RUU Basah di Jalur Segera

Terdapat dua jalan yang ditempuh dalam pembahasan rancangan undang-undang (RUU) hingga disahkan menjadi undang-undang. Dibahas antara DPR dan pemerintah. Pertama, menempuh jalur Pelan, bahkan selambat-lambatnya. Kedua, jalur Segera, secepat kilat.

Salah satu pembahasan secepat kilat, hanya tiga hari, ialah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Misalnya undang-undang yang menempuh jalur selambat-lambatnya ialah RUU Perlindungan Data Pribadi. Formal dibahas sejak 25 Februari 2020 dan Tamat sekarang tak kunjung disahkan.

Dengan demikian, hingga Begitu ini, pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi melewati 5.851 hari. Pertanyaannya, mengapa Terdapat RUU yang dibahas begitu Segera dan mengapa pula Terdapat RUU yang dibahas berlama-Pelan? Segera-Pelan pembahasan menimbulkan tafsiran adanya RUU di ladang basah dan ladang kering.

Di sini Tak berlaku prinsip kalau Pandai diperlambat, kenapa dipercepat, Alasan pembahasan RUU mesti mematuhi aturan baku. Terdapat lima tahapan pembentukan undang-undang, dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, hingga pengundangan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Cek Artikel:  Selamat Tinggal Cebong-Kampret

Pembahasan di Senayan melewati dua Derajat pembicaraan. Sama sekali Tak Terdapat batasan waktu yang terperinci Demi setiap Derajat. Pasal 99 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2015 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) hanya menyebut pembahasan RUU oleh komisi, gabungan komisi, panitia Spesifik, atau Badan Legislasi diselesaikan dalam tiga kali masa sidang dan dapat diperpanjang berdasarkan keputusan rapat paripurna DPR.

Praktiknya selama ini, Terdapat banyak RUU yang dibahas Melampaui tiga kali masa sidang dan diperpanjang berkali-kali. Bahkan, Terdapat RUU yang Tak selesai dibahas dalam satu periode masa tugas DPR kemudian dilanjutkan pembahasan pada DPR periode berikutnya, contohnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP.

RUU yang dibahas DPR periode berikutnya dikenal dengan konsep carry-over sesuai dengan ketentuan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Cek Artikel:  Saga Suram Sambo

Konsep carry-over memungkinkan agenda Program Legislasi Nasional yang hanya berlaku selama lima tahun sesuai dengan satu periode masa jabatan DPR dapat dilanjutkan pembahasannya pada agenda Program Legislasi Nasional periode masa jabatan DPR selanjutnya.

Meski sudah melalui proses carry-over, RKUHP Tamat Begitu ini tak kunjung disahkan. Sebelumnya, Komisi III DPR menargetkan pengesahan RKUHP dilakukan pada masa sidang V tahun persidangan 2021-2022 yang berakhir pada 7 Juli 2022.

Berkualitas RUU yang dibahas melalui jalur Pelan maupun RUU jalur Segera sama-sama bermasalah dalam mengakomodasi partisipasi masyarakat. Tidaklah heran bila muncul demonstrasi penolakan atas RUU yang sudah diundangkan.

Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah merumuskan Arti partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Menurut MK, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh.

Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, Yakni: pertama, hak Demi didengarkan pendapatnya; kedua, hak Demi dipertimbangkan pendapatnya; dan ketiga, hak Demi mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.

Cek Artikel:  Suhu kian Panas

Kiranya DPR dan pemerintah perlu mencarikan jalan keluar agar pembahasan RUU di Senayan Tak Kembali berlama-Pelan dan Tak perlu terburu-buru. Hanya itu Langkah Demi menghindari tudingan bahwa semuanya bergantung pada kehendak DPR dan pemerintah, pembuatan undang-undang itu suka-sukanya penguasa saja.

Konsistensi membahas RUU dalam tiga kali masa sidang akan menghindari kesan adanya RUU ‘basah’ dan RUU ‘kering’. Pengakuan mantan Personil DPR Imam Anshori Saleh dalam Kitab Lorong Gelap Keadilan karya Zulfikar Fuad patut direnungkan.

“Saya Malah berterima kasih, Tak pernah ditempatkan di pos-pos yang ‘basah’ selama di DPR, seperti menjadi Personil Pansus RUU yang ‘basah’ dan kerap menjadi ladang transaksi suap. Ditugasi di pos-pos yang ‘kering’ Membangun saya terhindar dari godaan, yang bila tak kuat berhadapan dengan ujian, bakal terjerumus kepada perbuatan nista dan dipenjara, seperti yang dialami Rekan-Rekan saya yang terlibat dalam berbagai skandal keuangan di DPR,” demikian pengakuan Imam Anshori.

Mungkin Anda Menyukai