Menghalau Langit Kelabu Jakarta

Menghalau Langit Kelabu Jakarta
Ilustrasi MI(MI/Seno)

PENCEMARAN udara telah menjadi bahaya laten karena tidak pernah surut setidaknya hampir tiga dasa warsa ini. Laporan United Nations Environment Programme (UNEP) 1994/1995 menobatkan Jakarta dengan udara paling tercemar ke-3 di dunia setelah Mexico City dan Bangkok. Kini setahun belakangan ini Jakarta justru sering menempati posisi sebagai kota paling tercemar di dunia.  

Bahkan, hari-hari Lebaran Idul Fitri 1440 H, langit Jakarta kelabu dengan udara yang sangat tidak sehat, berbeda dengan lebaran-lebaran sebelumnya yang umumnya diwarnai langit biru dengan kualitas udara baik. Tiga bulan belakangan ini warna langit kelabu menjadi permanen sehingga memperpendek jarak pandang. Tentu ini menjadi petaka bagi siapa pun yang sedang berada di Jakarta.
 
Jangan heran apabila banyak orang menderita sakit/penyakit terkait pencemaran udara ini, seperti ISPA, iritasi mata/kulit, alergi, pneumonia, asma, bronchopneumonia, COPD (chronicle obstructive pulmonary dieses) atau penyempitan saluran pernapasan, jantung coroner, kanker, gangguan  fungsi ginjal, hingga kematian dini. Tak luput Ibu Ani Yudhoyono (Ibu Negara 2004-2014) wafat karena kanker darah; Ibu Endang Rahayu Sedyaningsih (Menteri Kesehatan 2009-2012) wafat karena kanker paru dan terakhir Jenderal George Toisutta (mantan KSAD) serta Bapak Sutopo (BNPB) juga wafat karena kanker; selain beberapa artis dan warga lainnya yang wafat karena jantung koroner.
 
Sakit/penyakit terkait pencemaran udara ini telah merenggut banyak korban dan angkanya terus meningkat dari waktu ke waktu. Pencemaran udara ialah pemicu kanker yang tak dapat dihindari oleh mereka yang berada di kawasan dengan udara tercemar. Satu-satunya cara hanyalah menghentikan sumber pencemaran udara.
 
Jakarta tercamar?
Pencemaran udara Jakarta menjadi polemik berkepanjangan. Alih-alih mengatasinya justru pemerintah berusaha menangkis bahwa udara Jakarta tidak tercemar. Sesungguhnya pemantauan oleh KLHK dan Pemda DKI Jakarta, terutama parameter PM2.5 menghasilkan data yang relatif sama dengan hasil pemantauan oleh Kedutaan Amerika Perkumpulan yang dikompilasi dari dua stasiun pemantau kualitas udara di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Hasil pemantauan oleh Kedutaan Amerika Perkumpulan ini, antara lain, digunakan untuk memvalidasi hasil model sebaran pencemaran udara–dispersion model of air pollution–yang dikembangkan dengan bantuan proyeksi citra satelit oleh Air Visual.  
 
Merujuk pada hasil pemantauan Kedutaan Besar Amerika Perkumpulan menunjukkan paparan PM2.5 antara 10–194 µg/m3 atau rata-rata tahunan 45.6 µg/m3 (2018) yang berarti udara kategori tidak sehat. Sementara 1 Januari sampai dengan 30 Juli 2019, hasil pemantauan menunjukkan rata-rata tahunan 46.16 µg/m3 atau meningkat sekalipun masih dalam kategori tidak sehat. Hasil pemantauan ini tidak jauh berbeda dengan hasil pemantaun oleh KLHK dan DLH DKI Jakarta.  Hasil pemantauan yang dilakukan DLH DKI Jakarta menunjukkan data antara 29–102 µg/m3 (2019) dengan rata-rata tahunan 43 µg/m3 dan pemantauan oleh KLHK (2018) yang menunjukkan rata-rata tahunan 39 µg/m3; yang keduanya pada posisi 36–55 µg/m3 yang berarti kategori tidak sehat.
 
Selain acuan SK Meteri Lingkungan Hidup No KEP-45/MENLH/10/1997 yang sudah tidak memadai, kini saatnya menggunakan acuan indeks kualitas udara WHO (2005) agar mampu memberikan perlindungan yang maksimal bagi kesehatan masyarakat. Indeks ini mengklasifikasikan kategori kualitas udara untuk parameter PM2.5 dengan kategori baik (konsentrasi 0-10 µg/m3); kategori sedang (konsentrasi 10-35 µg/m3); kategori tidak sehat untuk kelompok sensitif (konsentrasi 36-55 µg/m3); kategori tidak sehat (konsentrasi 56-65 µg/m3); kategori sangat tidak sehat (konsentrasi 66-100 µg/m3); dan kategori berbahaya (konsentrasi 100 µg/m3 ke atas).
 
