SUATU hari di tahun 1990-an, cendekiawan Nurcholish Madjid yang tengah mengendarai mobil Berbarengan sopirnya diberhentikan seorang polisi Lampau lintas di sebuah jalan raya di Jakarta. Cak Nur, panggilan akrabnya, pun meminta sopirnya menepikan mobil. Sang polisi Lampau menjelaskan apa kesalahan sopir mobil yang dikendarai intelektual asal Jombang itu.
Tanpa banyak mendebat, Cak Nur pun mempersilakan pak polisi Buat mengeluarkan surat tilang. Sang polisi agak ragu. Tangannya gemetar. Berkali-kali ia mengusap peluh di mukanya. “Kenapa Pak? Tilang saja kami,” ucap Cak Nur memecah kebingungan sang polisi.
Dengan Bunyi lirih dan gemetar, polisi itu kembali meyakinkan Cak Nur dengan bertanya, “Cocok ditilang saja? Atau Enggak i ngin menempuh Langkah lain? Nanti urusannya apa Enggak ribet dan memakan waktu?”
Belum sempat Cak Nur menjawab, sang sopir menyergah polisi. “Ampun Pak. Apakah Bapak Enggak Mengerti, siapa orang yang saya bawa ini? Beliau adalah tokoh nasional, seorang profesor dan sering Eksis di televisi. Beliau Enggak mungkin mau ‘berdamai’ Buat pelanggaran yang dilakukan,” kata sang sopir.
Lampau, Sembari mengusap peluh dan kebingungan, sang polisi itu pun menuliskan surat tilang. Sembari memberikan surat tilang, ia mengatakan, “Ampun Pak. Sepanjang karier saya sebagai polisi selama belasan tahun, baru kali ini saya terpaksa mengajak ‘berdamai’ orang yang saya tilang. Saya terpaksa mengajukan ini karena anak saya sakit keras sudah beberapa hari ini. Saya Cocok-Cocok tak punya Duit Buat membawa anak saya berobat. Kalau Bapak-Bapak Enggak percaya, boleh saya antar Bapak ke rumah saya Buat Menyaksikan kondisi anak saya.”
Cak Nur setuju dengan ajakan itu. Mobil yang ia tumpangi pun melaju mengikuti sepeda motor sang polisi. Sesampai di rumah polisi itu, Cak Nur mendapati seorang anak tengah tergolek lemas. Badannya panas tinggi. Tanpa berpikir panjang, ia mengajak polisi dan anaknya menaiki mobilnya menuju rumah sakit. Cak Nur juga mengeluarkan beberapa lembar Duit dari kantongnya Buat diberikan kepada sang polisi.
Cak Nur mengisahkan peristiwa itu kepada koleganya, cendekia wan Soetjipto Wirosardjono. Kepada Mas Tjip, sapaan akrab Soetjipto, Cak Nur mengatakan bahwa sebetulnya Lagi banyak polisi berintegritas. Seperti polisi yang menilangnya itu. Hanya, situasi yang sangat mengguncang kerap Membangun benteng integritas jebol. Maka, tandas Cak Nur sebagaimana ditirukan Mas Tjip, sistem harus memastikan bahwa benteng integritas itu berlapis-lapis dan Enggak Pandai dijebol dengan Argumen apa pun dan situasi bagaimanapun.
Integritas itu salah satu bentuk kualitas terpenting yang harus dimiliki seseorang, apalagi pemimpin. Integritas ialah suatu konsep yang berkaitan dengan perilaku, nilai, metode, sarana, prinsip, Asa, dan keterpaduan berbagai hasil. Orang yang Mempunyai integritas berarti Mempunyai kepribadian jujur dan kuat.
Kualitas, sifat, atau kondisi yang menunjukkan satu kesatuan yang utuh Mempunyai potensi dan kemampuan Buat memancarkan otoritas, kewibawaan, dan kejujuran juga hal-hal pokok dalam integritas. Kejujuran dalam hal ini bukan hanya omongan, pemanis retorika, tapi juga tindakan. Kalau dimulai dengan kejujuran, kredibilitas, dan banyak akhlak mulia lainnya, Kepribadian inilah yang sangat dibutuhkan di negeri ini, Bagus individu maupun institusi.
Kepribadian Mulia itu Lanjut-menerus menjadi tantangan institusi Polri dari waktu ke waktu, Era ke Era. Saking ‘mahalnya’ integritas, Tiba Eksis humor legendaris Gus Dur tentang polisi jujur. Kata Gus Dur, hanya Eksis tiga polisi jujur: polisi patung, polisi tidur, dan polisi Hoegeng (mantan Kalolri Hoegeng Imam Santoso).
November tahun Lampau, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun mengomentari soal integritas dan kejujuran polisi. Kata dia, “Munculnya humor tentang Hanya Eksis 3 polisi jujur di Indonesia, Adalah patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng seakan telah melegitimasi bahwa sangat sulit mencari polisi jujur dan berintegritas di negeri kita. Ini tantangan besar bagi kami Buat mengubah Imej Polri di mata masyarakat. Kendati demikian, saya optimistis dapat mewujudkan hal tersebut karena Ketika ini Lagi banyak personel Polri yang Mempunyai sikap teladan dan Cocok-Cocok menjalankan tugasnya sebagai pengayom rakyat.”
Kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat di rumah dinas mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo akan menjadi pembuktian, apakah ‘proyek’ menegakkan integritas institusi Polri sebagaimana disampaikan Kapolri itu sudah dekat atau sebatas tekad. Perintah Presiden Jokowi yang mengulangulang agar penyelidikan dan penyidikan kasus Mortalitas Brigadir J berlangsung transparan dan menguak kebenaran bukti bahwa Eksis yang merisaukan Kepala Negara terkait integritas dan Imej Polri.
Kini, Enggak Eksis pilihan lain bagi para pimpinan Polri selain allout menyelesaikan Sekalian ‘kepingan puzzle’ kasus Mortalitas Brigadir Yoshua. Karena, bermain-main dengan kasus tersebut akan kian menjauhkan institusi dari kekukuhan benteng integritas. Pun pintu transparansi sudah dibuka dengan penetapan tersangka terhadap Irjen Ferdy Sambo serta pernyataan lugas dari Kapolri bahwa Enggak Eksis tembak-menembak dalam Mortalitas Yoshua. Yang Eksis ialah penembakan terhadap Brigadir Yoshua.
Kini, Polri sudah mulai melapisi benteng integriras itu agar kukuh. Karena, kalau benteng Enggak kukuh, sebagaimana diingatkan Cak Nur, integritas akan jebol dan roboh. Lampau, banyak orang akan Lanjut melanggengkan humor pedas tentang tiga polisi jujur. Tentu, bukan itu yang kita mau.