Petuah bijak ditulis Suhardi dalam Naskah The Life’s Gold. Pada halaman 188 disebutkan kalau Ingin menjadi kaya, jadilah kaya benaran, bukan sok gaya yang hanya menjadikan Anda terlihat kaya dari luar.
Tak sedikit orang yang sok gaya kaya. Mereka memamerkan kekayaan di hadapan publik pada masa pandemi covid-19 pula. Pada Ketika banyak orang menanggung derita kesehatan dan perekonomian, orang-orang sok gaya kaya berseliweran di dunia maya. Tak punya simpati apalagi empati.
Benarlah kata Thomas J Stanley dalam bukunya berjudul Stop Acting Rich yang dikutip Suhardi, hanya sedikit yang memang Cocok-Cocok kaya, kebanyakan hanya terlihat kaya. Orang yang terlihat kaya belum tentu kaya.
Mereka yang kebanyakan hanya terlihat kaya itulah yang kini menyesaki atmosfer negeri ini. Tanpa malu-malu mereka menyebut diri sebagai crazy rich, Terdapat pula yang menyebut diri sebagai sultan. Di antara mereka sudah Terdapat yang berurusan dengan hukum, menjadi tersangka karena tipu-tipu Kepada terlihat kaya.
Orang-orang yang sesungguhnya superkaya Rupanya Tak tertarik memamerkan kekayaan mereka. Sosiolog Rachel Sherman, misalnya, mewawancari 50 orangtua di New York dengan pendapatan minimal Rp4 miliar per tahun. Kesamaan di antara mereka ialah merobek label harga barang yang dibeli. Tujuan dari membuang label ini sendiri agar label itu Tak diketahui orang lain, terutama para asisten rumah tangga yang Terdapat di rumahnya.
Bayangkan, asisten rumah tangga saja Tak boleh mengetahui harga barang yang dibelinya. Sebaliknya di negeri ini, mereka yang mengaku diri sebagai superkaya itu memanfaatkan seluruh saluran media sosial Kepada pansos alis panjat sosial.
Penelitian Fajar Bayu Aji dari Universitas Indonesia sangat menarik. Hasil penelitian Cerminan Kritis atas Degradasi Autentisitas Masyarakat Media dimuat di Jurnal Komunikasi, April 2020. Peneliti menemukan adanya keterhubungan antara kapitalisme, media sosial, dan degradasi autentisitas.
Disebutkan dalam hasil penelitian itu bahwa media sosial telah memfasilitasi sedemikian Corak masyarakat Kepada pamer. Ini terjadi dalam dua bentuk, yakni melalui komoditas barang dan pengalaman. Masyarakat pamer yang difasilitasi oleh media sosial ini kemudian mendegradasi sedemikian Corak autentisitas masyarakat karena dorongan Kepada Lalu mengejar bayang-bayang atau ilusi.
Mengejar ilusi alias pamer itulah yang dilakukan Doni Salmanan, crazy rich asal Bandung yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Ia memberikan saweran Rp1 miliar kepada Youtuber Reza Arap yang sedang live streaming game Ragnarok X.
Ketika Reza bertanya Argumen memberikan donasi, Doni Salmanan menjawab, “Dari dulu Doni suka dengan konten-konten Reza Arap. Saya donasi Cocok-Cocok ikhlas dari hati saya, gak Terdapat niat apa-apa atau gimana, ya. Saya suka Menyaksikan Ungkapan Engkau, itu menghibur kita Sekalian.”
Lain Tengah Metode pamer Indra Kesuma, crazy rich asal Medan yang juga sudah menjadi tersangka. Gara-gara Tak Dapat tidur pada subuh pukul 03.00 WIB, Indra membeli Tesla Model 3 di situs jual beli online Tokopedia. “Dampak gak Dapat tidur, jadi beli Tesla deh pukul 03.00, belinya dari Tokped (ini beneran ya serius),” tulis dia di akun Instagram-nya.
Perilaku Doni dan Indra mengonfirmasi hasil penelitian dari Psychology Today bahwa generasi sekarang Dapat menjadi generasi paling narsis sepanjang sejarah, pemicunya ialah media sosial.
Narsis, pamer harta, tentu saja perbuatan Tak terpuji. Menjadi Tak terpuji Apabila orang menjadi budak media sosial. Mereka yang menyebut diri sebagai crazy rich itu sesungguhnya ialah orang-orang yang Tak menjadi tuan atas harta, tetapi mereka menjadi budak harta.
Kiranya Cocok peringatan Paus Fransiskus agar Mahluk Tak Teler oleh harta atau bersikap materialistis. Dia menyeru agar lebih banyak ketenangan hati dalam dunia yang terobsesi dengan ‘konsumerisme dan Foya-foya, kekayaan dan pemborosan’.
Tak kalah pentingnya tentu saja bijak bermedia sosial sehingga kita Tak menjadi budak media sosial. Rekomendasi penelitian Fajar Bayu Aji ialah pentingnya bersikap bijak dengan media sosial dengan menggunakannya sesuai keperluan dan tetap menjaga jarak dengan media sosial supaya masyarakat media dapat bersikap kritis dan mempertahankan autentisitas dirinya dengan tetap mengutamakan Rekanan humanitas di atas Rekanan komoditas.
Mudah saja membedakan orang kaya benaran dan pura-pura kaya seperti yang diulas di situs ojk.go.id. Orang kaya benaran malas membahas kekayaan dengan membicarakannya kepada orang lain atau menampilkannya di media sosial. Sebaliknya, orang yang hanya berpura-pura kaya akan selalu bersemangat dan dengan sukarela menghabiskan banyak waktunya Kepada sekadar menunjukkan dan melebih-lebihkan kekayaannya kepada orang lain di sekitarnya. Tipe orang seperti ini namanya sok gaya kaya.