Fakta pencemaran
Hasil pemantauan kualitas udara oleh Pemda DKI Jakarta (2012-2017) dan Kedutaan Besar Amerika Perkumpulan (2016-2017) menunjukkan rata-rata tahunan dengan kategori tidak sehat dengan parameter dominan PM2.5, PM10 dan SO2.
 
Indeks kualitas udara selain parameter PM2.5, terdapat parameter PM10, SO2 dan O3 yang secara silih berganti sejak 2012 menyebabkan kualitas udara Jakarta menjadi tidak sehat. Pada periode 2012–2017, jumlah tertinggi hari dengan kualitas udara baik ialah 69 (2017) selebihnya kurang dari itu dan didominasi oleh kategori sedang, tidak sehat, sangat tidak sehat hingga berbahaya. Sementara itu, manusia bernapas membutuhkan udara kategori baik.
 
Seorang atlet ketika bertanding dengan kualitas udara dalam kategori sedang, maka dia tidak akan mampu mencapai rekor terbaiknya, apalagi dalam udara kategori tidak sehat dan berbahaya.  Selain itu, menurut penelitian UNEP, pencemaran udara Jakarta telah menyebabkan angka sakit/penyakit terkait pernapasan sehingga masyarakat harus membayar biaya medis Rp38,5 triliun pada 2010 dan meningkat lagi menjadi Rp51,2 triliun pada 2016.
 

Cek Artikel:  Berkah Idul Fitri dan Perubahan Sosial

Sumber pencemaran utama ialah kendaraan bermotor, yaitu menyumbang 47% PM10. Demikian halnya untuk parameter yang lain sumber utama juga didominasi kendaraan bermotor seperti PM2.5 (75%), SO2 (72%), NOx (85%), CO (84%). Sumber lainnya mencakup industri (termasuk pembangkit listrik), debu jalanan, domestik, pembakaran sampah dan proses konstruksi bangunan.  
 
Sejauh ini belum ada usaha serius dari pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk mengendalikan pencemaran udara meskipun regulasi sudah mengatur secara teknis. Peraturan Daerah No 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara berikut dengan beberapa peraturan pelaksanaannya telah mengatur secara teknis pengendalian pencemaran udara antara lain dengan konversi bahan bakar gas (BBG) untuk angkutan umum dan kendaraan operasional pemprov. Tetapi demikian, program konversi BBG ini gagal karena hanya mampu mengonversi sekitar 17 ribu unit angkutan umum dari sekitar 106 ribu unit yang diwajibkan oleh perda. Bahkan kendaraan operasional pemprov yang wajib dikonversi menggunakan BBG, kini tak satu pun yang menggunakan BBG.
 
Selain itu, terdapat ketentuan kewajiban pengasawan dan pemeriksaan emisi untuk mendorong kesadaran merawat kendaraan agar memenuhi baku mutu emisi gas buang. Pada kenyataannya tugas pengawasan yang menjadi kewajiban kepolisian ini nyaris tak pernah dilakukan koordinasi sehingga polisi lalu lintas berkemauan melaksanakan razia emisi sebagai pendorong agar masyarakat senantiasa menjaga emisi kendaraan sehingga tetap dalam batas baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, kepolisian juga tidak menjalankan kewajibannya razia emisi ini sekalipun diamanatkan oleh Pasal 210 UU No 22/2009 tentang Lewat Lintas Angkutan Jalan Raya.
 
Selain tidak dijalankan, program pengawasan dan pemeriksaan emisi kendaraan ini juga pernah terjebak pada kepentingan bisnis penyediaan stiker tanda lulus uji emisi hingga menyebabkan pertikaian antara oknum pemprov DKI Jakarta dan asisiasi bengkel yang bermuara pada proses penyidikan oleh kejaksaan tinggi. Trauma dengan kasus ini, kemudian usaha pengawasan dan pemeriksaan emisi kendaraan dipetieskan hingga sekarang.
 
Pada pasal lainnya mengatur pengelolaan ISPU dan memublikasinys kepada masyarakat serta memberikan peringatan dini ketika indeks menunjukkan katetori tidak sehat dan berbahaya, dengan demikian masyarakat bisa mengantisipasi langkah-langkah untuk menghindari risiko pencemaran udara.
 
Perda ini juga mengatur tentang pengawasan dan pemeriksaan serta pentaatan ambang kebisingan kendaraan dan pabrik; kewajiban pemulihan kualitas udara; pemulihan kawasan dengan mengatur keharusan pengembangan RTH; izin pembuangan emisi, penyelenggaraan hari bebas kendaraan bermotor; peran masyarakat dan organisasi lingkungan hidup dalam pengendalian pencemaran udara; dan peran pemprov dalam keseluruhan proses pengendalian pencemaran udara melalui pembinaan dan pengawasan.
 
