Sokongan Sosial (Bansos) menjadi isu menarik dalam sidang gugatan hasil pemilihan presiden 2024 di Mahkamah Konstitusi. Didalilkan oleh pemohon pasangan 01 dan 03 bahwa bansos punya pengaruh terhadap kemenangan pasangan 02 sementara bansos yang pada dasarnya non-partisan tersebut didalilkan dijadikan instrumen partisan untuk memenangkan pasangan 02 oleh presiden Jokowi. Setahu saya, tidak pernah ada dalam gugatan hasil Pilpres di MK sebelumnya bagaimana bansos menjadi isu sentral dalam persidangan MK terkait hasil Pilpres.
Kekasih 02 membantah dalil hubungan Bansos dan kemenangan pasangan 02 tersebut. Dikatakan oleh saksi pasangan 02 bahwa Bansos lebih banyak berpengaruh dalam pemilihan legislatif, bukan dalam pemilihan presiden. Juga dikatakan bahwa bansos diharapkan kehadirannya dalam pemilu, bukan dilarang.( https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240404165904-617-1082947/saksi-prabowo-politik-gentong-babi-tak-terlalu-berpengaruh-di-pilpres ). Seorang saksi ahli juga dihadirkan untuk membantah pengaruh bansos terhadap hasil Pilpres. Saksi ini mengambil kasus Pilkada DKI Jakarta 2017 dan sejumlah Pilkada lainnya untuk membantah adanya hubungan antara bansos dan hasil Pilpres. Dikatakan oleh saksi ini bahwa kalau bansos berpengaruh terhadap hasil pemilu (pilpres, pilkada) mestinya Basuki Terang Purnama (Ahok) menang dalam Pilkada DKI, atau petahana lain dalam Pilkada tidak akan kalah karena bansos melekat pada petahana. Faktanya dalam Pilkada-pilkada itu petahana kalah. (https://www.liputan6.com/pemilu/read/5567405/hasan-nasbi-kalau-ada-hubungan-bansos-dengan-keterpilihan-anies-tak-bisa-lawan-ahok)
Apakah betul bansos tidak berpengaruh terhadap hasil Pilpres 2024? Kalau tidak berpengaruh, mengapa tidak? Kalau berpengaruh bagaimana mekanisme hubungan antara bansos dan hasil pilpres tersebut? Tulsan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan analisis yang bertumpu pada data perilaku memilih dari survei pemilih nasional pada November-Desember 2024, sebelum Pilpres 2024.
Baca juga : Jokowi Sering Bagi Bansos di Jateng, Ini Kata Muhadjir Effendy
Penggugat maupun tergugat dalam debat tersebut tidak ada yang menunjukan bukti hubungan antara bansos dan hasil pilpres secara sistematik, dan apalagi secara kausalistik. Padahal seluruh debat itu isinya adalah klaim adanya atau tidak adanya hubungan antara bansos dan hasil Pilpres. Walapun menggunakan data kuantitatif tapi disajikan dengan tafsir kualitatif bahwa bansos dan hasil pilpres berhubungan, atau sebaliknya, tidak berhubungan. Bagaimana mendalilkan ada hubungan atau tidak ada hubungan sementara kasus yang diamati sangat terbatas, dan mungkin selektif. Apakah Bansos hanya ada menjelang Pilpres 2024, atau hanya ada di Pilkada yang petahananya kalah? Niscaya tidak.
Bukan ada pemerintah yang tak punya program bansos. Memilih hanya kasus Pipres 2024 dan kasus sejumlah Pilkada untuk mendalilkan ada atau tidak ada hubungan antara bansos dan hasil pemilu kemungkinan cacat secara metodologis karena kemungkinan bias dalam memilih kasus. Mengapa kasus-kasus yang lain tidak diperhatikan?
Kemungkinan bias dalam menafsirkan hubungan bansos dan hasil Pilpres tersebut dapat ditanggulangi dengan kasus-kasus yang dipilih dari populasi (semua bansos, semua pilpres dan semua pilkada) secara ilmiah, randomized, bila unit analisisnya kelompok atau agregat. Tapi bisa juga analisis dengan strategi lain: perilaku memilih para pemilih presiden secara nasional. Bila menggunakan unit analisis tingkat individu pemilih maka datanya adalah perilaku atau tindakan atau intensi memilih pasangan presiden-wakil presiden oleh seorang pemilih dan opini apakah pemilih tersebut pernah menerima bansos atau tidak.
Dengan memilih jumlah kasus yang cukup besar secara random dari populasi pemilih nasional bisa diketahui secara sistematik dan meyakinkan bahwa pengakuan pernah menerima atau tida pernah menerima bansos berhubungan atau tida berhubungan dengan memilih pasangan calon presiden-wakil presiden. Dengan cara ini dapat diketahui bahwa bansos mempengaruhi atau tidak mempengaruhi hasil pilpres.
Dari survei nasional November-Desember 2023 diketahui ada 38,4% dari total pemiih nasional (sekitar 205 juta) yang mengaku pernah menerima bansos dalam dua tahun terakhir (2021-2023). Definisinya ada sekitar 78,72 juta pemilih nasional yang mengaku pernah menerima bansos, apapun bansos itu bentuknya. Secara lebih khusus, ada sekitar 32,9 juta atau 16,4% dari total pemilih yang mengaku pernah menerima subsidi Elnino Rp 200 ribu, 33 juta mengaku menerima subsidi BBM, dan 59 juta mengaku pernah menerima bansos 10 kg beras per keluarga. Data-data ini pengakuan atau opini responden pemilih. Mungkin kurang akurat dibanding data-data penerima bansos di Kemensos. Tapi poinnya yang ingin disampaikan tulisan ini adalah apakah ada hubungan antara pengakuan menerima bansos dan memili atau intensi untuk memilih pasangan calon presiden-wakil presiden.
