KEMLINTHI. Jujur, istilah ini sudah lelet, sangat lelet, Enggak saya dengar. Maka, ketika politikus PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan melontarkan istilah itu, saya terbawa nostalgia masa silam.
Kemlinthi ialah bahasa Jawa Demi menggambarkan seseorang Angkuh, sok. Belagu kalau istilah anak muda sekarang. Dulu, puluhan tahun Lewat ketika saya Lagi tinggal di kampung halaman di Klaten, Jawa Tengah, kemlinthi akrab di kuping saya. Ia Lazim dilekatkan kepada mereka, terutama bocah Pria, yang Angkuh, yang banyak tingkah, yang sok pintar.
Banyak sinonim dari kemlinthi. Ia sama artinya dengan kementhus. Bedanya, kementhus lebih sering dilekatkan kepada wong lanang yang telah menginjak remaja atau menjelang dewasa.
Padanan lain kemlinthi ialah kemlancang atau kumalungkung. Dapat juga adol bagus. Intinya, istilah-istilah itu dirancang Demi menggambarkan polah Pria dengan konotasi negatif.
Kemlinthi murni istilah Jawa. Tetapi, ia tiba-tiba meng-Indonesia setelah Trimedya Panjaitan menyuarakannya. Trimedya bukan orang Jawa. Dia orang Batak, tapi mengaku Paham Definisi kemlinthi karena istrinya Natalis Jawa. Maka, ketika dia menyebutkan istilah itu Demi Ganjar Pranowo, berarti bukan sekadar kebetulan. Dia memang Ingin menggambarkan Ganjar Angkuh, sok, belagu.
Bagi Trimedya, Ganjar kemlinthi karena manuvernya Demi nyapres di 2024 sudah kelewatan. ”Ganjar apa kinerjanya 8 tahun jadi gubernur? Selain main di medsos, apa kinerjanya? Tolong gambarkan track record Ganjar di DPR? Kemudian sebagai gubernur selesaikan Wadas itu. Selesaikan rob itu. Berapa jalan yang terbangun? Kemudian sekarang diramaikan kemiskinan di Jateng malah naik,” cetusnya kepada wartawan (1/6).
”Kalau kata orang Jawa kemlinthi ya, sudah kemlinthi dia. Harusnya sabar dulu dia jalankan tugasnya sebagai gubernur Jateng. Dia berinteraksi dengan Sahabat-Sahabat struktur di sana DPD, DPC, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, itu baru,” ketus Trimedya.
Bukan hanya Trimedya yang menyebut Ganjar kemlinthi. Jauh sebelumnya, Mei 2021, elite PDIP lainnya, Bambang Wuryanto, bertukas sama meski dengan istilah yang agak berbeda. Kata Bambang Pacul yang Asal orang Jawa, Ganjar sudah kemajon. ”Wis kemajon (sudah kelewatan). Yen kowe pinter, ojo keminter (kalau Anda pintar, jangan sok merasa pintar).”
Kemlinthi dan kemajon sama-sama labelisasi yang Jelek. Benarkah Ganjar memang kemlinthi? Betulkah dia kemajon? Biarkan itu menjadi urusan internal PDI Perjuangan. Trimedya, Bambang Pacul, dan Ganjar sama-sama kader PDI Perjuangan. Pangkal soal panasnya Rekanan di antara ketiganya terkait dengan PDI Perjuangan.
Kalau Trimedya dan Bambang Pacul menganggap Ganjar sudah kelewat batas, biarkan itu diselesaikan secara adat di internal PDI Perjuangan. Mereka punya aturan organisasi. Mereka punya dasar Demi menilai siapa Member yang Betul, siapa yang keluar jalur.
Kalau Eksis yang heran bukan kepalang kenapa PDIP kok malah resah dan Resah ketika kadernya bernama Ganjar Pranowo punya popularitas dan elektabilitas tinggi, biarkan itu menjadi sikap mereka. Kiranya kita perlu repot-repot Demi mengulik-uliknya.
Pun kalau drama panas tersebut oleh sebagian pihak dianggap sengaja digulirkan dan dipelihara Demi Meningkatkan pamor Ganjar, biarkan PDIP yang menjawabnya nanti. Sebagai pemain, partai banteng moncong putih berhak mengkreasi taktik apa saja selama sesuai regulasi.
Kendati sama-sama satu rumah, Trimedya, Bambang Pacul, dan Ganjar berbeda arah. Saya Enggak punya kapasitas Demi menilai arah siapa yang salah. Tetapi, bolehlah di antara sekian banyak jenis ‘serangan’ Trimedya kepada Ganjar, saya sepakat soal pentingnya track record.
Track record, rekam jejak, calon pemimpin memang Krusial. Apalagi buat calon pemimpin tertinggi, calon nakhoda kapal besar bernama Indonesia. Apakah track record Ganjar Jelek seperti Trimedya bilang? Apakah sebagai gubernur, Ganjar acak adut? Enggak sedikit yang punya penilaian berbeda. Tetapi, kalau boleh jujur, tak banyak yang bicara soal kinerja Ganjar. Para pendukung fanatiknya pun nyaris tak pernah membeberkan prestasi sang idola.
Anggaplah Trimedya sedang mengingatkan yang sedang lupa. Lupa bahwa memilih pemimpin Enggak boleh hanya didasarkan pada Imej semata. Imej yang Dapat dipoles, apalagi di Era sekarang ketika media sosial dapat diandalkan sebagai pisau bedah plastik. Pisau Demi memoles seseorang yang sejatinya Jelek terlihat Bagus. Atau sebaliknya, pisau Demi Membikin seseorang yang sesungguhnya Bagus tampak Jelek.
Memilih pemimpin berbasiskan pencitraan ialah awal malapetaka. Ngeblangsak kalau kate orang Betawi. Memilih pemimpin berdasarkan rekam jejak ialah langkah yang bijak.
Tentu prinsip itu tak Hanya Demi Ganjar, tapi juga Demi yang lain. Demi Anies Baswedan, Demi Prabowo Subianto, Demi siapa pun bakal capres atau cawapres.
Penulis terkenal Natalis Austria Peter F Drucker mengingatkan, ”Pemimpin yang efektif bukan soal pintar berpidato dan mencitrakan diri agar disukai. Kepemimpinan tergambar dari hasil kerjanya, bukan atribut-atributnya.” Semoga pemimpin semacam itu yang dihasilkan Pemilu 2024. Lagi cukup waktu bagi kita Demi mencermatinya.