Faktaya, upaya pengendalian pencemaran udara gagal mencapai apa yang telah dimandatkan dalam Perda No 2/2005.  Wajar apabila 7 tahun terakhir kualitas udara memburuk dan berdampak terhadap kesehatan masyarakat.  Fakta ini semakin terang ketika aplikasi gadget memublikasikan secara global termasuk Jakarta dengan sajian data kualitas udara yang bisa diakses setiap saat (realtime).
 
Pengendalian pencemaran udara
Usaha menjalankan amanat Perda No 2/2005 untuk mengendalikan pencemaran udara dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan cara mudah adalah: pertama, konversi BBG untuk kendaraan operasional pemprov dan angkutan umum yang jumlahnya mencapai sekitar 106 ribu unit. Infrastruktur untuk ini sudah tersedia, yaitu 45 unit SPBG dan 20 unit lagi sedang dalam persiapan konstruksi.
 
Kedua, razia emisi oleh polisi lalu lintas sesuai dengan amanat UU No 22/2009 selain amanat Perda No 2/2005. Kepada menjalankan ini hanya membutuhkan koordinasi antara Gubernur DKI Jakarta dengan Kapolda Metro Jaya. Razia emisi dilakukan dengan menguji emisi kendaraan yang dirazia dan apabila tidak memenuhi baku mutu, maka ditilang untuk diproses di pengadilan dan dikenakan sanksi sesuai dengan regulasi, yaitu maksimal Rp50 juta.
 
Ketiga, hanya mengizinkan distribusi dan pemasaran BBM berkualitas baik dan BBG, dan melarang pemasaran premium 88, pertalite 90, solar 48, dan dexlite. Karena keempat jenis BBM ini tidak sesuai dengan kebutuhan mesin kendaraan yang rata-rata sudah berstandar Euro2 sejak 2005. Selain itu, solar 48 dan dexlite ialah bahan bakar dengan kadar belerang lebih dari 1.000 ppm yang memicu tingginya emisi PM, SO2, NOx yang menyebabkan langit Jakarta kelabu seperti akhir-akhir ini.
 
Keempat, menghentikan izin trayek bus-bus kota yang berjelaga (asap hitam). Kelima, memperluas fasilitas angkutan umum masal yang aman, nyaman dan terjadwal dengan baik. Keenam, pengembangan fasilitas trotoar secara massif di wilayah kota sehingga memungkinkan intergrasi moda transportasi dan demikian menaikkan minat masyarakat berjalan kaki yang dipadukan dengan moda transportasi angkutan umum masal.
 
Ketujuh, melarang truk angkutan barang dan angkutan sampah beroperasi di siang hari sehingga tidak menyebabkan kemacetan dan meningkatkan intensitas pencemaran udara akibat kemacetan. Kedelapan, mengefektifkan kerja lurah dan camat serta aparat sipil negara lainnya untuk mengawasi dan menindak tegas para pelaku pembakar sampah termasuk proses daur ulang kabel bekas, aki bekas, alumunium foil, dll.  
 
Kesembilan, segera memberlakukan ERP (electronic road pricing) dan tarif parkir progresif di kawasan yang berimpit dengan jalur angkutan umum masal yang telah memenuhi kriteria aman, nyaman dan terjadwal baik seperti commuter line, MRT, Trans-Jakarta, feeder Trans-Jakarta sehingga memungkinkan orang bergeser dari penggunaan kendaraan pribadi (mobil dan sepeda motor) ke angkutan umum masal.
 
Kesepuluh, penghentian usaha bengkel cat pinggir jalan yang tidak memiliki ruang tertutup untuk melakukan proses pengecatan. Kesebelas, pemberlakuan keharusan proses konstruksi gedung harus menggunakan penutup (layer) guna menahan paparan debu. Kedua belas, melarang penggunaan bahan bakar batu bara untuk proses produksi di wilayah DKI Jakarta. Ketiga belas, menghentikan permanen atas pabrik yang mengemisikan limbah B3. Keempat belas, penetapan pajak progresif dikaitkan dengan tingkat emisi kendaraan dan cerobong pabrik.
 
Dalam rangka melindungi segenap masyarakat dan ekosistem dari pencemaran udara, kini saatnya melakukan langkah-langkah konkret, cepat, dan efektif sebagai tersebut di atas, selain merevisi baku mutu udara ambien.

Cek Artikel:  Sikap para Capres terhadap Palestina dan Israel

 

Mungkin Anda Menyukai