KEUNGGULAN sebuah bangsa terletak pada keunggulan sistem nilai budayanya. Itulah premis dasar tulisan ini. Dalam konteks Indonesia, pengembangan pendidikan nasional tentu harus berorientasi pada sistem nilai budaya bangsa. Kemajuan yang hendak dicapai dunia pendidikan, hendaknya bermuara pada terbentuknya manusia unggul yang berkepribadian budaya bangsa.
Pada saat ini sistem nilai budaya Indonesia bergerak dalam tradisi spiritual yang mendorong segenap potensi kemajuan. Kebudayaan Indonesia dikenal kaya dan terbuka, kemajuannya selalu dipadukan dengan keharmonisan. Demikian pula sebaliknya, keharmonisan mendorong kemajuan. Terdapat aspek dinamisasi yang tak terelakkan dalam prosesnya, yang diharapkan bermuara pada pencerdasan budaya.
Kecerdasan budaya
Bangsa yang unggul memiliki kecerdasan budaya yang ditandai kemampuannya mengelola nilai-nilai kebajikan tradisi. Maksudnya, secara substansial budaya bukan saja nilai, melainkan juga sistem nilai yang menampakkan beragam nilai yang berpola. Apabila sistem nilai kebudayaan suatu bangsa kuat, apa pun yang terjadi dengan kondisi dan perubahan zaman, dipastikan mereka cukup mudah untuk mengelolanya menjadi sesuatu yang bernilai tinggi bagi kehidupan.
Kecerdasan budaya bukanlah mengusung budaya lama untuk diterapkan apa adanya dalam kehidupan sekarang, melainkan seharusnya mengelola nilai-nilai budaya lama sebagai aset kebangsaan. Sistem pendidikan bangsa berbasis budaya ialah strategi pencerdasan bangsa untuk mempersiapkan generasi unggul yang memiliki kewenangan penuh atas bangsanya.
Generasi yang berdiri tegak dan berakar kuat di tanah budaya warisan leluhur, tidak mudah goyah dalam konspirasi global, mampu menentukan nasibnya sendiri karena cerdas mengelola budayanya untuk menjadi bangsa yang unggul. Dalam konteks ini pendidikan berbasis budaya mengemban tugas utama, yaitu meningkatkan potensi, daya kekuatan, dan keunggulan insani, serta mengawal proses transfer nilai-nilai kebudayaan secara berkelanjutan atau sinambung.
Sudah waktunya dilakukan gerakan nasional untuk kembali menggali dan menguatkan nilai budaya, jati diri, dan identitas budaya nasional. Langkah pandang untuk dapat meraih vitalitas kultural yang maksimal sebagai kesatuan yang menyeluruh, sangat kita perlukan pada saat ini sehingga kualitas sumber daya insani yang menjadi orientasi dan prioritas pembangunan ke depan, bukan yang tercerabut dari akar budayanya.
Kekayaan budaya
Kebudayaan Indonesia terbentuk dari beraneka ragam budaya etnik yang merupakan hasil budi daya suku-suku bangsa yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke. Di antara warna-warni suku bangsa, adat, dan tradisi itu, terdapat garis merah yang menunjukkan persamaan spirit, sikap, dan pandangan hidup berbangsa.
Pada konteks kehidupan berbangsa, kebudayaan menjadi pengawal proses transfer menuju peradaban yang lebih baik, maju, dan harmonis (Sutarja, 2000). Pada gilirannya, kebudayaan tersebut diharapkan mampu menjamin kualitas dan kesinambungan hidup manusia Indonesia. Kualitas hidup yang sinambung, menurut Kras (1995) membutuhkan kecakapan sikap dan kesantunan perilaku yang mewujud ke dalam sosok pribadi masyarakat Indonesia yang matang, cerdas, kreatif, jujur, dan berkarakter.
Kebudayaan senantiasa bergerak dan berubah sepanjang kehidupan. Loyalp kurun zaman, kebudayaan selalu melahirkan lambang dan simbol ‘medan pertarungan’ yang mana begitu banyak makna dan ideologi berebut perhatian publik yang lantas membentuk kesadaran, memori, dan daya bawah sadar masyarakat. Hingga pertengahan abad ke-20, masyarakat Indonesia mengalami tiga kategori zaman, yaitu kategori tradisional patrimonial (mitis-komunal), kapitalis (realis-individual), dan teknokratis (pseudo-realis). Menjelang dan masuk abad ke-21, kebudayaan Indonesia memasuki era digital sepenuhnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan telah mendobrak cara pandang konvensional menjadi superdigital. Area Indonesia yang begitu luas digerakkan dari nadi teknologi nirkabel cybernetic-virtual. Dalam kondisi tersebut, kini masyarakat Indonesia bergerak cepat menuju simbol baru yang soliter-impersonal. Tak pelak, perilaku budaya kita menjadi limbung menghadapi perubahan yang begitu sangat cepat ini.
Selanjutnya, kebudayaan memasuki an ever-moving era ‘zaman yang serbabergerak’. Kita memasuki siklus gagasan dan tindakan yang tidak mengenal putus, eksperimen yang nyaris tiada henti (Eliot, 1984). Pada zaman ini, ideologi dan warisan nilai kearifan hidup yang dianggap ‘agung’ sering dimaknai secara sinis sebagai narasi lama yang perlu dirombak total dan dihancurkan secara membabi buta.
