Musuh Besar Ruang Publik

SEORANG rekan bertanya kepada saya, mengapa banyak ruang publik dibangun, tetapi publik tetap kekurangan ruang? Ia memaparkan fenomena Citayam Fashion Week dari remaja SCBD (Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok) di kawasan Dukuh Atas Stasiun Sudirman, di jantung Kota Jakarta. ‘Rumah’ kereta komuter itu sebagian berubah fungsi jadi ajang pameran busana para remaja Sekeliling Jakarta.

Pemerintah daerah tempat asal para remaja itu berlenggok-lenggok mengeklaim telah membangun puluhan fasilitas ruang publik baru. Eksis yang Membangun taman, mempercantik alun-alun, dan membangun gedung-gedung pertunjukan. Nyatanya, mereka tetap memilih jalanan dan stasiun sebagai cat walk.

Sudah dua bulan belakangan ini para remaja itu berkumpul di area Terowongan Kendal atau MRT Dukuh Atas. Remaja-remaja ini asyik menggunakan fasilitas publik. Mereka berkumpul, berpose, hingga berlenggok-lenggok layaknya model papan atas. Nama-nama seperti Jeje, Bonge, dan Roy kiranya telah ramai didengar publik.

Saking ramainya, singkatan SCBD yang sebelumnya ditujukan Kepada Sudirman Central Business District berubah menjadi Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok. Nama daerah-daerah ini diambil dari daerah asal tempat tinggal para remaja tadi.

Jadi, Kepada memecahkan pertanyaan rekan tadi, saya mulai menjawabnya dengan kembali melontarkan pertanyaan kepadanya: sudahkah klaim pembangunan ruang publik dari pemda itu mencerminkan ruang publik yang sesungguhnya? Jangan-jangan, yang dibangun sekadar tempat kelangenan layaknya penggemar perkutut menikmati burung itu di dalam sangkar.

Cek Artikel:  Menggoyang Anies

Jeje, Bonge, Roy, serta Sahabat lainnya itu berbondong-bondong memenuhi area Dukuh Atas Kepada mencurahkan kreativitas mereka sekaligus menikmati fasilitas publik di situ. Apabila demikian, pertanyaan selanjutnya ialah mengapa harus di Dukuh Atas? Sejumlah pegiat Citayam Fashion Week menjawab: karena di Dukuh Atas Ungkapan Tak dibatasi.

Di Depok, kata beberapa di antara mereka, ruang publik seperti itu jarang ditemukan. Kawasan yang dulu sempat ramai dijadikan ruang publik ialah area UI (Universitas Indonesia). Daerah itu banyak didatangi para remaja dari Bojonggede, Cilebut, Citayam, Cilodong, Depok Timur, Sawangan, hingga Cinere. Serupa Dukuh Atas, kawasan UI dulu juga lumayan terbuka dan inklusif.

Kawasan UI dulu banyak digandrungi karena akses transportasi mudah dan jam buka Elastis. Sayangnya, sekarang semuanya berbeda. UI makin memperketat diri dan diikuti dengan pengubahan sistem perkeretaapian. Alhasil, kawasan itu kurang inklusif dan makin sulit diakses publik.

Cek Artikel:  Pelabelan Politik

Pemerintah Kota Depok pun telah merancang pembuatan ruang publik yang kian dibutuhkan keberadaannya itu. Pemkot pula menyediakan setidaknya satu taman (sebagai ruang publik) di setiap kelurahan. Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Depok menunjukkan sudah 48 taman dibangun dalam periode 2017-2020.

Tetapi, ya itu tadi, kehadiran taman-taman itu belum sepenuhnya berfungsi sebagai ruang publik. Taman memang dibangun, tetapi sistem taman yang diterapkan Tertentu, Tak demokratis, bahkan memusuhi konsep dasar ruang publik. Taman-taman itu berdiri Malah jadi musuh besar ruang publik: elitis, sulit diakses, dan penuh Restriksi galibnya kerangkeng.

Bukan hanya Depok, Tak sedikit daerah lain menerapkan ‘protokol’ serupa Kepada tempat yang selalu mereka banggakan sebagai ‘ruang publik’ itu. Restriksi itu biasanya dimulai dengan akses taman yang Tertentu. Beberapa taman dibangun di tengah kompleks sehingga Membangun remaja kawasan pinggiran jengah memasuki taman tersebut. Padahal, satu poin Krusial dalam pembangunan ruang publik ialah aksesibilitasnya yang demokratis.

Beberapa tempat yang dimaksudkan sebagai ruang publik juga menerapkan jam malam. Alasannya, Kepada menghindari tindak asusila. Tengah-Tengah, Dalih ini juga membatasi ruang interaksi. Lagi Eksis sistem lain yang Dapat mencegah hal-hal seperti itu terjadi, seperti penggunaan CCTV atau sistem pengaduan yang efektif.

Cek Artikel:  Pemimpin Kagetan

Bentuk Restriksi lainnya ialah minimnya akses transportasi publik. Banyak tempat yang dideklarasikan sebagai ruang publik dibangun di daerah yang jauh dari pusat kota. Akibatnya, taman itu sulit dijangkau dengan transportasi publik. Jadi, taman-taman itu Malah menjelma menjadi musuh besar ruang publik.

Seperti kata sosiolog Jerman, Jurgen Habermas, bahwa ruang publik itu ranah kehidupan sosial Begitu Kaum berperilaku sebagai sebuah lembaga publik ketika berunding dengan Metode yang Tak dibatasi. Di ruang publik, tandas Habermas, harus Eksis jaminan kebebasan mengemukakan dan memublikasikan pendapat, pula mengekspresikan diri.

Aksi Bonge, Jeje, Roy, beserta Sahabat-kawannya memilih area Dukuh Atas sebagai ruang kreatif merupakan sentilan kepada pengelola negeri ini betapa kita memang mengalami krisis ruang publik. Ditambah Tengah, dua tahun lamanya kita dikurung pandemi covid-19.

Banyak taman didirikan, tetapi ia Malah menjadi musuh besar ruang publik. Negeri ini butuh ruang publik yang Terjamin dan Dapat diakses secara demokratis, bukan taman yang sekadar aksesori.

Mungkin Anda Menyukai