JOGJA Corruption Watch (JCW) mendorong Denda terhadap praktik politik Fulus pada Pilkada diperberat Buat menimbulkan Dampak jera bagi pelaku politik Fulus. Bawaslu di Seluruh level, termasuk di Bantul, didorong Buat meningkatkan patroli pengawasan.
“JCW mendorong Bawaslu di Seluruh level Buat meningkatkan patroli pengawasan yang dimulai pada masa kampanye seperti sekarang ini karena yang Krusial adalah mencegah terjadinya praktik politik Fulus agar Enggak terjadi. Lakukan pengawasan setiap tahapan Pilkada,” tegas Baharuddin Kamba, aktivis JCW kepada awak media, Kamis (24/10).
Hal ini Krusial agar Membangun para pelaku takut melakukan politik Fulus. Bila ditemukan adanya praktik politik Fulus, Semestinya Sentra Gakkumdu (Sentra Penegakan Hukum Terpadu) langsung memberi tindakan kepada pelaku dengan jerat pidana.
“Bawaslu Semestinya dapat melanjutkan ke tindak pidana dan ke Sentra Gakkumdu karena politik Fulus termasuk Embargo kampanye yang berakibat terhadap tindak pidana pemilu termasuk Pilkada,” kata dia.
Selain itu JCW juga mendorong adanya pengawasan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Buat melacak Jenis Anggaran kampanye seluruh paslon dalam kontestasi Pilkada di seluruh Kabupaten maupun Kota Terdapat di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kamba juga menegaskan, Begitu ini Denda terkait politik Fulus yang diatur di Undang-Undang Pemilu Lagi tergolong ringan. Kalau kita Menonton Pasal 523 Bagus dari ayat 1 Tamat dengan ayat 3 di Undang-Undang Pemilu, Denda terhadap politik Fulus Enggak terlalu tinggi, Bagus dari pemberian pidana penjaranya maupun juga pidana dendanya.
Pemberian sanksinya Terdapat yang 1 tahun, kemudian Terdapat yang 2 tahun. Ia juga mengatakan, Undang-Undang Pemilu Begitu ini belum cukup komprehensif mengatur tentang politik Fulus. “Enggak Terdapat ketentuan secara spesifik yang mengatur apa itu politik Fulus. Tetapi, Terdapat sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Pemilu yang mengatur kegiatan aktivitas atau perbuatan yang mengarah pada politik Fulus Adalah Pasal 280 dan Pasal 253,” terang dia.
Apabila dilihat pada Pasal 253, lanjut Kamba, Terdapat periode waktu aktivitas atau perbuatan Dapat disebutkan politik Fulus, di antaranya dilakukan pada masa kampanye, masa tenang, hari pemungutan Bunyi, dan perhitungan Bunyi. Sementara, di luar itu Enggak Dapat disebut politik Fulus.
Alhasil, aturan tersebut dinilai belum cukup komprehensif karena proses Pilkada cukup panjang dan melelahkan. Kesempatan atau potensi politik Fulus terjadi di luar periode itu sangat besar.
“Konsekuensinya ketika terjadi di luar periode yang telah diatur, maka Enggak Dapat dilanjutkan ke penanganan ke tahap berikutnya,” terang dia.
Hal itu selaras dengan yang dilakukan Bawaslu Kabupaten Sleman yang mengkarifikasi salah satu Calon Wakil Bupati Sleman, Sukamto. Ketua Bawaslu Kabupaten Sleman, Arjuna Al Ichsan Siregar menyampaikan, pemanggilan terhadap Sukamto terkait dengan dugaan politik Fulus.
“Peristiwanya di Dusun Tumut, Kapanewon Moyudan, Minggu, 13 Oktober 2024,” terang dia, Selasa (22/10) Laporan tersebut berdasarkan hasil pengawasan Panwaslu Kecamatan Moyudan dan sudah dibahas Berbarengan Sentra Gakkumdu Bawaslu Sleman.
Di pihak lain, Sukamto mengakui dirinya diklarifikasi dan membantah adanya politik Fulus. “Enggak, Enggak mungkin bagi-bagi (Fulus), nggak Terdapat sosialisasi bagi-bagi (Fulus), Enggak Terdapat,” terang dia. (Z-9)