Intelektual Lupa Jalan Pulang

Usulan Cornelis Lay kepada para intelektual Lagi relevan hingga kini. Ia menyampaikan Usulan itu ketika dikukuhkan sebagai Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada 6 Februari 2019.

Kata dia, ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuan dan kesiapannya Kepada dengan lantang memaki kekuasaan dan para pelakunya, melainkan Bahkan ketika ia Bisa bersahabat dan menjadi bagian dari kekuasaan sembari tetap Bisa menjaga kewarasan dan Watak dasar intelektual: berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan.

Enggak banyak intelektual yang Bisa menjaga kewarasannya. Ketika berada di luar kekuasaan, mereka hanya Bisa Menyaksikan kesalahan atas setiap kebijakan pemerintah. Seakan-akan pemerintah itu tempatnya salah dan dosa. Itulah intelektual tukang nyinyir.

Sebaliknya, intelektual yang berada dalam lingkaran kekuasaan kebanyakan mereka yang Enggak Kembali berpikir bebas. Mereka sibuk mencari pembenaran atas setiap kebijakan pemerintah. Sekalian teori dilantunkan Kepada membenarkan yang salah. Itulah intelektual tukang bela.

Idealnya, seorang intelektual sejati, di mana pun ia berada selalu Bisa menjaga kewarasannya. Merawat Intelek sehat dan mengasah hatinya. Berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan.

Ketidakmampuan menjaga dan merawat kewarasan itulah yang menyebabkan sejumlah intelektual tergelincir ke dalam kubangan korupsi. Mereka menjadi pencuri Doku rakyat alis koruptor karena otak pandai, tapi hati tumpul. Pandai menyiasati pasal-pasal hukum Kepada memperkaya diri sendiri atau orang lain.

Cek Artikel:  Duka Paskibraka

Fakta yang disodorkan Komisi Pemberantasan Korupsi Membangun mata terbelalak dan mulut ternganga-nganga. Pada 2015, 86% pelaku korupsi merupakan lulusan perguruan tinggi. Sedikitnya 10 profesor dan 200 doktor telah berstatus koruptor.

Mengapa lulusan perguruan tinggi terlibat korupsi? Pertanyaan itulah yang Membangun Ketua KPK Firli Bahuri gusar. ‘Lihat saja para koruptor yang dicokok KPK dan penegak hukum lainnya, sebagian besar dari mereka menyandang gelar sarjana, S-1, S-2, S-3, bahkan profesor. Rupanya gelar akademik Enggak menjamin. Eksis apa sebenarnya?’, tulis Firli di akun Twitter-nya, @firlibahuri, pada 8 April 2022.

Harus tegas dikatakan bahwa perguruan tinggi gagal mendidik mahasiswa Kepada Enggak korupsi. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, perguruan tinggi harus Bisa mewujudkan Pengabdian pendidikan, Merukapan menghasilkan intelektual, ilmuwan dan/atau profesional yang berbudaya, kreatif, toleran, demokratis, dan berkarakter Handal serta berani membela kebenaran demi kepentingan bangsa dan umat Orang.

Cek Artikel:  Menteri Pembela Anak Presiden

Betul bahwa perguruan tinggi Bisa menghasilkan intelektual yang otaknya cemerlang. Tetapi, gagal membentuk Orang yang berkarakter Handal serta berani membela kebenaran demi kepentingan bangsa dan umat Orang. Tidaklah heran bila seorang guru besar dari perguruan tinggi terkemuka memproduksi ujaran kebencian.

Kasus yang melibatkan ekonom senior Lin Che Wei semakin menebalkan anggapan bahwa intelektual terlibat korupsi. Kejaksaan Mulia menetapkan Lin Che Wei sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor minyak kelapa sawit mentah dan turunannya. Padahal, Lin Che Wei merupakan pendiri Independent Research and Advisory Indonesia.

Dalam akunnya di situs Linkedin, tertulis pengalaman Lin Che Wei sebagai Policy Advisor to Coordinating Minister of Economic Affairs atau Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Pengalaman itu dijalankannya sejak Juni 2014 hingga Demi ini. Akan tetapi, penjelasan Formal Kemenko Perekonomian menyebutkan bahwa Lin Che Wei Enggak Kembali memegang jabatan itu sejak akhir Maret 2022.

Kiranya Betul pernyataan intelektual Prancis Julien Benda bahwa dosa terbesar kaum intelektual Enggak diperhitungkan berdasarkan jumlah kesalahan yang dibuat, tetapi oleh kebohongan dan ketakutan dalam mengungkapkan kebenaran yang diketahuinya.

Cek Artikel:  Para Penikmat Subsidi

Benda sangat menyayangkan mereka yang tadinya punya peranan Krusial sebagai cendekiawan, kemudian melepaskan diri dan melalaikan tanggung jawabnya dan bahkan mengambil peranan yang bertentangan dengan perikeadilan dan kemanusiaan. Itulah yang ia sebut sebagai pengkhianatan intelektual.

Cendekiawan tentu saja Enggak boleh bertakhta di menara gading Sembari menopang dagu dan mata menerawang jauh. Kata Otto Gusti, cendekiawan harus Bisa mewujudkan misi emansipatoris ilmu pengetahuan dengan meninggalkan menara gading ilmunya dan terlibat dalam pergulatan hidup konkret masyarakat Sembari tetap bersikap ilmiah.

Pemikiran Otto Gusti itu sejalan dengan Karl Mannheim. Sosiolog asal Hongaria itu menyebut cendekiawan yang Enggak terlibat dalam kerja-kerja praksis sebagai pengkhianat. Mereka Layak dicap pengkhianat karena hanya Bisa menyuarakan kebenaran dari menara gading ilmunya.

Ketika terlibat dalam pergulatan hidup konkret masyarakat, terutama di dalam kekuasaan, elok nian bila intelektual Enggak lupa jalan pulang. Kata Cornelis Lay, cukup banyak intelektual yang mengalami kesulitan menemukan jalan kembali begitu mereka berada di dalam lingkaran kekuasaan. Tanpa dibentengi sikap ilmiah, intelektual yang Enggak Mengerti jalan pulang itu bakal menjadi butiran debu alis koruptor.

Mungkin Anda Menyukai