Rekonsiliasi Nasional Pascapemilu

Rekonsiliasi Nasional Pascapemilu
Ilustrasi(MI/Seno)

DALAM naskah yang diajukan ke ISEAS-Yusof Ishak Institute, Hafiz Al Azad (2018) membuat judul yang sangat provokatif untuk menggambarkan media sosial dan dunia maya lainnya, yaitu cyber jahiliyyah. Istilah itu mengacu kepada berbagai bentuk sektarianisme (algorithmic enclaves) dan karut-marut dunia maya yang seakan belum menerima pencerahan dengan kehadiran seorang nabi.

Masyarakat jahiliah Arab pra-Islam sering digambarkan sebagai masyarakat penyembah berhala, membunuh anak-anak, memperbudak dan memperdagangkan manusia, dan juga menjadikan perempuan sekadar sebagai properti. Dunia maya saat ini juga digambarkan sebagai tempat yang uncivilized atau belum memiliki peradaban dan menunggu kehadiran ‘nabi’ atau ‘filsuf’ yang bisa memberi pedoman moral.

Ketakberadaban dunia siber itu semakin terasa dalam suasana politik ketika masyarakat mengalami polarisasi yang keras. Sikap ‘ashabiyyah‘ atau sektarianisme itu muncul dalam kecenderungan untuk hanya memiliki kawan dan informasi sepihak. Kita kadang bahkan memutus perkawanan, meng-unfriend, dengan mereka yang berseberangan pandangan. Dunia digital menjadi digital fortresses (benteng) yang membentengi kita dari informasi berbeda.

Sedihnya, alih-alih menjadi ‘sang pencerah’, selama pemilu kemarin agama justru menjadi kompor bagi panasnya suasana politik, terutama di dunia maya. Politik identitas dengan menggunakan agama menjadi warna yang kental dalam kontestasi pemilihan presiden dan membelah masyarakat menjadi dua kubu yang terus berhadapan dan saling menghujat. Inilah yang disebut dengan politisasi agama, yaitu menjadikan agama semata-mata sebagai tunggangan untuk meraih ambisi politik.

Cek Artikel:  Debat Ambang Batas

Amin Abdullah menggambarkan ini dengan menyebut agama sebagai alat untuk antem-anteman. Alih-alih saling menasihati, para dai dan penceramah sibuk saling melempar hoaks, fitnah, dan kebencian. Kubu yang satu menuduh kelompok lain tak bisa wudu dan salat, sementara kubu lainnya membalas dengan menyebut lawannya sebagai anti-Islam.

 

Spiritualisasi dan komodifikasi

Politisisasi agama sebetulnya hanya salah satu dari tiga kecenderungan keagamaan yang menggejala saat ini. Abdul Mu’ti, Sekretaris Lumrah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, misalnya, melihat dua model keberagamaan lain yang saat ini menggejala di masyarakat, yaitu spiritualisasi dan komodifikasi.

Maksud spiritualisasi di sini mengacu ke kecenderungan pada orientasi ritual dan spiritual, serta lupa bahwa misi utama dari perintah keagamaan itu ialah pengejawantahannya dalam urusan dunia dan kemanusiaan. Pada pengajian di kantor Muhammadiyah Menteng beberapa waktu lalu, Haedar Nashir, misalnya, mencontohkan tentang fenomena masyarakat yang memiliki semangat beribadah yang begitu luar biasa. Bahkan beberapa pimpinan daerah, menurutnya, mewajibkan untuk salat berjemaah. Meski demikian, dalam kehidupan sosial mereka ini tidak mencerahkan.

Sealur dengan kritik terhadap spiritualisasi di atas, Hajriyanto Thohari (2015) juga melihat bahwa keberagamaan kita itu cenderung inward-looking yang membuat masyarakat kita, meski majemuk, tapi segmented (terbelah) dan segregated (terkotak-kotak). Dengan mengutip ungkapan yang cukup terkenal, Hajriyanto menyebutkan bahwa mestinya menjadi religious itu menjadi interreligious (to be religious today is to be interreligious). “Bahwa tanpa memahami iman tetangga, orang atau komunitas beragama yang hidup dalam masyarakat yang majemuk bahkan tidak dapat memahami dirinya sendiri,” katanya. Tetapi, pada kenyataannya tidak demikian, kita semakin anti terhadap perbedaan.

Cek Artikel:  Selimut Tebal di Musim Panas

Selain kecenderungan negatif terkait spiritualisasi, komodifikasi agama juga menjadi sesuatu yang trendy saat ini. Istilah sederhananya, agama menjadi ‘ladang bisnis’. Ini bisa dilihat dengan maraknya tour and travel yang menawarkan umrah dan haji atau ziarah ke tempat-tempat suci, penjualan berbagai jenis jilbab dan fashion show muslim, semaraknya labelisasi halal dan sertifikasi syariah, digandrunginya film dan musik-musik religi, serta berkembangnya klaster perumahan dan pekuburan berdasarkan agama tertentu. Tentu ini tak sepenuhnya negatif, tapi sering kali karena ghirah (semangat) beragama yang tinggi di masyarakat, ada perusahaan yang memanfaatkannya dengan menipu dan menelantarkan para jemaah umrah.

 

Otoritarianisme Keyakinan

Terdapat beberapa tantangan seusai pemilu yang mesti dihadapi. Tantangan pertama tentu saja ialah melakukan rekonsiliasi nasional terhadap berbagai elemen bangsa yang selama pemilu terpolarisasi, saling menafikan dan bermusuhan. Sebelum polarisasi sosial ini semakin melebar dan sulit diatasi atau bahkan dimanipulasi kembali untuk Pemilu 2024, Jokowi perlu bertindak cepat. Tantangan lainnya ialah menyelesaikan persoalan yang terkait dengan spiritualisasi dan komodifikasi agama.

Cek Artikel:  Transformasi BKKBN demi Kesejahteraan Rakyat Kita

Selain ketiga tantangan tersebut, masih ada tantangan baru yang bisa saja muncul, yaitu ancaman otoritarianisme agama. Meskipun pada 1984 NU menyatakan dirinya kembali ke khitah (misi dasar sebagai gerakan sosial keagamaan), kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin akan menjadikan NU kembali menjadi bagian integral pemerintah. Menggunakan istilah yang sering dipakai di lingkungan NU, mereka bisa kembali menjadi ashab al-qoror atau pembuat keputusan.

Kolaborasi antara Jokowi dan NU mengingatkan kita pada kolaborasi politik dan agama di Arab Saudi, antara Ibn Saud dan Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri Wahhabisme). Meski NU memiliki orientasi keagamaan yang berlawanan langsung dengan Wahhabisme, peran mereka dalam memenangkan Jokowi dapat memicu mereka untuk meminta bagian yang banyak dalam pemerintahan baru. Kalau kolaborasi antara kekuasaan agama dan politik terjadi, akan sulit untuk mengkritik kebijakan pemerintah. Kalau tak hati-hati, ini bisa memunculkan apa yang disebut dengan otoritarianisme agama. Bahayanya ialah bahwa NU bisa menjadi satu-satunya penentu keputusan terkait isu-isu agama dan menjadi pemegang kekuasaan dalam hal ortodoksi dan heterodoksi. Kalau ini terjadi, dikotomi ‘NU vs Islam lainnya’ bisa menjadi lebih besar.

Mungkin Anda Menyukai