KRITIK hakikatnya ialah oksigen bagi paru-paru demokrasi. Ketika kritik dibungkam, demokrasi menjemput ajalnya, proses koreksi dan pengawasan pun terabaikan.
Hanya negara yang pejabatnya otoriter yang Wafat-matian membungkam kritik. Akan tetapi, pejabat otoriter sekalipun tetap sadar bahwa kritik menjadi tuntutan peradaban modern. Karena itu, ia Ingin dikenang sebagai pejabat yang demokratis.
Di Podium depan ia minta dikritik. Ia menyebut kritik dan dukungan sama Krusial baginya dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, di Podium belakang sudah disiapkan regulasi yang setiap Begitu Bisa menjerat tukang kritik.
Tak terbilang tukang kritik yang dikirim ke bui. Mereka dijerat dengan pasal-pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Tukang kritik menarik napas lega tatkala pada 4 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi menyimpan pasal-pasal penghinaan itu dalam peti Wafat lewat putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Sejak itu proses berbangsa dan bernegara Tak Tengah berjalan di tengah kesepian kritik.
Kritik pun mulai panjat sosial. DPR secara Formal menggelar lomba meme dan stand up comedy bertajuk Kritik DPR pada 30 Agustus 2018. Lega rasanya mendengar pidato Ketua DPR Begitu itu Bambang Soesatyo yang kini menjadi Ketua MPR. Ia mengatakan kritik terhadap DPR tak boleh Wafat.
Sama leganya mendengarkan pidato kenegaraan Presiden Jokowi pada 16 Agustus 2019. “Kita Tak boleh alergi terhadap kritik. Bagaimanapun kerasnya kritik itu harus diterima sebagai Figur kepedulian, agar kita bekerja lebih keras Tengah memenuhi Asa-Asa rakyat,” ucap Presiden Jokowi.
Setelah 16 tahun berlalu muncul Tengah keinginan Kepada menghidupkan pasal-pasal yang sudah masuk peti Wafat itu. Kalau dihidupkan Tengah, Tak salah Kepada menyebutnya sebagai pasal-pasal zombi.
Pasal-pasal zombi itu diberi napas buatan dalam Rancangan KUHP yang Begitu ini dibahas DPR Berbarengan pemerintah. Alasannya Kepada menjaga Harkat dan harkat presiden dan wakil presiden dengan sedikit modifikasi penjelasan bahwa boleh kritik asal konstruktif dan sedapatnya mungkin memberikan Berkualitas suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan Langkah yang Rasional.
Boleh-boleh saja membangun argumentasi pasal zombi Kepada membangun kritik yang sesuai dengan budaya politik negeri ini. Kritik yang konstruktif dan berdasarkan budaya Pancasila.
Kritik yang sesuai budaya itu sesungguhnya Lagi berada dalam kegelapan yang wujudnya Bisa diketahui dalam proses meraba-raba. Bukankah negeri ini Mempunyai Variasi budaya yang proses kritiknya berbeda-beda Langkah? Terdapat budaya yang menghaluskan kritik, Terdapat pula yang berterus terang Tiba kuping tipis memerah.
Perdebatan soal kritik dalam RKUHP jangan Tiba berujung mencari-cari format baku kritik ala Indonesia. Ujung-ujungnya kritik yang sesuai dengan budaya Pancasila diartikan sebagai Tak boleh Terdapat kritik.
Kiranya perlu diingatkan bahwa pengalaman berbangsa dan bernegara di atas muka bumi ini, setiap upaya membungkam kritik hanya melanggengkan kediktatoran. Setiap upaya mematikan aspirasi hanyalah mempercepat jatuhnya rezim.
Seno Gumira Ajidarma dalam epilog Kitab Matinya Tukang Kritik (2006) karya Agus Noor mengatakan dunia bertambah sempurna karena kontribusi sikap kritis, dan karena itu berlaku diktum: kritik itu mutlak perlu demi kemajuan Era dan kebaikan Berbarengan. Setuju, kritik itu mutlak, yang Krusial substansi bukan bungkusannya.
Kritik Tak mesti dibungkus dalam penghalusan kata. Agus Noor memberi Misalnya kritik dengan sarkasme. “Tapi, percayalah! Sebagai ‘calon Menteri Kesehatan Republik Indonesia’, Saya cukup sehat. Detak jantung saya 150 knot/jam. Ini Jernih lebih Berkualitas, Kalau dibandingkan dengan rata-rata kualitas kesehatan para Member legislatif kita yang menderita anemia, hingga mereka jadi gampang lelah, ngantuk, dan tertidur ketika sidang.”
Kiranya pembuat undang-undang Tak menderita anemia pada Begitu membahas RKUHP yang digagas sejak 1963. RKUHP sudah dibahas DPR periode 2009-2014, dilanjutkan Tengah DPR periode 2014-2019, kemudian DPR periode 2019-2024.
Salah satu Unsur yang Membikin RKUHP tak kunjung disetujui Kepada disahkan menjadi undang-undang ialah kekuatan Bunyi tukang kritik melalui parlemen jalanan.
Sudah saatnya pembuat undang-undang mendengarkan tukang kritik. Kata WS Rendra, apabila kritik hanya boleh lewat saluran Formal, hidup akan menjadi sayur tanpa garam, lembaga pendapat Lumrah Tak mengandung pertanyaan, Tak mengandung perdebatan, dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan.
Monopoli kekuasaan itulah yang sedang dibangun dalam RKUHP dengan menghidupkan pasal zombi. Karena itu, setiap upaya membungkam tukang kritik harus ditolak. Kalau Lagi lolos, bolehlah diuji di Mahkamah Konstitusi.