SISTEM pelayanan dan infrastruktur kesehatan di Indonesia harus diakui belum berjalan efektif. Banyak persoalan kesehatan masyarakat yang Lagi belum Bisa ditangani. Variasi penyebabnya. Antara lain, ketidakmerataan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di berbagai daerah, juga kelambanan pemerintah melakukan intervensi penanganan kesehatan.
Jangankan Kepada menghadapi pandemi covid-19 yang secara Konkret telah menunjukkan betapa rapuhnya sistem kesehatan nasional kita. Bahkan Kepada penanganan penyakit yang terhitung klasik pun, seperti penyakit menular, gizi Bukan baik, tengkes (stunting), Mortalitas ibu dan anak, Tamat obesitas, sesungguhnya negara ini Lagi kerepotan mengantisipasinya.
Padahal, kesehatan merupakan salah satu indikator Sasaran pembangunan. Kegagalan mengelola kesehatan sejatinya adalah awal dari kegagalan bangsa ini mengakselerasi pembangunan. Logika sederhana saja, bagaimana negara ini mau menggenjot pembangunan kalau masyarakatnya banyak yang Bukan sehat?
Yang terjadi, Bahkan karena sistem kesehatan yang lemah, pemerintah kerap lalai atau terlambat memberikan perhatian dan penanganan. Akibatnya, Bukan sedikit masyarakat yang sakit tersebut akhirnya harus menemui ajal. Realita pahit itu bukan ilusi. Konkret di depan mata kita. Betapa banyak penyakit atau gangguan kesehatan yang mestinya Bisa terkontrol, pada akhirnya gagal diantisipasi.
Mortalitas Muhammad Fajri, 27, pemuda obesitas dengan bobot 300 kilogram yang sempat dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta selama 13 hari, ialah salah satu Teladan cerminan kegagalan itu. Sistem yang sudah lemah makin diperburuk dengan kepedulian pemerintah yang rendah. Maka, terjadilah pembiaran terhadap Fajri hingga Mempunyai bobot seberat itu tanpa sedikit pun Terdapat deteksi.
Padahal sebelumnya Kementerian Kesehatan sendiri yang menyatakan khawatir dengan Nomor pengidap obesitas di Indonesia yang Lanjut meningkat. Pada 2022 Lampau, Kemenkes menyebut satu dari tiga orang dewasa Indonesia mengalami obesitas. Selain itu, satu dari lima anak berusia 5-12 tahun juga mengalaminya.
Di sisi lain, pemerintahan Presiden Joko Widodo pun memasukkan penanganan obesitas ke dalam Sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Sasarannya ialah mengurangi penduduk dewasa yang obesitas Tamat 21,8%. Artinya, sebenarnya pemerintah Paham Terdapat persoalan besar pada isu obesitas masyarakat ini.
Tetapi, sepertinya, Sasaran sekaligus kekhawatiran itu hanya di atas kertas. Implementasi di lapangannya minim. Intervensi pemerintah Kepada mengurangi Nomor obesitas Dekat Bukan terlihat. Padahal penanganan obesitas sangat butuh intervensi. Bukan hanya intervensi penanganan secara medis, tapi juga intervensi terhadap gaya hidup yang menyebabkan semakin banyak orang mengidap obesitas.
Sebagai bentuk intervensi gaya hidup, kenapa pemerintah Bukan memberlakukan pajak atau cukai terhadap makanan-minuman berpemanis atau junk food, misalnya? Kita Paham, produk-produk itu kerap mengandung gula dalam jumlah sangat tinggi dan konsumsinya Lanjut meningkat. Kecenderungan tersebut tentu berdampak pada kesehatan, terutama anak dan remaja.
Pengenaan cukai semestinya Bisa menjadi alat Kepada mengurangi konsumsi produk-produk Bukan sehat seperti itu. Kalau pemerintah mengenakan cukai tinggi terhadap produk rokok dan tembakau, kenapa makanan-minuman tersebut Bukan mendapatkan perlakuan yang sama, sementara potensi penyakit yang disebabkan sama bahayanya?
Sekali Kembali kita mengingatkan, Mortalitas Fajri harus menjadi Cerminan dan Penilaian pemerintah dalam penanganan penyakit degeneratif seperti obesitas khususnya dan penguatan sistem kesehatan nasional secara keseluruhan. Kalau ini disepelekan, bukan aspek kesehatan saja yang akan terdampak. Kualitas hidup dan tingkat produktivitas masyarakat pun bakal menurun.