Pilkada 2024, Momentum Menyelamatkan Demokrasi

Pilkada 2024, Momentum Menyelamatkan Demokrasi
(Dok. Pribadi)

DALAM kurun waktu kurang dari satu bulan, terdapat 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota akan menggelar pemilihan kepala daerah secara serentak pada 27 November 2024. Ketika ini, tahapan penyelenggaraan pilkada sedang memasuki fase krusial. Masa kampanye yang paling banyak dinantikan masyarakat, sebagai bentuk komunikasi politik yang dilakukan kandidat Buat menyampaikan gagasan, dan menjadi bahan pertimbangan pemilih Buat menentukan pilihan mereka.

Menurut Rogers dan Storey dalam Theory and Principles of Public Communication Campaign (1987), kampanye ialah serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan Pengaruh tertentu pada sejumlah besar khalayak, yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu yang ditujukan Buat mengarahkan khalayak pada masalah tertentu berikut pemecahannya.

Sayangnya, tahapan kampanye yang sudah berlangsung itu Tetap belum disertai pertukaran ide dan pemikiran besar Buat kemajuan daerah. Padahal, masa depan daerah dalam lima dan sepuluh tahun yang akan datang sedang Terdapat dalam pertaruhan besar, terutama menghadapi tantangan pasca-Pemilu 2024 serta kualitas pemimpin daerah.

Alih-alih peserta pilkada menyuguhkan kampanye yang substantif, di beberapa daerah Bahkan terjadi dugaan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara, kepala desa beserta perangkatnya, politik Fulus, pemasangan alat peraga kampanye yang Tak sesuai dengan aturan Komisi Pemilihan Lazim, dan sejumlah pelanggaran lainnya. Berdasarkan indeks kerawanan pilkada yang dirilis Bawaslu, berbagai potensi pelanggaran tersebut memang sudah diprediksi akan marak terjadi.

Pola pelanggaran yang terjadi di pilkada Tak jauh berbeda dengan yang terjadi di pemilu serentak 2024 Lampau, ketika penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dengan menggunakan fasilitas serta anggaran negara secara terang benderang menjadi dinormalisasi dan Tak dianggap melanggar. Terdapat pemusatan kekuasaan yang terjadi secara absolut dan dieksploitasi berkali-kali Buat memenangi kontestasi menjadi indikasi kemorosotan demokrasi (Tushnet, 2004).

Begitu pun, dengan para kandidat kepala daerah yang terlalu banyak gimmick dan melakukan praktik politik kebohongan (the politics of lying) dan tipu daya muslihat (the politics of deception) kepada masyarakat luas dan rakyat, yang mayoritas dalam kondisi terbelakang dan Tak berpendidikan, dengan sengaja memanipulasi perasaan publik. Tak sedikit kandidat yang pura-pura merakyat, padahal hanya topeng dan sedang berdramaturgi politik.

Bahasa dengan Ungkapan eufemisme, metafora, dan labelling yang bertujuan membangun kesadaran Palsu. Iklan politik yang terpasang di baliho dan spanduk seolah menjadi sosok yang paling berjasa, terbaik Buat rakyat, dan tanpa cacat moral. Debat kampanye yang terkesan direkayasa, seolah tampil dengan percaya diri, padahal gamang sehingga monolog dan one way communication. Itu Tak memperlihatkan dialog yang sesungguhnya. Dalam Demokrasi Kita (1960) yang ditulis Mohammad Hatta, realitas seperti itu menunjukkan kekerdilan jiwa pemimpin.

Cek Artikel:  Ronny Pattinasarany dan Pemain Usia Awal

MI/Seno

 

Demokrasi naik kelas

Sudah semestinya demokrasi dan kampanye pemilihan serentak 2024 ini Bisa naik kelas dengan mengedepankan etika, moralitas, dan keadaban. Potret yang terjadi di Pemilu 2024 Sebaiknya dijadikan sebagai pelajaran yang sangat berharga dan Tak boleh kembali terulang. Hal itu hanya akan menjadi catatan kelam demokrasi kita. Demokrasi yang sedang berada di titik nadir. Pemikir kebinekaan, Sukidi dari Harvard University, dalam artikel Di Ujung Kematian Demokrasi menyebutkan toleransi dan kebebasan yang Tak diberlakukan secara adil dan setara.