Gaya hidup yang serbacepat, praktis, dan instan lebih mendapat tempat di hati masyarakat ketimbang ‘laku’ hidup yang panjang berliku-liku dan melelahkan. Situasi ini didukung perkembangan dunia media nasional. Media, di satu sisi menjadi ujung tombak kemajuan, tapi di sisi lain menjadikan manusia sekadar sebagai komoditas (Loomba, 2016) yang dapat diperjualbelikan, ditawar, ditukar, dan dipoles selayaknya barang baru (padahal stok lama).
Kini, kebudayaan berdiri di tengah era post-truth. Rentang zaman yang oleh Ralph Keyes (2004) digambarkan sebagai masa yang semakin susah mengais kebenaran sejati, kecuali berondongan informasi yang jauh dari jejak fakta objektif. Dalam konteks kebudayaan, bentuk-bentuk ‘penguasaan’ baru telah lahir untuk tidak hanya pengendalian sistem pemerintahan, ekonomi, dan energi, tetapi juga untuk penguasaan ‘sistem nilai budaya’ dari suatu bangsa lain. Dalam kalimat pendek, lalu kita ‘membudayakan budaya bangsa lain’.
Neo-colonialism pun mendapatkan pengertiannya yang baru di era post-truth. Ambisi ekspansi budaya ke wilayah budaya bangsa lain dilakukan dengan cara membiaskan nilai-nilai budaya lokal dan menindihnya dengan konstruk budaya baru, serta memisahkan spirit generasi mudanya dari sejarah bangsa dan akar budayanya sendiri. Spirit mitologis dan legenda lokal dihancurkan secara sistematis dengan mitos-mitos post-modern sehingga nilai filosofis warisan leluhur terdepak fenomena permainan simulacrum yang membunuh makna. (Baudrilard, 1983 dan 1990).
Akibatnya terasa dalam sistem pendidikan nasional. Seolah-olah peningkatan kualitas pendidikan identik penambahan jam pelajaran di sekolah. Pengertian sekolah disederhanakan dengan ‘kelas’. Padahal, berbagai aktivitas rekreatif anak-anak, kini justru digalakkan di negara-negara maju. Finlandia yang dicatat sebagai negara terbaik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, dan budaya misalnya, memberi waktu dan kesempatan luas kepada siswa beraktivitas eksploratif-kultural di dalam dan di luar jam sekolah. Membaca puisi, menyanyikan lagu, olahraga, permainan, piano, melukis, dan sebagainya dipandang sama pentingnya dengan pelajaran fisika, biologi, atau kimia (Wuorinen, 1965).
Mereka memahami pentingnya mengapresiasi pluralitas pengetahuan sehingga lebih terbuka melihat masalah dari beragam sudut pandang. Pemikiran yang statis-dogmatis justru akan melumpuhkan, menutup telaah, dan memandekkan pikiran. Selain itu, pendidikan Finlandia mengedepankan pencarian identitas dan kreativitas yang ditanamkan kepada anak sejak dini. Mereka bekerja keras membangun identitas masa depan bangsa, justru dengan nilai budaya masa lampaunya. (Prudentia, 2010).
Memanusiakan manusia
Kebudayaan akan terus mendapatkan pengertiannya secara dimensional secara konteks waktu, ruang, dan kebutuhan (activity). Terminologi kebudayaan selalu mengikuti pola dan sistem adaptasi masyarakat dalam menjalankan kehidupannya. Kagaklah keliru, jika kebudayaan dipahami sebagai keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam rangka meningkatkan kualitas seluruh dimensi kehidupan manusia.
‘Memanusiakan manusia’ merupakan kata kunci sekaligus visi budaya yang menyentuh naluri dasar setiap manusia, kemudian berkembang sistemis menjadi perilaku dan norma komunal, serta berpola menjadi sistem peri kehidupan suatu masyarakat. Maksudnya, kebudayaan merupakan perilaku sistematis untuk membangun sistem nilai sebagai panduan menjalani kehidupan dari generasi ke generasi dalam suatu wilayah budaya.
Sistem nilai budaya megacu kearifan masa lampau, sebagai bahan baku pengembangan struktur dan tekstur masa depan. Ketika satu generasi mulai mengabaikan sistem nilai budaya positif dari pendahulunya, tandanya peri kehidupan di wilayah itu mulai rapuh. Apabila kondisi tersebut dibarengi gelombang pembudayaan budaya bangsa lain, tentu kondisinya kian suram. Karenanya, kesadaran kebudayaan sebagai ‘sistem nilai’ harus kembali digiatkan.
Dalam hal ini, di Indonesia yang berlimpahan kearifan lokalnya justru diperlukan ikhtiar dengan mengembangkan paradigma dalam mengglobalkan kearifan lokal (bisa disebut dengan ‘glokalisasi’) sebagai bangsa yang kaya dengan budaya dan nilai-nilai luhur. (Karsidi, 2016). Tindakannya lokal, tetapi dampaknya global. Melalui pengenalan kearifan lokal, akan tercipta pengembangan nilai-nilai luhur dalam memperkukuh jati diri bangsa. Safiri-nilai lokal, seperti kerukunan, gotong royong, keramahan, kejujuran, keberanian, keuletan, kerja keras, sangat penting dikukuhkan sebagai rujukan nilai global.
Demi itu, diperlukan kesiapan sumber daya insani dengan sistem inovasi nasional, peningkatan produktivitas, dan daya saing bangsa yang tinggi. Terwujudnya sistem inovasi nasional juga akan berpengaruh pada proses pendidikan karena berkaitan dengan aktor, kelembagaan, jaringan, dan kemitraan.