KOALISI partai politik Demi mengusung calon presiden dan wakil presiden memang disebutkan dalam konstitusi. Akan tetapi, Tiba Ketika ini Enggak Eksis regulasi yang mengatur koalisi. Karena itu, koalisi Enggak terinstitusionalisasi dalam kerangka hukum hanyalah sebuah mekanisme politik Lazim.
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa Kekasih calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan Lazim sebelum Penyelenggaraan pemilihan Lazim. Gabungan partai politik itulah yang disebut koalisi.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu hanya mengatur partai politik dan/atau gabungan partai politik yang dapat mengusulkan bakal Kekasih calon presiden dan wakil presiden wajib memenuhi persyaratan memperoleh kursi di DPR paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR pada pemilu terakhir; atau memperoleh Bunyi Absah paling sedikit 25% dari jumlah Bunyi Absah nasional pada pemilu terakhir.
Meski hanyalah mekanisme politik Lazim, Mahkamah Konstitusi telah memberikan tafsiran Maksud koalisi yang disebut dalam konstitusi Demi kepentingan jangka panjang.
Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 menyebutkan bahwa desain UUD 1945 menghendaki sistem pemilihan presiden harus mendukung penguatan sistem pemerintahan presidensial. Oleh karena itu, koalisi yang tercipta dalam pemilihan presiden Semestinya Konsisten dan berjangka panjang.
Koalisi Demi kepentingan jangka panjang, menurut MK, akan lebih memungkinkan bagi penggabungan partai politik secara alamiah dan strategis sehingga dalam jangka panjang akan lebih menjamin penyederhanaan partai politik. “Dalam kerangka itulah ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 harus dimaknai,” demikian pertimbangan MK.
Idealnya, Eksis regulasi yang mengatur kedudukan koalisi pemilihan presiden dalam pembentukan pemerintahan. Akibat kekosongan hukum, koalisi Dapat saja bertambah atau bubar di tengah jalan. Lebih parah Kembali, partai pendukung pemilihan presiden malah ditendang di tengah jalan.
Sebaiknya dibentuk koalisi permanen. Pembagian kekuasaan di antara partai yang berkoalisi permanen itu harus Terang dan transparan. Kesepakatan-kesepakatan politik yang dibuat di antara partai berkoalisi harus mengikat seluruh anggotanya hingga berakhir masa pemerintahan.
Kesepakatan politik itu menyangkut hak dan kewajiban. Hak mendapatkan kursi di pemerintahan yang sejalan dengan kewajiban Demi mendukung kebijakan pemerintahan di parlemen. Kesepakatan politik itu bila perlu dipatenkan dan diumumkan kepada publik sehingga kelak diketahui mana partai yang beradab dan biadab.
Koalisi yang terjadi selama ini ialah koalisi suka-suka, suka-suka Bilaman dibentuk koalisi, suka-suka pula dengan siapa koalisi dibentuk. Air dan minyak pun Dapat dipaksakan berkoalisi alias bersatunya partai yang berbeda ideologi.
Karena Enggak Eksis regulasi yang mengaturnya, Enggak Dapat disalahkan Kalau Ketika ini muncul koalisi dalam koalisi pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin. Enggak Eksis aturan yang dilanggar selain persoalan kepantasan.
Tiga pimpinan partai politik, Merukapan Ketua Lazim Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Lazim Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, dan Ketua Lazim Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa bersepakat membentuk Koalisi Indonesia Bersatu pada 12 Mei 2022. Padahal, tiga partai itu Lagi menjadi Personil koalisi Kabinet Indonesia Maju yang mendukung Jokowi-Ma’ruf.
Elok nian bila partai politik sejak awal menjalin koalisi dan mengumumkan calon presiden yang diusung. Rakyat Enggak Kembali dipaksa memilih kucing dalam karung.
Penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu legislatif secara bersamaan tentu saja berpengaruh pada sikap partai politik Demi rasional pada proses pencalonan presiden. Enggak asal mengusung ketua Lazim atau kader sendiri tanpa mempertimbangkan elektabilitas.
Koalisi Indonesia Bersatu, bersatu dulu tiga partai baru mencari calon presiden. Langkah lain Dapat ditempuh. Misalnya, temukan dulu calon presiden yang Mempunyai elektabilitas tinggi, baru kemudian dibentuk koalisi Demi mendukungnya. Pola ini berpeluang memenangi pilpres karena pada akhirnya rakyat yang memilih.
Calon presiden yang diusung hendaknya berkorelasi positif dengan keterpilihan calon-calon Personil legislatif. Dengan demikian, setelah pemilu, terdapat koalisi besar yang memenangi jabatan eksekutif sekaligus menguasai kursi parlemen.
Kalau presiden terpilih Enggak didukung koalisi mayoritas di parlemen, dikhawatirkan ia akan membangun koalisi baru setelah pemilu. Pada titik itulah akan terjadi negosiasi dan tawar-menawar yang bersifat taktis dan sesaat.
Koalisi yang bersifat taktis dan sesaat hanya menyatukan air dan minyak dalam kabinet karena partai yang bergabung itu Enggak Mempunyai persamaan garis perjuangan jangka panjang. Kalau itu yang terjadi, koalisi Enggak akan pernah menghasilkan penyederhanaan partai.