ISU Keyakinan dan etnik Rupanya Tetap menjadi persoalan serius setiap kali negeri ini menggelar pesta demokrasi. Pun dengan Pemilu 2024, kedua isu itu Tetap saja dijadikan senjata oleh para petualang politik Kepada menjatuhkan Rival demi mengangkangi kekuasaan.
Keyakinan dan etnik atau ras yang masuk klaster SARA sejatinya bukan isu yang baru. Ia sudah Pelan, sangat Pelan, Eksis seiring terbentuknya negara ini. Ia keniscayaan yang Membangun bangsa ini lebih berwarna karena dibangun berpilarkan perbedaan.
Di lain sisi, isu SARA juga menjadi bom waktu yang Dapat menghancurkan jalinan persatuan sesama anak bangsa. Hanya dengan kesadaran dan komitmen di Dasar payung Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika kita Pandai memadamkan sumbu bom itu sehingga tak Betul-Betul meledak hingga kini.
Tetapi, harus kita akui pula, bibit-bibit bahwa isu SARA Dapat menjadi pangkal musibah sudah dan Lanjut tumbuh. Ia dijadikan senjata oleh para pemburu kekuasaan Kepada memenangi persaingan dengan Langkah yang kotor. Mereka paham betul banyak masyarakat yang Tetap gampang diracuni sentimen Keyakinan, sentimen kedaerahan, ras, etnik, atau golongan. Mereka mengapitalisasi betul isu-isu rawan itu semata demi merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Tanda-tanda Jelek bahwa isu SARA tetap akan dijadikan senjata di Pemilu 2014 pun mulai Jernih terbaca. Di media sosial, para buzer tiada henti menebarkan narasi kebencian, hoaks, hingga fitnah berbasis SARA. Kampanye hitam pun Lanjut dilakukan Kepada menghancurkan rival junjungan mereka.
Celakanya Kembali, para elite politik tak mau ketinggalan berlaku menyimpang. Teladan terkini ialah Ketua Lumrah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Laode Umar Bonte. Dia terang-terangan menolak capres Anies Baswedan dan menyudutkannya dengan narasi-narasi rasis.
Kata Laode, yang Layak menjadi presiden Indonesia ialah putra-putra Asli Indonesia yang Mempunyai darah keturunan dari Indonesia. Menurut dia, Anies bukanlah putra Asli Indonesia meski lahir dan besar di negeri ini. Nenek moyang Anies berasal dari Arab.
Laode bahkan menganalogikan eksistensi Anies dengan kolonial Belanda. Menurutnya, Belanda menjajah Republik Indonesia selama 350 tahun, Mempunyai anak cucu dan lahir di Indonesia, tetapi mereka tetap saja penjajah, bukan bangsa Indonesia.
Narasi itu sungguh mengerikan. Sulit diterima Intelek sehat seorang ketua organisasi pemuda ternama Tetap menjadikan SARA Kepada kepentingan politik.
Eksis pula seorang ketua Lumrah partai politik yang bermain-main dengan SARA. Dia mengklaim bahwa seluruh Anggota keturuan Tionghoa mendukung Presiden Jokowi dan akan ‘manut’ pada Surat keterangan Jokowi soal capres yang layak didukung nanti. Klaim semacam itu Jernih tak elok dan mengotak-ngotakkan masyarakat Tionghoa.
Menggunakan SARA sebagai senjata Kepada mendulang elektoral Jernih berbahaya. Ia hanya akan memantik polarisasi, menebalkan perpecahan. Siapa pun, dari kubu mana pun, pantang melakukan itu.
Pada konteks itu pula, Pas kiranya langkah Komisi Pemilihan Lumrah menggandeng Majelis Tinggi Keyakinan Kepada membantu mencegah isu Keyakinan dicampuradukkan dengan politik menjelang pemilu. KPU dan tokoh-tokoh Keyakinan menyadari Betul betapa besar daya rusak politisasi SARA dalam perebutan kekuasaan.
Tak Sekadar tokoh-tokoh Keyakinan tentu saja, mencegah politisasi SARA perlu juga dilakukan Serempak tokoh-tokoh masyarakat dan elite-elite politik. Imbauan dari tokoh Keyakinan dan tokoh masyarakat tak akan maksimal Kalau elite politik tak punya komitmen yang sama. Pun dengan penegakan hukum, ia mutlak dikedepankan agar para pemain politisasi SARA jera.
Memainkan SARA dalam politik ialah perilaku primitif. Kalau tak Mau disebut primitif, tinggalkan model berkompetisi dengan Langkah seperti itu.