Jangan Risaukan Aksi Pinggiran

SEORANG Mitra secara serius bertanya kepada saya: mengapa Lagi Terdapat saja Grup muslim yang anti-Pancasila? Bukankah Pancasila bukan saja Tak bertentangan dengan Islam, melainkan juga Bahkan telah mencerminkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar Islam? Bukankah Pancasila juga dirumuskan oleh tokoh-tokoh Krusial umat Islam Indonesia?

Ia pun menyodorkan fakta terbaru penangkapan Abdul Qadir Hasan Baraja, sosok yang getol mengampanyekan sistem khilafah lewat Khilafatul Muslimin sembari menentang Pancasila sebagai bukti atas pertanyaannya itu. Abdul Qadir ditangkap polisi di Bandar Lampung, akhir pekan Lewat.

Saya pun menjawab bahwa orang-orang atau komunitas penolak Pancasila itu hanyalah pinggiran. Arus besar umat Islam Indonesia sudah selesai dengan urusan konsensus Pancasila sebagai ideologi negara. Sejak lelet, malah.

Terdapat dinamika di sana-sini dalam lintasan sejarah soal penafsiran Pancasila, itu bukan masalah besar. Toh, meminjam pendapat cendekiawan Nurcholish Madjid (Cak Nur), Pancasila itu ideologi terbuka. Sangat Elastis Demi dimaknai, senyampang Lagi dalam bingkai spirit kebangsaan dan mengakuinya sebagai ideologi konsensus bangsa.

Maka, kepada sang Mitra saya mengatakan Demi Tak terlalu merisaukan gerakan ‘pinggiran’ itu. Selama arus besar ormas Islam Indonesia setia mengawal Pancasila, jangan khawatir ideologi negara akan diganti, misalnya, dengan khilafah atau apa pun jenis dan bentuknya.

Cek Artikel:  Politik Perumahan ala Kadarnya

Terdapat suatu episode ketika Ketua Standar Partai Masyumi (partai Islam terbesar di Indonesia) Mohammad Natsir kerap disebut ‘menomorduakan’ Pancasila, hanya karena polemiknya dengan Bung Karno soal Keyakinan dan negara sebelum kemerdekaan. Tetapi, dengan lugas dan tegas M Natsir membantah bahwa ia menolak Pancasila.

Dalam berbagai kesempatan, Bagus di dalam negeri maupun di Lembaga Global, Natsir menegaskan betapa kompatibelnya Pancasila dan Islam. Dalam pidato berjudul Sumbangan Islam bagi Perdamaian Dunia di Karachi, Pakistan, pada 9 April 1952, Natsir antara lain Berbicara, “Pakistan adalah negara Islam. Hal itu Niscaya, Bagus oleh Realita penduduknya maupun oleh gerak-gerik haluan negaranya. Dan, saya katakan Indonesia juga adalah negara Islam, oleh Realita bahwa Islam diakui sebagai Keyakinan dan panutan jiwa bangsa Indonesia, meskipun Tak disebutkan dalam konstitusi bahwa Islam itu adalah Keyakinan negara. Indonesia Tak memisahkan Keyakinan dari (masalah) kenegaraan. Dengan tegas Indonesia menyatakan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa jadi tiang pertama dari Pancasila, kaidah yang lima, yang dianut sebagai dasar rohani, dasar akhlak dan susila oleh negara dan bangsa Indonesia.”

Lebih setahun kemudian, tepatnya pada 7 Mei 1953, dalam kuliah Standar di Universitas Indonesia berjudul Negara Nasional dan Cita-cita Islam yang diselenggarakan atas permintaan Ketua Standar Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) A Dahlan Ranuwihardjo, Presiden (1945-1967) Soekarno Begitu menguraikan kedudukan Pancasila dan Islam secara Spesifik menyinggung pidato Natsir itu. “Tentang kedudukan Pancasila dan Islam, Diriku Tak Dapat mengatakan lebih daripada itu dan menyitir Kerabat Pemimpin Besar Masyumi, Mohammad Natsir. Di Pakistan, di Karachi, tatkala beliau mengadakan ceramah di hadapan Pakistan Institute for International Relation beliau mengatakan bahwa Pancasila dan Islam Tak bertentangan satu sama lain.”

Cek Artikel:  Rakyat bukan Pemenang Pemilu

Pada tahun berikutnya, di majalah Hikmah 29 Mei 1954, Natsir menurunkan tulisan berjudul Apakah Pancasila Bertentangan dengan Ajaran Al-Qur’an? Bagi Natsir, perumusan Pancasila ialah hasil musyawarah para pemimpin pada Begitu Tahap perjuangan kemerdekaan memuncak di 1945. Natsir percaya, di dalam keadaan yang demikian, para pemimpin yang berkumpul itu, yang sebagian besar beragama Islam, pastilah Tak akan membenarkan sesuatu perumusan yang menurut pandangan mereka, Konkret bertentangan dengan asas dan ajaran Islam.

Dengan nada retorik, Natsir bertanya, bagaimana mungkin Al-Qur’an yang memancarkan tauhid dapat apriori bertentangan dengan ide Ketuhanan Yang Maha Esa? Natsir sangat Tentu dalam pangkuan Al-Qur’an, Pancasila akan hidup subur. Satu dengan yang lain Tak apriori bertentangan, tetapi Tak pula identik. Natsir Tentu, di atas tanah dan iklim Islamlah, Pancasila akan hidup subur. Itu karena iman dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa Tak dapat ditumbuhkan dengan semata-mata mencantumkan kata-kata dan istilah Ketuhanan Yang Maha Esa itu di dalam perumusan Pancasila.

Cek Artikel:  Cemburu pada Johor Bahru

Berlainan soalnya, kata Natsir, apabila sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu sekadar buah bibir. Bagi orang-orang yang jiwanya sebenarnya skeptis dan penuh ironi terhadap Keyakinan, bagi orang ini, dalam ayunan langkahnya yang pertama saja Pancasila sudah lumpuh. Apabila sila yang pertama itu, yang hakikatnya urat-tunggal bagi sila-sila berikutnya sudah tumbang, seluruh sila lainnya akan hampa dan amorph, Tak mempunyai bentuk yang tentu. Yang tinggal ialah kerangka Pancasila yang mudah sekali dipergunakan Demi penutup tiap-tiap langkah perbuatan yang tanpa sila, Tak berkesusilaan sama sekali.

Dari sejak perumusan, pemantapan, hingga pelaksanaannya, Bahkan arus Primer umat Islam ikut mengawal Pancasila. Bahkan, tokoh-tokoh Islam Indonesia ikut ‘memasarkan’ prinsip-prinsip Pancasila ke dunia Islam melalui Lembaga-Lembaga Global. Mereka menyebut Pancasila sebagai sumbangsih umat Islam Indonesia Demi perdamaian dunia.

So, Mitra, jangan risaukan aksi pinggiran, selantang apa pun teriakan mereka. Pancasila, asal dilaksanakan dengan murni dan konsekuen (istilah yang kerap dipakai Orde Baru), bakal tumbuh subur dan tetap kukuh.

Mungkin Anda Menyukai