Intimidasi, politik ketakutan, kriminalisasi, dan mobilisasi sumber daya negara yang digunakan Buat kepentingan politik penguasa dan menggerogoti demokrasi, yang menyebabkan masyarakat sudah Tak Kembali percaya terhadap demokrasi. Kematian demokrasi di Myanmar setelah Perebutan kekuasaan militer pada Februari 2021 dan terdepaknya Salvador Allende yang terpilih melalui proses pemilu oleh Jenderal Augusto Pinochet pada September 1973 disebabkan ketahanan demokrasi yang semakin melemah.

Pada akhirnya, ketika narasi Tak percaya terhadap demokrasi Lanjut disuarakan karena dinilai menjadi sistem yang gagal menjaga kemakmuran dan stabilitas negara, itu dapat menggerogoti dan mengurasi kepercayaan publik atas manfaat dan pentingnya demokrasi (the merits of democracy).

Dalam indeks demokrasi yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit pada awal 2024, Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Skor Indonesia 6,71 berada di peringkat ke-54 yang dikategorikan belum demokrasi penuh, Tetap masuk demokrasi yang Tak sempurna (flawed democracy). Penurunan tajam terjadi pada indikator kebebasan sipil.

Indonesia memang sudah beralih dari rezim otoritarian, tetapi Bisa jadi sebetulnya Tetap otoritarian, tetapi dibungkus dengan demokrasi. Atas nama demokrasi, hukum diakal-akali dan dijadikan sebagai alat legitimasi. Dalam pemilu atau pilkada, Mekanisme demokrasi memang diimplementasikan, tetapi dalam pelaksanaannya, asas Krusial meaningful participation dan keadilan Bahkan malah terpinggirkan sehingga demokrasi ini seolah Tak dijalankan.

Di Indonesia, ujung Kematian demokrasi sangat Jernih tecermin pada robohnya supremasi hukum dengan rekayasa melalui putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Akbar yang sudah Tak Terdapat Kembali rasa keadilan. Politik cawe-cawe yang telah merobek nilai kemanusiaan tanpa adanya pertimbangan etika dan moral. Supremasi hukum yang telah roboh akan sangat sulit Buat mengembalikannya (Benner, 2017).

Oleh karena itu, kampanye di Pilkada 2024 yang berkeadaban ini akan sangat menentukan kualitas demokrasi ke depan dengan basis program sesuai dengan kebutuhan rakyat, Hasil karya, serta kreativitas dengan membangun narasi yang Bisa memersuasi rakyat. Bagaimanapun, pemerintah daerah ini merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat sehingga ujung tombak eskekusi berbagai kebijakan Terdapat di daerah.

Cek Artikel:  Potret Suram Perwasitan Asia

Akan tetapi, Terdapat Pusat perhatian isu-isu daerah yang menjadi kebutuhan mendesak terutama terkait dengan kepentingan anak muda dan Perempuan. Misalnya bagaimana pemecahan masalah ketimpangan ekonomi dan lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, perubahan iklim dan lingkungan, infrastruktur dan transportasi, serta kekerasan terhadap Perempuan dan anak. Hal yang paling Krusial ialah kampanye Tak terjebak pada narasi populis, pencitraan, dan gimik semata, tetapi betul-betul Bisa membangun dialog.

Deddy Mulyana (2013) dalam Komunikasi Politik, Politik Komunikasi mengungkapkan kampanye dialogis bermakna pihak yang berkampanye berusaha melibatkan diri secara intim dalam dunia sosial rakyat pemilih, memasuki perspektif dan pengalaman batin mereka. Membangun dialog di antara dua orang atau lebih dengan terbuka Buat berbicara dan mendengarkan, Buat diyakinkan argumentasinya dengan Berkualitas. Orang yang rasional, melalui dialog, dapat menemukan solusi yang lebih Berkualitas dengan perubahan yang positif (Habermas, 2013).

