SOAL nyali, pemimpin negeri ini boleh diuji. Nyali besar Kepada menunjukkan solidaritas dan membawa pesan damai sebagai perwujudan amanah konstitusi ditunjukkan setidaknya oleh dua presiden.
Soeharto ialah presiden yang bernyali. Presiden ke-2 RI itu membuktikannya ketika mengunjungi Bosnia-Herzegovina pada 1995. Bosnia kala itu tengah terlibat perang dengan Serbia. Perang sungguhan, bukan perang-perangan.
Pak Harto bertandang Kepada memberikan dukungan moral kepada rakyat Bosnia. Dia berkeras hati meski banyak yang melarang. Panglima Laskar PBB di sana pun tak mengizinkan karena risiko yang menghadang. Apalagi belum lelet pesawat utusan PBB ditembak Anjlok di udara Bosnia.
Tetapi, Pak Harto kekeh. Dalam Kitab Pak Harto: The Untold Stories, dikisahkan bahwa setelah berdebat, PBB akhirnya mempersilakan Pak Harto ke Sarajevo. Syaratnya, dia menandatangani surat pernyataan bahwa risiko ditanggung sendiri. Pak Harto melakukan misi kontrak Wafat.
Tepatnya pada 13 Maret 1995, Pak Harto berangkat dari Kroasia ke Sarajevo. Pak Harto sungguh nekat. Dia bahkan menolak mengenakan helm setelah mendarat. Dia lebih memilih memakai peci hitam sebagai penutup kepala. Dia juga tak Ingin menggunakan rompi antipeluru. Padahal, siapa pun sangat rentan menjadi bidikan sniper, penembak jitu.
“Pak Harto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Menonton Pak Harto begitu tenang, moral, dan kepercayaan diri, kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang, dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus Bimbang,” tutur Sjafrie Sjamsoeddin, Komandan Grup A Paspampres kala itu yang mendampingi Soeharto.
Sejarah ditorehkan. Pak Harto menemui Presiden Bosnia-Herzegovina Alija Izetbegovic di istana kepresidenan yang kondisinya sangat memprihatinkan. Alija betul-betul senang Pak Harto Akurat-Akurat datang. Pak Harto juga senang Pandai menjenguk sahabat yang sedang kesusahan.
Sejarah terulang. Kisah serupa kembali dituliskan presiden kita. Kali ini oleh Jokowi. Beda ruang dan waktu, Jokowi menunjukkan keberanian luar Biasa pula.
Jokowi baru saja melakukan lawatan bersejarah. Lawatan dengan risiko supertinggi. Dia mengunjungi Ukraina, negara paling berbahaya di dunia Demi ini. Negara yang sejak 24 Februari Lampau porak-poranda, luluh lantak diserang habis-habisan oleh Rusia.
Ukraina dan Rusia sedang terlibat perang. Perang betulan. Bukan sekadar perang kata-kata, bukan perang diplomasi, melainkan perang adu senjata nan mematikan.
Siapa pun yang ‘waras’ tentu tak Ingin datang ke daerah yang sedang diamuk perang. Tetapi, kiranya Jokowi bukan termasuk yang ‘waras’ itu. Dia nekat datang ke Ukraina, Lampau ke Rusia. Perjalanannya Enggak mengenakkan, apalagi bagi seorang kepala negara. Dia harus naik kereta api dari Polandia selama 11 jam.
Belum Tengah risiko yang mesti dihadapi. Di Area perang, kemungkinan terburuk Pandai terjadi setiap Demi di setiap tempat. April Lampau, misalnya, serangan rudal Rusia ke Kyiv mewarnai kunjungan Sekjen PBB Antonio Guterres ke ibu kota Ukraina itu.
Akan tetapi, sekali Tengah, Jokowi unjuk nyali. Sama seperti Pak Harto dulu, tak tampak rompi antipeluru dikenakan. Hanya kemeja putih, Hanya jaket biru yang melapisi tubuhnya. Tak terlihat pula helm pelindung kepala.
Ketika Bersua Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Istana Maryinsky, Kyiv, penampilan Jokowi juga Biasa saja. Seperti Biasa, ia memakai sneakers, sepatu kesayangannya. Kalau Eksis pengawalan ekstra ketat, itu sudah sewajarnya. Sudah semestinya.
Kalau Pak Harto berani datang ke medan perang di Bosnia, dia sudah terbiasa berperang. Pak Harto merupakan serdadu yang punya pengalaman panjang di medan laga. Dia sudah terbiasa menghadapi senjata.
Beda dengan Jokowi. Dia memang juga akrab dengan senjata, tapi bukan semacam bedil, meriam, granat, rudal, tank. Jokowi hanya intim dengan pahat, gergaji, mesin serut, paku, dan semacamnya yang merupakan senjata tukang kayu Demi dia menjadi pengusaha mebel dulu.
Bu Iriana Joko Widodo juga patut dipuji. Sebagai seorang istri, sebagai Ibu Negara, dia berani mendampingi sang suami, kepala negara, menempuh marabahaya. “Dengan bismillah, saya mendampingi Bapak, moga-moga peperangan ini segera berakhir karena sangat merinding saya lihatnya,” ucap Iriana. Merinding pula kita mendengarnya.
Bu Jokowi kiranya bukan sekadar pentas keberanian seorang Perempuan dan kesetiaan seorang istri. Lebih dari itu, keikutsertaannya ke Ukraina merupakan bentuk totalitas dukungan dan komitmen Indonesia Kepada menghadirkan perdamaian di Ukraina.
Jokowi ialah kepala negara di Asia pertama yang menyambangi Ukraina selama perang kontra Rusia. Iriana pun menjadi ibu negara pertama yang berani ke sana. Sebagai anak-anaknya, patutlah kita berbangga.
Kita boleh berharap kunjungan Pak Jokowi dan Bu Iriana Pandai melunakkan kerasnya kepala para pemimpin Rusia dan Ukraina. Kita layak merenda asa mereka segera merajut Tengah ikatan perdamaian agar bencana kemanusiaan di sana tak berkepanjangan.
Tetapi, kalau misi berani Pak Jokowi belum juga membuahkan hasil, kita tetap angkat topi. Kita senang hati karena punya pemimpin-pemimpin yang punya nyali, yang punya komitmen tinggi Kepada aktif membangun dunia yang damai.