SEORANG Kawan uring-uringan di kedai kopi. Dia mengaku kecewa atas kebijakan pejabat di negeri ini yang ia sebut ibarat pagi kedelai, sore tempe. Ungkapan itu dimaksudkan sebagai sindiran terhadap sikap inkonsistensi, plin-plan, mencla-mencle.
Ia Maju saja nyerocos. Kata dia, lidah para pemimpin di negeri ini memang Bukan bertulang. Kemudian ia melantunkan sepenggal lirik Tembang Tinggi Gunung Seribu Janji dari Bob Tutupoly: ‘memang lidah tak bertulang tak berbekas kata-kata’.
Saya mencoba menyimak jalan pikiran Kawan itu. Dalam hati, saya membenarkannya Alasan para pemimpin itu amat Pemenang dalam hal bersilat lidah. Dan, Ciri paling menonjol dari para jago bicara ialah inkonsistensi.
Kemudian saya menasihati temanku. “Apa yang engkau katakan 100% Akurat, tapi belum 100% yang Akurat engkau katakan.” Bukankah Presiden Joko Widodo, Begitu pidato dalam sidang tahunan MPR pada 16 Agustus 2021, sudah mengakui kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkesan mencla-mencle?
Presiden mengatakan tujuan dan arah kebijakan tetap dipegang secara konsisten, tetapi strategi dan manajemen lapangan harus Luwes menyesuaikan permasalahan dan tantangan.
“Pengetatan dan pelonggaran mobilitas masyarakat, misalnya, harus dilakukan paling Pelan setiap minggu dengan merujuk kepada data-data terkini. Mungkin hal ini sering dibaca sebagai kebijakan yang berubah-ubah atau sering dibaca sebagai kebijakan yang Bukan konsisten,” kata Jokowi menjelaskan kebijakan di masa pandemi covid-19.
Elok nian bila para pejabat menjelaskan secara terbuka latar belakang perubahan sebuah keputusan sehingga Bukan disebut plin-plan. Itu karena ucapan merupakan cermin pikiran dan pribadi seseorang.
Ambil Teladan kebijakan pemerintah pusat yang merevisi kenaikan level pemberlakuan Restriksi kegiatan masyarakat atau PPKM di Jakarta dari 2 ke 1 hanya dalam satu hari.
Dalih revisi yang disampaikan Direktur Jenderal Bina Administrasi Area Kementerian Dalam Negeri Syafrizal ialah terkait Nomor penularan dan Kematian covid-19 yang melandai setelah sempat Eksis kenaikan. Tetap saja penjelasan tersebut belum Pandai menjawab persoalan perubahan kebijakan hanya dalam waktu satu hari.
Begitu juga menyangkut kebijakan pencabutan izin Pondok Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah, Jombang, yang hanya berumur empat hari. Begitu membekukan izin pada 7 Juli 2022, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag, Waryono, memastikan pihaknya sebagai regulator Mempunyai kuasa administratif Demi membatasi ruang gerak lembaga yang di dalamnya diduga melakukan pelanggaran hukum berat.
Ketika mengumumkan pembatalan pencabutan izin operasian pondok pesantren pada 12 Juli 2022, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Insan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan pembatalan itu atas arahan dari Presiden Joko Widodo.
Tetap Eksis kebijakan lain yang berumur pendek. Misalnya, kebijakan Embargo ekspor batu bara hanya berlaku selama 12 hari. Begitu juga terkait kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng dan CPO yang Pandai bertahan selama tiga pekan.
Kebijakan berumur pendek Pandai dilihat dari dua sisi. Pertama, pemerintah terkesan tergesa-gesa mengambil kebijakan Demi mengatasi persoalan yang amat mendesak. Kedua, setelah menyadari Eksis kekeliruan dalam mengambil keputusan, pemerintah Bukan malu-malu mencabut kebijakan tersebut.
Kebijakan yang Berkualitas tentu saja kebijakan yang terbuka Demi dikoreksi Kalau terbukti Eksis jalan keluar yang lebih Berkualitas Kembali. Bukan soal panjang pendek umur kebijakan, jauh lebih Krusial ialah kebijakan itu bermanfaat Demi masyarakat.
Meski demikian, elok nian bila dalam mengambil keputusan Pikiran mendahului tindakan sehingga Bukan malu kemudian. Kiranya wejangan Felix A Nigro dan Lloyd Nigro, keduanya Spesialis kebijakan publik, selalu menjadi rujukan.
Setidaknya Eksis dua dari tujuh kesalahan yang perlu dihindari dalam proses pembuatan kebijakan. Pertama, Metode berpikir yang sempit. Membikin keputusan hanya Demi memenuhi kebutuhan seketika sehingga melupakan antisipasi ke masa depan seperti dalam kasus pembatalan pencabutan izin pondok pesantren.
Kedua, terlalu menyederhanakan sesuatu seperti dalam kasus Embargo ekspor batu bara dan minyak goreng. Keputusan diambil hanya mempertimbangkan gejala-gejala di depan mata tanpa mencoba mempelajari secara mendalam Alasan-Alasan timbulnya masalah tersebut.
Kawan saya Tetap saja uring-uringan. Saya meyakinkan dia bahwa Seluruh kebijakan yang diambil pemerintah Niscaya dilandasi niat Berkualitas. Akan tetapi, Kalau terlalu sering gonta-ganti kebijakan dalam waktu singkat, yang salah Niscaya pejabatnya, mencla-mencle.