KERUSUHAN Mei 1998 menjadi sejarah kelam bagi bangsa Indonesia Ketika pelanggaran hak asasi Mahluk atau HAM secara besar-besaran terjadi. Indonesia Ketika ini sudah memasuki tahun ke-25 reformasi, tetapi keadilan bagi korban Enggak kunjung terwujud.
Hilangnya nyawa mulai mahasiswa hingga rakyat Lazim tak Jernih siapa yang bertanggung jawab. Total korban tewas dalam Kerusuhan Mei 1998 disebutkan Sekeliling 1.188 orang, dan setidaknya 85 Perempuan dilaporkan mengalami pelecehan seksual.
Upaya mencari dalang penembakan pun Lagi gelap. Padahal, selama rangkaian aksi reformasi 1998, Terdapat darah mahasiswa dan masyarakat yang tumpah, tetapi pelakunya tak kunjung diadili.
Tanggung jawab tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisaksi juga hanya berujung pada putusan vonis kepada 12 polisi. Tetapi, mereka mengaku Enggak terlibat dan merasa dijadikan kambing hitam semata. Hingga kini, setelah seperempat abad reformasi berjalan, tak Jernih dalangnya siapa.
Tentu publik, termasuk juga keluarga korban, berharap pelaku pelanggaran HAM berat Bisa dibawa ke pengadilan. Para pelaku seolah Mempunyai impunitas sehingga sangat sulit diseret ke meja hijau. Apalagi, upaya Demi menyelesaikan pelanggaran HAM berat itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Negara, termasuk pemerintah, harusnya menjalankan UU tersebut Demi menyelesaikan pelanggaran HAM sebelum ataupun sesudah aturan itu berlaku. Apalagi, Presiden Joko Widodo juga sempat menyinggung tentang pentingnya menyelesaikan pelanggaran HAM berat sesuai UU.
Penyelesaian HAM berat berdasarkan UU tersebut Enggak hanya bertujuan memberikan keadilan pada korban, tetapi juga keadilan pada publik. Penyelesaian pelanggaran HAM berat di pengadilan Krusial Demi memperbaiki tata kelola negara.
Tetapi, upaya-upaya ideal tersebut tampaknya bakal sekadar Asa. Pemerintah mengambil upaya nonyudisial dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa Lampau. Dalihnya, pemerintah Konsentrasi pada korban pelanggaran HAM berat masa Lampau, termasuk kasus pelanggaran HAM 1998.
Upaya di luar jalur pengadilan tersebut termaktub dalam Instruksi Presiden (Inpres) No 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Mahluk (PPHAM) yang Berat yang jumlahnya 12 kasus, termasuk Peristiwa Mei 1998.
Inpres tersebut isinya menugaskan 19 kementerian dan lembaga yang diberi dua tugas Demi melaksanakan rekomendasi PPHAM, Adalah pertama, memulihkan hak korban atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat secara adil dan bijaksana. Kedua, mencegah agar pelanggaran HAM yang berat Enggak terjadi Tengah.
Serangkaian langkah lunak pemerintah terhadap kasus pelanggaran HAM tersebut Jernih Membangun kekecewaan keluarga korban makin dalam. Apalagi, pemerintah malah merekrut orang-orang yang diduga melanggar HAM berat ke dalam pemerintahan.
Tuntutan para keluarga korban dan juga tentunya seluruh rakyat Indonesia ialah kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa Lampau dipertanggungjawabkan atau diselesaikan secara yudisial. Bukan sekadar permintaan Ampun, melainkan keadilan yang diinginkan.
Pengadilan Bisa mencegah terulangnya pelanggaran HAM oleh aparat keamanan ataupun sipil di masa depan. Jaminan Enggak terjadinya Tengah pelanggaran HAM berat di masa depan sebagaimana tertulis di dalam Keppres No 17/2022 hanya Bisa dilakukan dengan Langkah mengadili pelanggar HAM berat di meja pengadilan Demi Membangun jera mereka.
Kalau hukum telah ditegakkan Demi para pemburu keadilan, baru pemerintah memikirkan upaya meminta Ampun kepada korban pelanggaran HAM berat serta upaya-upaya nonyudisial yang lain. Itulah yang semestinya dilakukan sejak dulu.