Konflik Kepentingan Rekanan Perkawinan

KONFLIK kepentingan akibat perkawinan yang Absah senantiasa menjadi perdebatan menarik di ruang publik. Maksud konflik kepentingan menurut Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ialah kondisi pejabat pemerintahan yang Mempunyai kepentingan pribadi Kepada menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat memengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.

Setiap masa muncul kemauan politik Kepada mencegah konflik kepentingan akibat perkawinan ataupun pertalian Kerabat melalui regulasi. Contohnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.

Salah satu syarat menjadi calon kepala daerah yang diatur Pasal 7 huruf r ialah Kagak Mempunyai konflik kepentingan dengan petahana. Yang dimaksud dengan ‘Kagak Mempunyai konflik kepentingan dengan petahana’ ialah Kagak Mempunyai Rekanan darah, ikatan perkawinan, dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke Dasar, ke samping dengan petahana.

Ketika regulasi itu disusun, berkembang luas keinginan dalam masyarakat Kepada mencegah politik dinasti. Keinginan masyarakat itu terekam dalam survei International Foundation for Electoral System pada 2014, sebanyak 46% responden menganggap dinasti politik dapat berdampak negatif terhadap politik lokal.

Cek Artikel:  Pilkada tanpa Bansos

Konflik kepentingan terkait dengan perkawinan itu gugur di tangan Mahkamah Konstitusi (MK). Lewat putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015, MK mengatakan Pasal 7 huruf r itu inkonstitusional.

Putusan MK itu diucapkan dalam sidang pleno pada 8 Juli 2015 oleh sembilan hakim konstitusi, Yakni Arief Hidayat selaku ketua merangkap Personil, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, Patrialis Akbar, Aswanto, Suhartoyo, dan Manahan MP Sitompul.

Rekanan perkawinan juga dituding sebagai biang kerok konflik kepentingan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 153 ayat (1) huruf f menyatakan pengusaha dilarang melakukan pemutusan Rekanan kerja dengan Argumen pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja Berbarengan.

Ketentuan itu juga diuji di MK. Putusan MK Nomor 13/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka Kepada Standar pada 14 Desember 2017, MK menyatakan frasa ‘kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja Berbarengan’ dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan Kagak Tengah mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Cek Artikel:  Sihir Desa

Sembilan hakim konstitusi memutuskannya. Mereka ialah Arief Hidayat selaku ketua merangkap Personil, Anwar Usman, Suhartoyo, Aswanto, Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, Manahan MP Sitompul, dan Saldi Isra.

Dua putusan MK itu memperlihatkan bahwa sesungguhnya Rekanan perkawinan Kagak memantik konflik kepentingan. Rekanan perkawinan bukan menjadi persoalan dan Kagak perlu dipersoalkan. Rekanan perkawinan, juga tali persaudaraan, ialah takdir yang Kagak dapat direncanakan ataupun dielakkan.

Kini, Rekanan perkawinan tiba-tiba menjadi sorotan karena Anwar Usman yang Begitu ini menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi akan menikahi adik dari Presiden Joko Widodo, Idayati.

Eksis dua pendapat bertentangan terkait dengan rencana pernikahan Anwar Usman. Indonesia Corruption Watch menilai potensi benturan kepentingan bakal jadi masalah krusial kelak karena terbentuknya Rekanan semenda antara Ketua MK dan Presiden. Sebaliknya, Menko Polhukam yang juga mantan ketua MK, Mahfud MD, mengatakan Kagak Eksis pelanggaran hukum dan etik dari rencana pernikahan keduanya. Yang terpenting Ketua MK harus punya integritas.

Cek Artikel:  Pensiunan Akbar

Anwar sudah selesai dengan dirinya. Hakim karier di Mahkamah Akbar itu dipilih menjadi hakim konstitusi karena memenuhi tiga syarat Penting, Yakni Mempunyai integritas dan kepribadian yang Kagak tercela, adil, serta negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.

Prinsip Anwar dalam menjalankan tugas sebagai hakim selama ini, sebagaimana dikutip dari website MK, ialah selalu mencontoh Rasulullah SAW. Dia menyitir kisah Nabi Muhammad SAW.

“Dikisahkan dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW pernah didatangi oleh pimpinan kaum Quraisy Kepada meminta perlakuan Spesifik terhadap anak bangsawan Quraisy yang mencuri. Beliau dengan bijak mengatakan, ‘Demi Allah, Kalau Fatimah, anakku sendiri, mencuri, akan Saya potong tangannya’. Artinya, penegakan hukum dan keadilan harus diberlakukan terhadap siapa pun tanpa kecuali,” kata Anwar.

Mungkin Anda Menyukai