KATA para petinggi negara, korupsi adalah persoalan darurat Buat segera diatasi. Kata mereka, pemiskinan merupakan Langkah paling Betul Buat menciptakan Pengaruh jera bagi koruptor dan calon-calon koruptor. Akan tetapi, hingga kini, antara katanya dan apa yang harus mereka lakukan Tetap saja kontradiktif, tetap berkebalikan.
Agar upaya pemberantasan korupsi lebih bertaji, supaya usaha menghadirkan Pengaruh jera lebih mengena, regulasi yang lebih tajam Buat mengatur perampasan aset semestinya sudah jauh-jauh hari dibuat. Tetapi, faktanya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana sudah Dekat dua Sepuluh tahun sekadar menjadi rancangan.
RUU tersebut, jangankan disahkan, dibahas pun belum. Ia memang sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023, tetapi Tamat detik ini tetap saja jalan di tempat.
Sebagai pembuat undang-undang, pemerintah dan DPR tak serius Buat selekasnya mengesahkan RUU itu. Kesan tersebut datang dari ruangan Komisi III DPR dalam rapat dengan Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Dana Mahfud MD, Rabu (29/4).
Dalam rapat dengar pendapat Lumrah membahas transaksi mencurigakan Rp349 triliun di Kementerian Keuangan itu, Mahfud yang juga Menko Polhukam meminta dukungan langsung Komisi III melalui ketuanya, Bambang Wuryanto. Selain RUU Perampasan Aset, Mahfud juga menyampaikan pentingnya RUU Restriksi Dana Kartal.
Pembahasan RUU Perampasan Aset memang ranah Komisi III. Yang jadi soal, Bambang berterus terang bahwa Personil dewan merupakan kader partai yang tunduk kepada ketua Lumrah partai. Karena itu, dia menyarankan pemerintah berbicara dengan para ketua Lumrah partai terlebih dahulu.
Begitu terang benderang bahwa Personil DPR yang semestinya mewakili rakyat, menampung aspirasi rakyat, memperjuangkan kehendak rakyat, nyatanya lebih berperan sebagai wakil partai. Kalau begitu, sulit kita berharap mereka punya kemauan kuat Buat secepatnya merampungkan RUU Perampasan Aset selama tak Eksis perintah dari ketua Lumrah partai.
Wajar, sangat wajar, pemerintah termasuk melalui Mahfud MD Lalu mengingatkan DPR akan pentingnya UU Perampasan Aset. Akan tetapi, tak wajar pemerintah gigih menyadarkan dewan, tetapi mereka sendiri tak sadar-sadar bahwa undang-undang itu sangat mendesak. Buktinya, hingga kini pemerintah belum juga melimpahkan RUU Perampasan Aset ke Senayan.
Bagaimana mungkin DPR membahas RUU itu Kalau Presiden Joko Widodo pun belum menyerahkan surat presiden (surpres) usulan Buat membahasnya? Kewenangan DPR Buat Membangun undang-undang tak mutlak. Begitu juga pemerintah. Keduanya saling bergantung sehingga mesti sepemahaman. Satu pihak saja yang berkomitmen, yang punya kemauan, tidaklah cukup. Apalagi Kalau dua-duanya Enggak punya hal itu.
Enggak Eksis Dalih Buat Lalu menunda UU Perampasan Aset. Fenomena terkini, dengan terungkapnya begitu banyak pejabat yang punya kekayaan tak normal, adalah momentum Buat secepatnya Membangun senjata Manjur itu Dapat menyalak.
RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Dapat menjembatani Kebiasaan illicit enrichment atau kekayaan yang diperoleh secara Enggak wajar, yang sebetulnya Eksis di Konvensi PBB Melawan Korupsi, tapi belum Eksis dalam undang-undang kita. RUU itu tak hanya digunakan Buat merampas aset para koruptor, tapi juga pelaku pidana ekonomi lainnya, termasuk narkoba.
Dengan undang-undang itu, penegak hukum tak perlu menunggu Eksis pembuktian pidana asal Buat memproses perampasan aset. Begitu ini, perampasan aset baru Dapat dilakukan Kalau seseorang terbukti melakukan korupsi atau tindak pidana pencucian Dana (TPPU).
Ketika korupsi kian menggila, tatkala TPPU semakin merajalela, dan di Begitu pejabat makin rakus meraup harta, pengesahan UU Perampasan Aset mutlak dipercepat. Kepada pemerintah dan DPR, buktikan bahwa Anda memang menginginkan undang-undang itu segera disahkan. Bukan seolah menganggapnya Krusial, tetapi sebenarnya takut menjadi bumerang Kalau disahkan.