EKONOM Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal menilai pemerintah belum fokus menjaga daya beli masyarakat kelas menengah, baik dari sisi menjaga biaya hidup maupun dari sisi penciptaan lapangan pekerjaan dan kualitas lapangan kerja. BPS mencatat ada penurunan tajam kelompok masyarakat menengah. Dari yang sebesar 53,83 juta orang di 2021, merosot 5,98 juta jiwa menjadi 47,85 juta.
“Penurunan ini menunjukkan bahwa kurangnya perhatian pemerintah untuk menjaga daya beli kelompok ini,” ujar Faisal kepada Media Indonesia, Jumat (30/8)
Baca juga : Aspek Indonesia: Marak PHK, Daya Beli Bisa Anjlok
Pemerintah dianggap tidak optimal mengendalikan inflasi, sehingga harga bahan pokok dan barang-barang melonjak setiap tahunnya. Hal ini menggerus pengeluaran masyarakat menengah. Kondisi tersebut diperparah dengan tidak diberikannya bantalan ekonomi seperti bantuan sosial. “Akibat inflasi, khususnya pangan menguras dompet masyarakat,” imbuhnya.
Pemerintah juga dianggap gagal menciptakan lapangan pekerjaan yang luas sekaligus produktif bagi masyarakat kelas menengah. Sehingga, banyak masyarakat yang beralih dari pekerjaan formal ke informal.
“Pemerintah memang perlu mendorong penciptaan lapangan kerja formal yang lebih besar dan jangan lupa secara kualitas dari sisi upahnya harus ada penyesuaian,” imbuhnya.
Baca juga : PPN Ditanggung Pemerintah Jadi Andalan untuk Dorong Daya Beli
Dihubungi terpisah, ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda berpandangan kelas menengah masih amat membutuhkan peran pemerintah untuk bisa menahan daya beli mereka.
Salah satu strategi yang bisa dilakukan, katanya, dengan pemberian subsidi terhadap barang yang dikonsumsi oleh kelas menengah ini, seperti bahan bakar minyak (BBM), pendidikan dan lainnya.
“Kelas menengah ini juga mengalami perlambatan pendapatan di mana hanya tumbuh 1,5%. Sedangkan, kebutuhan mereka naik tajam karena kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN),” bilangnya.
Baca juga : Golongan Masyarakat Kelas Menengah kian Susah
Di tempat terpisah, Pelaksana tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan ada peralihan status pekerjaan kelas menengah dari sektor formal ke informal. Data BPS menyebut di 2019 jumlah pekerja formal sebesar 61,71% dan informal 38,29%. Lima tahun berselang, jumlah pekerja formal anjlok menjadi 58,65% dan pekerja informal naik menjadi 41,35% di 2024.
“Dalam 5 tahun terakhir proporsi pekerja kelas menengah yang berstatus formal mengalami penurunan dari 61% menjadi 58%. Kalau dilihat mereka paling banyak bekerja di lapangan usaha jasa,” pungkasnya. (N-2)