Pulih, tapi Inklusif

DUNIA sedang berbenah. Kita, Indonesia, juga Lanjut berbenah. Bencana covid-19 memberikan dua pesan benderang. Pertama, betapa mahapentingnya investasi kesehatan. Kedua, betapa mendesaknya inklusivitas pembangunan.

Investasi di bidang kesehatan akan mengantarkan kita kepada keandalan. Pandemi korona menunjukkan bahwa kita Tetap Ringkih di bidang kesehatan. Tetapi, kita Tak sendiri. Segala negara juga mengalami situasi yang sama: kerapuhan.

Pandemi covid-19 ialah Misalnya sempurna bagaimana kesehatan merupakan modal yang amat Krusial. Ketika kesehatan terganggu karena pandemi, ekonomi pun limbung.

Covid-19 mestinya menyadarkan semuanya bahwa investasi dalam kesehatan masyarakat, terutama Golongan rentan, ialah Unsur amat Krusial. Ke depan, sejumlah negara mulai memantapkan riset di bidang kesehatan. Penelitian kesehatan mulai dikembangkan menuju menu Esensial. Itu karena mereka sadar, bahwa tanpa investasi bidang kesehatan yang memadai, kemajuan ekonomi bakal kian susah dicapai.

Pada Begitu bersamaan, pemulihan ekonomi pascapandemi covid-19 menuntut inklusivitas pembangunan. Mengapa? Karena pandemi telah memunculkan sejumlah persoalan besar: ketimpangan pendapatan, risiko memburuknya kualitas modal Sosok (pendidikan dan kesehatan), dan ketimpangan gender.

Cek Artikel:  IwanBuleOut

Perekonomian memang berangsur membaik. Ini dibuktikan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% lebih dalam dua kuartal terakhir (kuartal keempat 2021 dan kuartal pertama 2022). Tetapi, Terdapat risiko pemulihan yang timpang. Terdapat yang naik, tetapi Tetap banyak yang turun seperti huruf K (K-shape recovery).

Perusahaan di bidang teknologi digital, kesehatan, atau mereka yang Mempunyai tabungan, Bisa langsung berlari kencang. Tetapi, UMKM, pekerja sektor informal, mereka yang tak punya tabungan, Tetap tercecer di belakang. Bahkan, kini mereka roboh Kembali karena kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Mereka tak punya tabungan.

Data Survei Konsumen Bank Indonesia akhir tahun Lewat menunjukkan penurunan Bagian tabungan terhadap total pendapatan yang paling dalam terjadi pada Golongan pengeluaran Rp3 juta ke Dasar. Sebaliknya, tabungan Demi Golongan menengah atas (pengeluaran Rp5 juta ke atas) Malah meningkat (data September 2020-Oktober 2021).

Cek Artikel:  Mulanya Pikiran Bulus, Kini DPR Negarawan

Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga menunjukkan pertumbuhan Anggaran pihak ketiga tertinggi terjadi pada Golongan tabungan Rp5 miliar ke atas. Golongan menengah atas Bisa bertahan karena punya tabungan dan Mempunyai akses digital. Di sisi lain, kesejahteraan Golongan menengah ke Dasar berisiko menurun akibat tabungan yang terkuras dan terbatasnya akses digital.

Pengaruh Tak baik covid-19 yang lebih dalam juga dialami kaum Perempuan. Itu karena banyak dari mereka bekerja di sektor informal. Survei dari McKinsey menunjukkan lebih dari separuh mereka yang kehilangan pekerjaan di dunia ialah Perempuan. Pandemi meninggalkan luka teramat menganga bagi kesejahteraan Golongan rentan.

Itu sebabnya pembangunan pascapandemi harus bersifat inklusif. Harus memberi akses Demi masyarakat luas. Terdapat resep Spesifik yang pernah disampaikan mantan Menteri Keuangan M Chatib Basri soal bagaimana mewujudkan pembangunan inklusif itu.

Kata dia, inklusivitas pembangunan hanya Bisa terwujud Kalau ekonomi Tak melulu Pusat perhatian pada pertumbuhan, tetapi juga pembangunan institusi, termasuk akses kesehatan, pendidikan, dan kesetaraan gender. “Institusi hukum dan demokrasi harus dipastikan bekerja Demi itu,” kata dia.

Cek Artikel:  Istana Kesepian

Dalam istilah peraih Nobel Ekonomi 1998 Amartya Sen, kesejahteraan harus dilihat dalam konteks kemampuan seseorang Demi jadi sesuatu (being) atau melakukan sesuatu yang diinginkan (doing). Being’s dan doing’s inilah, tandas Amartya Sen, yang Membangun hidup bernilai. Contohnya, bekerja, menjadi melek huruf, menjadi sehat, menjadi dihormati, dan sebagainya.

Kiranya pemerintah Tak punya cukup waktu Demi berleha-leha. Saya amat sepakat bahwa mewujudkan pembangunan inklusif sudah Tak Bisa ditawar-tawar Kembali. Maka, setiap pengumuman statistik tentang capaian pertumbuhan ekonomi, selain disyukuri, mesti dibarengi pertanyaan: sudahkah pertumbuhan positif itu mulai Bisa mengikis kesenjangan?

Kalau belum, Tak tega rasanya Demi terlalu bergembira. Simpan dulu kegembiraan dan selebrasi itu karena kita menghendaki pertumbuhan yang inklusif, tumbuh Demi Segala, bukan Tertentu Demi segelintir orang.

Mungkin Anda Menyukai