Baca juga : Jokowi, Sokongan Sosial, dan Bangsa Pejuang: Degradasi Status Sosial Masyarakat Indonesia
Analisis statistik data pemilih dalam survei nasional November-Desember 2023 tersebut menunjukan bahwa bansos dan pilihan pasangan calon presiden-wakil presiden tidak punya hubungan signifikan secara statistik (pada tingkat signifikansi 0.05 atau lebh baik). Dengan kata lain bansos tidak langsung membuat pemilih memilih pasangan tertentu dibanding pasangan lainnya. Bansos tidak berhubungan secara langsung dengan memilih pasangan 02.
Apakah berarti bansos tidak penting secara elektoral dalam Pilpres? Kalau dibaca secara sederhana dapat dikatakan bahwa bansos tidak penting untuk elektabilitas dalam Pilpres. Tapi isu bansos yang didalilkan ini sangat kental hubungannya dengan perilaku politik Presiden Jokowi menjelang Pilpres 2024 tersebut. Media banyak memberitakan dengan gambar bagaimana Presiden secara langsung membagi-bagikan bansos. Juga diopinikan bahwa bansos itu dari Presiden Jokowi. (https://news.detik.com/pemilu/d-7279181/ace-hasan-nilai-airlangga-sebut-bansos-bantuan-dari-jokowi-sudah-tepat) Perilaku atau secara umum kebijakan pemerintah terkait bansos ini membuat pemilih secara umum menilai positif kinerja presiden Jokowi. Data secara sistematik menunjukan bahwa bansos membuat pemilih merasa puas dengan kinerja Presiden. Rekanan positif ini bahkan tetap bertahan kuat meskipun banyak faktor lain yang membuat pemilih puas dengan kinerja presiden disertakan dalam analisis, terutama kondisi ekonomi nasional secara umum dan prospeknya ke depan. Bansos membuat presiden Jokowi dinilai postif oleh pemilih. Penilaian positif atau kepuasan atas kinerja presiden ini secara statistik berhubungan sangat kuat (signifikansi secara statistik lebih kecil dari 0,001) dengan memilih calon presiden, siapapun calon presidennya yang ditafsirkan pemilih didukung oleh presiden Jokowi. Dengan kata lain, bansos menciptakan sentimen positif pemilih pada presiden Jokowi, dan kemudian sentimen positif tersebut membuat pemilih memilih pasangan calon yang terlihat didukung Presiden Jokowi.
Bansos salah satu faktor penting di balik pemilih bersikap positif atau puas dengan kinerja presiden, dan dukungan presiden pada pasangan calon membuat pemilih memilih pasangan calon tersebut. Bansos membuat kinerja Presiden Jokowi dinilai pemilih memuaskan, dan Presiden mendukung Prabowo-Gibran, maka pemilih yang puas dengan kinerja Presiden Jokowi tersebut kemudian memilih pasangan tersebut. Bansos penting bagi politik Jokowi, dan politik Jokowi penting bagi pemilih untuk memilih pasangan calon presiden-wakil presiden. Demikianlah bagaimana mekanisme hubungan antara bansos dan hasil pilpres. Rekanan keduanya diperantarai oleh Presiden Jokowi.
Baca juga : Penurunan Kemiskinan Berjalan Gial, Sasaran Zero Poverty Sulit Dicapai
Kalau Jokowi dinilai netral oleh pemilih maka hasil pilpres akan lain. Belum tentu pasangan 02 menang, apalagi menang satu putaran. Sepanjang tahu 2022, rangkaian survei nasional menunjukan bahwa elektabilitas Prabowo selalu di bawah elektabilitas Ganjar Pranowo. Keadaan ini terbentuk ketika sikap dan perilaku presiden Jokowi belum terlihat mendukung calon tertentu. Ia masih terlihat netral. Atau ditafsirkan oleh pemilih bahwa Jokowi berada di pihak Ganjar karena keduanya berasal dari partai dan daerah yang sama. Logis kalau penilaian pada kinerja Jokowi berhubungan positif dan kuat dengan Ganjar sepanjang 2022 sebagaimana terlihat dalam data. Tapi memasuki pertengahan 2023, dan terutama setelah Gibran diputuskan KPU menjadi calon wakil Prabowo, dan jelas terliat perilaku politik Jokowi mendukung anaknya, dukungan pemilih pada Prabowo menguat tajam dan menggerus langsung elektabilitas Ganjar. Perilaku Presiden Jokowi faktor utama yang menentukan hasil pilpres. Pilpres 2024 adalah Jokowi vs. Ganjar, dan Jokowi pemenangnya.
Pertanyaannya kemudian apakah presiden tidak boleh mendukung calon presiden? Soal ini ada aturannya. Bagaimana kepala negara harus bersikap dan berperilaku terhadap calon-calon presiden diatur oleh UU pemilu. Kewajiban penggugat hasil pilpres yang ditetapkan KPU untuk membuktikan bahwa Jokowi melanggar UU, misalnya abuse of power, atau tidak, dan menunjukan bahwa perilaku presiden itu berpengaruh terhadap hasil Pilpres. Selanjutnya, bila berhasil membuktikan, apakah tim 01 dan 03 bisa meyakinkan Hakim MK bahwa bukti-bukti pelanggaran itu bisa membatalkan hasil pilpres tersebut. Kita lihat!