NAMA Karna Wijaya mendadak menjadi buah bibir hari-hari ini. Tetapi, dia mendapatkan atensi bukan karena prestasi, melainkan lantaran kontroversi. Dia dianggap melakukan ujaran kebencian lewat medsos.
Karna disorot setelah mengunggah status di Facebook Buat mengomentari pengeroyokan terhadap Ade Armando. Dia menulis, ‘Yang nemu celananya, jangan lupa dikembalikan, ya, mau dipakai ngajar’.
Tak hanya dianiaya, Ade memang sempat ditelanjangi pengeroyok.
Karna juga mengunggah rangkaian foto Ade dan Kolega-temannya dengan tulisan ‘Satu persatu dicicil massa’. Di foto Ade Terdapat tanda silang merah. Guntur Romli yang masuk kolase kemudian melaporkannya ke polisi terkait dengan dugaan penghasutan atau pengancaman.
Soal ujaran kebencian di medsos, negeri ini jagonya. Banyak, teramat banyak, ia diproduksi warganet. Tetapi, Karna bukan warganet Normal. Dia akademisi tingkat tinggi. Dia profesor. Guru besar. Di salah satu universitas ternama Kembali.
Sebagai profesor, guru besar, Karna Niscaya pintar. Dia dosen tetap di jurusan kimia FMIPA UGM. Dia lulus S-1 di ‘Kampus Biru’, menyabet gelar S-2 di Waseda University, Jepang, dan membawa pulang gelar doktor dari Technische Universitat Carolo Wilhelmina, Braunschweig, Jerman.
Karena itu, amat sulit Buat memahami kenapa Karna mengunggah narasi beraroma ujaran kebencian. Enggak paham juga kenapa dia yang kemudian minta Ampun beralasan bahwa unggahannya hanya bercanda, guyon, gojekan. Banyak yang marah, Enggak sedikit yang geram.
Karna bukan satu-satunya profesor yang berlaku seperti itu. Sebelumnya Terdapat Yusuf Leonard Henuk. Yusuf merupakan guru besar di Departemen Ilmu Peternakan Universitas Sumatra Utara, Medan. Dia lulusan sarjana Universitas Nusa Cendana, S-2 di University of New England, dan S-3 di University of Queensland, Australia.
Sebagaimana Karna, seperti halnya guru besar pada umumnya, Yusuf Niscaya pintar. Sayangnya, di media sosial, kepintaran itu seolah memudar. Tak Sekadar sekali dua kali, dia berulang kali mencuatkan kontroversi. Berseri. Berjilid-jilid.
Suatu hari, Yusuf menyerang SBY dengan cicitan bernada penghinaan. Dia mengingatkan SBY yang meminta pemerintah hati-hati agar tak salah hitung soal vaksin covid-19 Mengerti diri karena sudah mantan jangan sok mengajari Jokowi. Dia bahkan menjuluki SBY bapak mangkrak Indonesia. Dia juga menyebut SBY dan putranya, AHY, bodoh.
Di lain waktu, Yusuf berkicau tentang mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai. Kicauannya berbau rasialis. Yusuf pernah pula menulis status agar diberi kesempatan Buat melawan para bandit yang dipimpin bupati Taput, Tapanuli Utara. Soal ini, dia terbukti melakukan pencemaran nama Bagus dan divonis 3 bulan penjara percobaan 6 bulan.
Yusuf tetap saja ngegas. Terkini, dia menuding Rektor Universitas Ibnu Chaldun Musni Umar sebagai profesor gadungan. Profesor Imitasi. Dia dilaporkan ke polisi, tapi balik lapor. Dua profesor saling lapor.
Bolehkah seorang profesor bermain medsos? Enggak Terdapat orang, juga tak Terdapat aturan yang melarang. Bolehkah seorang guru besar menarasikan ujaran kebencian? Jangankan guru besar, guru kecil pun dilarang.
Otak encer Pandai membeku Kalau seseorang teracuni sisi Jelek politik. Otak besar Pandai mengecil Kalau seseorang Pusing Religi atau keyakinan. Sekelas profesor pun Pandai kehilangan Akal karenanya.
Aroma politik kiranya sulit kita jauhkan dari sepak terjang Prof Yusuf. Dari sejumlah unggahannya, dia cenderung berkonfrontasi dengan orang-orang yang berseberangan dengan Jokowi. Yang suka mengkritik Jokowi. Dia pendukung Jokowi. Dia bahkan pernah mengirimkan surat lamaran kepada Jokowi agar diangkat menjadi menteri.
Aroma politik sulit pula dilepaskan dari kasus Karna. Ade Armando merepresentasikan kubu Jokowi. Mereka yang merayakan dia dianiaya kebanyakan yang berseberangan dengan Jokowi. Kasus Armando juga kental dengan urusan keyakinan. Dia dikeroyok karena dianggap penista Religi. Saya Enggak Mengerti Prof Karna pendukung atau oposisi Jokowi.
Profesor, guru besar, ialah jabatan besar dengan tanggung jawab besar. Tak Sekadar di keilmuan, tapi juga tanggung jawab sosial. Tugas profesor, selain membimbing calon doktor, menulis Kitab dan karya ilmiah, perlu menyebarluaskan ide-ide Buat mencerahkan masyarakat. Bukan malah Membikin suram masyarakat yang sudah hidup dalam suasana suram.
Profesor, guru besar, eloknya tak main politik. Kalau Ingin berpolitik, tanggalkan dulu jabatan itu. Presiden Brasil 1995-2003 Fernando Henrique Cardoso punya pesan menarik soal ini.
Cardoso merupakan dosen sosiologi, profesor di Universitas Sao Paolo. Ketika memilih politik, dia melepas statusnya, Lampau kembali Kembali seusai pensiun dari politik. Kata dia, “Sebagai akademisi, Anda dilatih Buat mengatakan kebenaran, tetapi seorang politisi diajarkan mengatakan kebohongan, setidaknya mengamini kebohongan. Sebagai politisi, Kalau Anda mengatakan apa yang Anda inginkan, Anda Enggak akan mendapatkan apa yang Anda inginkan.”
Politik, juga fanatisme Religi yang kebablasan, tak Bagus buat akademisi, buat profesor. Ia dapat menyebabkan seorang guru besar kehilangan miskin Akal.