankan itu. Substansinya, menurut saya, sangat politis sehingga Tak Layak dijadikan pertimbangan hukum oleh hakim, apalagi hakim Akbar.
Menurut majelis kasasi, Ketika Tetap menjabat menteri kelautan dan perikanan, Edhy Prabowo dinilai sudah bekerja dengan Berkualitas dan memberikan Cita-cita besar kepada nelayan. Itu terlihat dari tindakan Edhy yang mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2016 dan menggantinya dengan Peraturan Menteri KP Nomor 12/PERMEN-KP/2020 tentang aturan pemanfaatan benih bening lobster (BBL).
Aturan itu, kata majelis kasasi, Mau memberdayakan nelayan karena budi daya lobster di Indonesia sangat besar. Melalui perubahan aturan itu, kebijakan Edhy yang mensyaratkan eksportir memperoleh BBL dari nelayan kecil dianggap menyejahterakan rakyat kecil. Konklusi itu terkesan tergesa-gesa.
Tersirat pertimbangan majelis kasasi membenarkan Edhy mencabut keputusan menteri sebelumnya, Susi Pudjiastuti, yang melarang ekspor benur lobster. Seolah-olah Edhy Betul dan Susi salah.
Kalau alur pikir Edhy Betul dalam membolehkan ekspor benur lobster, salahkah Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono yang kembali melarang ekspor benur lobster? Apakah Mas Treng, begitu Trenggono disapa, Tak berpihak kepada kesejahteraan rakyat kecil?
Trenggono yang menggantikan posisi Edhy melarang ekspor benih bening lobster melalui Permen KP Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp).
Dalih pelarangan dalam pertimbangan peraturan yang dikeluarkan pada 24 Mei 2021 itu ialah menjaga keberlanjutan dan ketersediaan sumber daya perikanan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, kesetaraan teknologi budi daya, pengembangan investasi, peningkatan devisa negara, serta pengembangan pembudidayaan lobster, kepiting, dan rajungan.
Dengan demikian, Konklusi majelis kasasi yang menyebutkan kebijakan Edhy menguntungkan nelayan Mekanis gugur pada Ketika kebijakan itu dikoreksi pada 24 Mei 2021. Sesungguhnya, kebijakan yang Betul dari sisi politik dan didukung basis argumentasi akademik ialah melarang ekspor benur lobster.
Kajian Yuni Sudarwati dari Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR menyebutkan pilihan Kepada membuka ekspor benur demi kehidupan nelayan sepertinya bukan pilihan bijak. Rianta Pratiwi dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI menyebut ekspor benur lobster sesungguhya Tak Membikin nelayan mendapatkan keuntungan. Dengan demikian, kebijakan Susi dan Mas Treng yang Betul.
Apakah kebijakan yang, katanya, menguntungkan nelayan itu harus masuk dalam pertimbangan yang meringankan oleh majelis hakim banding? Surat putusan pemidanaan, menurut Pasal 197 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), harus memuat lengkap 13 unsur. Pada huruf f tertera memuat keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
Ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP mengenai sistematika formal putusan hakim mempunyai sifat perintah, rigid, dan memaksa. Apabila Tak terpenuhi salah satu dari 13 unsur itu itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (2), akan mengakibatkan putusan batal demi hukum. Tetapi, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi 103/PUU-XIV/2016, konstitusionalitas Pasal 197 ayat (1) hanya Kepada surat putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama.
Surat putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama memang memuat pertimbangan keadaan yang memberatkan dan meringankan Edhy Prabowo. Sementara itu, putusan pengadilan banding hanya memuat unsur memberatkan tanpa unsur meringankan.
Keadaan yang memberatkan menurut pengadilan tingkat pertama ialah perbuatan terdakwa Tak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi; terdakwa selaku penyelenggara negara, Adalah Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Tak memberikan teladan yang Berkualitas sebagai pejabat publik; dan terdakwa telah menggunakan hasil tindak pidana korupsi.
Keadaan yang meringankan ialah terdakwa berlaku sopan selama pemeriksaan di persidangan; terdakwa belum pernah dihukum; sebagian Aset terdakwa yang diperoleh dari tindak pidana korupsi telah disita.
Kebijakan Edhy yang memberikan celah perbuatan korupsi tentu saja Tak sepatutnya dijadikan bahan pertimbangan yang meringankan oleh majelis hakim.