Buya Syafii dan Mental Muhammadiyah

SAYA menulis Podium ini dengan tangan gemetar menahan lemas. Kepergian tokoh bangsa Buya Syafii Maarif Membangun saya sangat sedih. Seperti melepas kepergian seorang Bapak sendiri.

Saya hanya beberapa kali berinteraksi langsung dengan Buya Syafii. Itu pun sekadar bersalaman. Enggak pernah mengobrol panjang. Tetapi, interaksi langsung terakhir saya dengan Buya Syafii pada Januari 2022 Membangun saya sangat terkejut dan tersanjung. Itu terjadi berkat tulisan di Podium juga.

Pada rubrik Podium edisi 21 November 2020, saya menulis judul Mental Muhammadiyah. Inti tulisan itu ialah bangsa ini perlu mencontoh secara sungguh-sungguh mental pergerakan Muhammadiyah yang direpresentasikan tokoh-tokohnya, termasuk Buya Syafii.

Setahun lebih berselang, rupanya tulisan tersebut baru dibaca Buya Syafii yang bersumber dari jejak digital di Mediaindonesia.com. Buya Lewat membagikan tulisan tersebut ke jejaring Muhammadiyah.

Kepada saya, melalui pesan Whatsapp (WA), Buya Syafii pun menuliskan bahwa ia belum layak Buat disejajarkan dengan KH Ahmad Dahlan dan Pak AR Fachruddin, Ketua Standar PP Muhammadiyah terlama. Di pesan WA itu Buya menulis, ‘Aduh, saya tersanjung disebut Bung Kohar, tp asketisme sy jauh di Dasar Ahmad Dahlan dan AR Fachruddin. Tulisan Bung Kohar sangat menyentuh. Tabik. Maarif’.

Itulah yang Membangun saya terkejut, tersanjung, tapi juga Terpesona dengan kerendahhatian seorang tokoh besar bangsa ini, Buya Syafii. Tokoh yang autentik, yang dalam episode kehidupan dan sepak terjangnya tergolong zuhud (sederhana dan Ikhlas), tetapi menolak Buat disebut zuhud.

Cek Artikel:  Menyelamatkan Anjing dan Kucing

Ketika menulis Mental Muhammadiyah, saya menyebutkan andaikan saja Kiai Haji Ahmad Dahlan Tetap hidup, barangkali dia akan terkesima Menyantap pesatnya laju Muhammadiyah, organisasi yang didirikannya lebih dari 100 tahun yang Lewat itu.

Massa mereka yang berjumlah lebih dari 50 juta itu heterogen. Total asetnya pun setara aset organisasi atau korporasi besar kelas dunia: mencapai ratusan triliun rupiah. Istimewanya, tak sejengkal pun aset lahan dan aset-aset lainnya itu atas nama pribadi. Seluruhnya atas nama persyarikatan.

 

Pertanyaannya, bagaimana Dapat organisasi yang ‘didesain’ secara sederhana, dengan tujuan yang ‘sederhana’, dengan langkah yang serbasederhana Dapat menghasilkan aset ratusan triliun dan semuanya atas nama organisasi?

Jawabannya juga sederhana. Sekalian itu Terdapat hubungannya dengan mentalitas Muhammadiyah hasil kerja panjang dan konsisten selama lebih dari satu abad. Mentalitas yang dibentuk ialah mental aghniya (mental orang kaya), mental memberi, serta spirit membebaskan sekaligus memberdayakan.

Cek Artikel:  RUU Desa Disahkan, Perampasan Aset Mandek

Itu pula yang dilakukan Buya Syafii. Ia Tetap Standar jalan kaki ke masjid, naik bus atau kereta api, dan ikut antre Ketika berobat di RS Muhammadiyah. Seorang aktivis yang lumayan dekat dengan Buya Syafii pernah ‘mengingatkannya’ Buat mengganti mobil agar ‘sesuai’ dengan posisinya sebagai Ketum Muhammadiyah. Buya Syafii menjawab, “Ah, ini juga sudah cukup.”

Seorang aktivis Muhammadiyah lainnya, Pramono U Tanthowi, punya kisah bagaimana autentiknya Buya Syafii. Selama menjabat Ketua Standar PP Muhammadiyah, kata dia, Buya Syafii mendapatkan dukungan finansial dari beberapa pengusaha Muhammadiyah Buat mendukung mobilitasnya, terutama Kalau Terdapat undangan mendadak dari berbagai daerah.

Fulus yang diterima Buya itu digunakan Buat membeli tiket pesawat, penginapan, serta sumbangan Buat pengurus daerah, Daerah, atau amal usaha yang dikunjungi.

Suatu ketika, beberapa minggu menjelang Muktamar Ke-45 Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) 2005, salah satu pengusaha bercerita bahwa Buya Syafii menyerahkan laporan secara lengkap soal Fulus sumbangan itu. Di laporan itu Buya menuliskan Lepas berapa saja diterima, jumlahnya berapa, dan total Fulus yang diterima. Lewat, Terdapat juga perincian pengeluaran: Lepas berapa pergi ke mana, harga tiket berapa, biaya penginapan, serta amplop tinggalan ke daerah.

Cek Artikel:  Nadia dan Momika

Dari laporan itu Rupanya Tetap Terdapat sisa Fulus kira-kira Rp19 juta. Pengusaha itu bercerita bahwa Buya bertanya, sisa Fulus itu harus dikembalikan ke mana. Pengusaha itu Separuh Enggak percaya. Ia bahkan Enggak pernah menghitung Fulus yang diberikan ke Buya, tapi malah Buya yang mencatat lengkap.

Begitulah Buya. Ia terbiasa hidup bersahaja. Semuanya autentik. Bukan basa-basi, Enggak pula Buat pencitraan. Ia mewarisi tradisi mental Muhammadiyah yang dibentuk KH Ahmad Dahlan, Lewat dijalankan secara Maju-menerus oleh para pimpinan Muhammadiyah selanjutnya.

Itu Sekalian resep mengapa Muhammadiyah berkembang sangat pesat. Kombinasi antara taat doktrin, autentisitas sikap dan laku, dan konsistensi gerak itulah yang menjadi sumbangsih besar Buat bangsa ini. Selamat jalan, Buya. Semoga bangsa ini sanggup mengikuti jejak autentikmu.

Mungkin Anda Menyukai