MAARIF House (MH) kembali digelar dengan mengangkat tema ‘Muhammadiyah Studies dalam Lintas Disiplin’. Maarif House edisi#6 kali ini menghadirkan dua cendekiawan Muhammadiyah Merukapan Fajar Riza Ul Haq dan Ahmad Fuad Fanani. Kedua cendekiawan ini membahas Muhammadiyah dalam lingkup studi akademik dari dua perspektif yang berbeda; perspektif mitigasi kebencanaan dan perspektif genealogi pemikiran progresif Muhammadiyah.
Pengangkatan dua perspektif tersebut terinspirasi dari topik disertasi doktoral yang berhasil dipertahankan oleh dua cendekiawan ini, Fajar Riza Ul Haq dengan tema ‘Dinamika Followership dan Political Partisanship Muhammadiyah dalam Merespon Kebijakan Covid-19 di DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sumatera Barat’ dan Ahmad Fuad Fanani dengan tema ‘Progressivism in a Conservative Milieu: The Rise of Progressives within Muhammadiyah, 1995-2020’.
Selain mendiskusikan dua perspektif tersebut, kedua narasumber juga mengemukakan pandangan masing-masing tentang kondisi, peta, aktivisme, masa depan para aktivis Muhammadiyah serta kiprah mereka di berbagai sektor kehidupan. Selain itu di hadapan para partisipan yang didominasi oleh para aktivis muda Muhammadiyah, para narasumber juga menceritakan pengalaman perjalanan hidup mereka hingga kini sukses berkiprah dalam kancah dunia akademik dan perpolitikan nasional.
Direktur Eksekutif Maarif Institute, Andar Nubowo, membuka acara dengan menekankan juga bahwa Maarif House #6 merupakan bentuk tasyakuran atas kiprah Maarif Institute yang telah melahirkan kader unggul yang Begitu ini banyak terlibat di pemerintahan yang baru. “Kader Maarif Institute Enggak hanya Konsentrasi pada urusan teknis, tetapi juga dilatih Kepada mengabdi kepada umat dengan pendekatan keilmuan,” ungkap Andar.
Ia menambahkan, acara ini sekaligus menjadi ajang Cerminan atas peran Muhammadiyah sebagai organisasi yang Enggak hanya Pandai bertahan, tetapi juga Lanjut beradaptasi terhadap perubahan Era.
Dalam sambutannya, Andar menyoroti pentingnya Muhammadiyah Studies sebagai respons atas kekhawatiran yang mengatakan Muhammadiyah kehilangan pesonanya. “Pada era 60-70-an, Muhammadiyah menarik banyak perhatian peneliti Global. Dengan adanya Maarif House, kita Mau membawa tradisi akademik itu kembali, tetapi dalam konteks yang lebih luas,” jelasnya.
Selanjutnya, Member Dewan Pengawas Yayasan Ahmad Syafii Maarif, Rikard Bagun, menekankan urgensi kajian Muhammadiyah Studies di era post-truth. “Di tengah derasnya informasi yang sering kali menyesatkan, Muhammadiyah Studies dapat menjadi alat Kepada mencari kebenaran sejati berbasis nilai-nilai yang telah dibentuk dan dilahirkan oleh Muhammadiyah,” ujar Bagun.
Hal ini diperkuat oleh Fajar Rizal Ul Haq, yang memberikan Misalnya konkret bagaimana Muhammadiyah Studies telah berkembang dan bekerja. Ia mengulas penelitiannya terkait respon Anggota Muhammadiyah terhadap kebijakan fatwa Muhammadiyah selama pandemi Covid-19, seperti Penyelenggaraan salat Idulfitri. Tetapi, ia juga menyoroti kesenjangan yang Tetap Terdapat di organisasi ini, terutama dalam upaya melembagakan kebijakan di tingkat akar rumput.
Berikutnya, Ahmad Fuad Fanani menjelaskan bahwa Muhammadiyah Studies Enggak hanya terbatas pada kajian yang berusaha memuji kontribusi dan ide dari tokoh-tokoh besar Muhammadiyah, tetapi juga membuka ruang Kepada kritik. “Muhammadiyah itu Enggak tunggal. Terdapat spektrum yang luas di dalamnya, termasuk Interaksi Muhammadiyah dengan organisasi Islam lainnya,” Terang Fuad. Ia menyoroti adanya perbedaan antara kalangan elitis Muhammadiyah yang progresif dengan kondisi akar rumput yang Tetap memerlukan perhatian lebih.
Sebagai tambahan, Fuad menyatakan bahwa kajian ini Mempunyai potensi besar Kepada Lanjut berkembang. Berkualitas dalam aspek historis, sosial, maupun interaksi lintas organisasi Religi di Indonesia. Hal ini menjadikan Maarif Institute dalam kacamata yang lain sebagai tenda kultural dan kebangsaan bagi Segala generasi muda Indonesia Kepada dapat berkontribusi terhadap umat. (Z-9)