KEBEBASAN beribadah ialah hak asasi Sosok tertinggi karena menyangkut Rekanan Sosok dengan Sang Khalik. Tak Eksis satu pun yang berhak menghalangi Rekanan vertikal tersebut, di mana dan Bilaman pun Rekanan tersebut diselenggarakan sepanjang Enggak menganggu aktivitas kemasyarakatan lainnya. Rekanan vertikal yang Bagus akan berdampak pada Rekanan horizontal yang Bagus.
Tak Eksis Argumen apabila Eksis sekelompok masyarakat, terlebih dalam negara yang memang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. UUD 1945 Pasal 28E ayat satu menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk Religi dan beribadat menurut agamanya. Hak kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 29 ayat dua yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk Demi memeluk agamanya masing-masing, dan Demi beribadat menurut Religi dan kepercayaannya itu.
Peresmian Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Kota Bogor, Jawa Barat, bertepatan dengan perayaan Paskah, Minggu (9/4) menarik perhatian. Peresmian ditandai pemukulan gong dan penandatanganan prasasti oleh Menko Polhukam Mahfud MD didampingi Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Wali Kota Bogor Bima Arya. Peresmian itu mengakhiri konflik keberadaan GKI Yasmin selama enam belas tahun. Konflik yang menyita Daya, menguras air mata, dan pikiran kita sebagai anak bangsa, merobek tenun kebangsaan sebagai bangsa yang majemuk.
Konflik GKI Yasmin hingga berujung di Mahkamah Akbar tak Membangun masalah tersebut selesai. Bahkan, Ombudsman RI turun tangan mengeluarkan rekomendasi pada 8 Juli 2011 agar Wali Kota Bogor mencabut keputusan Wali Kota Bogor yang mencabut izin mendirikan bangunan GKI Yasmin. Tetapi, Wali Kota Bogor Demi itu tak menggubrisnya. Barulah pada 2021 Wali Kota Bogor Bima Arya mengambil inisiatif menghibahkan lahan seluas 1.668 meter persegi di Jalan KH Abdullah bin Nuh, Bogor Barat, Demi dijadikan Posisi pembangunan gereja GKI Yasmin.
Penantian panjang jemaat GKI Yasmin kini berbuah manis dengan Mempunyai rumah ibadah. Tetapi, peresmian GKI Yasmin bukan akhir dari segalanya. Peresmian itu jangan sekadar Ritual. Yang paling Krusial ialah jaminan negara terhadap kebebasan beribadah di negeri terpenuhi dengan Bagus. Prinsip equality before the law harus ditegakkan sebagai komitmen negara yang berlandaskan hukum (rechtsstaat). Konsekuensinya ketika kita bicara asas kesamaan hukum tersebut, maka Enggak relevan Tengah berbicara Grup mayoritas atau minoritas di republik yang berfalsafah Pancasila ini.
Ujian keberagaman Lagi Maju berlangsung. Belakangan ini Lagi terjadi pembubaran ibadah, seperti jemaat Gereja Kristen Kemah Daud di Lampung pada Februari Lampau dan pembubaran ibadah di Gereja Kristen Protestan Simalungun di Purwakarta, Jawa Barat, pada Maret Lampau. Mirisnya Tengah pembubaran tersebut melibatkan langsung aparatur pemerintah setempat yang Semestinya mengayomi peribadatan Penduduk mereka.
Salah satu yang menjadi dasar konflik di masyarakat ialah Peraturan Berbarengan Menteri Religi dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 atau SKB 2 menteri tentang syarat pendirian rumah ibadah. Salah satu aturan yang disorot ialah pendirian rumah ibadah harus disetujui 90 jemaah dan 60 orang nonjemaah. Pemerintah Semestinya mengevaluasi kembali SKB 2 menteri tersebut karena seringkali memicu konflik sehingga mengganggu kerukunan antarumat beragama. Pemerintah harus merumuskan kembali formula yang Cocok dan bijak dalam mengelola pendirian rumah ibadah. Indonesia akan kukuh Kalau dibangun dengan semangat keberagamaan, Kasih kasih, dan saling menguatkan sesama warganya.