 

Perbaikan demokrasi 

Pilkada 2024 ialah pertaruhan besar dan benteng pertahanan terakhir. Apakah pilkada akan menyelamatkan demokrasi atau Bahkan malah sebaliknya? Steven Levitsky dan Daniel Ziblat (2018) dalam Kitab mereka, How Democracies Die, mengungkapkan bahwa demokrasi itu Wafat bukan karena Perebutan kekuasaan militer, melainkan karena Elemen agensi yang termanifestasi dalam seorang pemimpin otoritarian, yang terpilih dari hasil pemilu atau pilkada dan menunjukkan sikap antidemokrasi.

Kedua professor Universitas Harvard itu secara terperinci menyebutkan bahwa sikap antidemokrasi itu terwujud dalam pelemahan lembaga negara dengan melakukan pengingkaran serta komitmen yang lemah atas aturan main yang demokratis, kebebasan masyarakat sipil yang diberangus termasuk media, anjuran dan toleransi terhadap kekerasan, dan menyangkal legitimasi Musuh politik. Perlahan, tapi Niscaya, lonceng Kematian demokrasi tersebut akan sempurna terjadi di Indonesia.

Pemilihan yang dimenangi dengan segala Langkah Buat meraih kekuasaan telah merusak seluruh tatanan dan moralitas bangsa. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Tetap Mempunyai tanggung jawab Buat memperjuangkan nilai-nilai yang Tetap diyakini sebagai kebenaran. Jangan Kembali membiarkan para penguasa menindas melalui akumulasi kekuasaan secara tiran.

 

Peran masyarakat sipil

Seluruh elemen masyarakat sipil, intelektual, dan agamawan jangan Tiba tidur terlelap dan Tak sadar bahwa demokrasi di Indonesia sedang Tak Berkualitas-Berkualitas saja. Apalagi setelah pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2024 beserta para menteri mereka, Indonesia akan menghadapi tantangan yang cukup serius karena ke depan kekuasaan nyaris akan berlangsung tanpa mekanisme checks and balances. Pilkada 2024 ialah momentum yang Betul Buat menyelamatkan demokrasi dari kemerosotan dan ujung Kematian.

Cek Artikel:  Transportasi Publik yang Tetap Problematik

Daron Acemoglu dan James Robinson (2019) dalam The Narrow Corridor: State, Societies, and the Fate of Liberty mengungkapkan bahwa upaya merawat demokrasi dan kebebasan ialah seperti merawat satu lorong sempit yang lahir dari keseimbangan antara kekuatan negara dan masyarakat sipil. Negara yang terlalu kuat dan masyarakat sipil yang terlalu lemah akan melahirkan autokrasi, lebih jauh Kembali totaliterisme (Wijayanto, 2024). Sebaliknya, ketika masyarakat yang terlalu kuat dan negara lemah, akan lahir mobokrasi dan anarki.

Situasi di Indonesia, menurut Hadiz dan Robison (2013), Winters (2021), terdapat segelintir elite oligarki yang menjadikan negara terlalu kuat. Di sinilah peran masyarakat sipil perlu diperkuat Buat memperkuat demokrasi. Masyarakat sipil harus kritis dan Lanjut gaduh karena kekuasaan harus diimbangi dengan perlawanan agar kekuasaan dapat dikontrol. Demokrasi yang senyap bukanlah demokrasi yang substantif (Susanti, 2024). Perlawanan masyarakat sipil menjadi salah satu kunci Buat menyelamatkan demokrasi dan menjaga Republik dari bahaya tirani.

 

Pemimpin pencerah Era

Kematian demokrasi Tak akan terjadi Kalau Indonesia Mempunyai pemimpin visioner, pemimpin bangsa dengan pemikiran yang besar, menyadari arah membangun peradaban bangsa ke depan menuju seratus tahun Indonesia emas 2045. Pemimpin yang Bisa memberikan jalan keluar dalam masa-masa tersulit. Bukan hanya presiden, melainkan juga para kepala daerah terpilih pascapilkada serentak 2024.

Dalam Theology of Hope, Komaruddin Hidayat (2024) menuliskan bahwa siapa pun yang duduk sebagai wakil rakyatdan kepala pemerintahan mestilah Orang pilihan, yakni pemimpin yang terbaik Intelek budinya, paling cerdas nalarnya, sehingga Bisa mengatasi berbagai masalah yang muncul semata Buat Membangun Anggota tertib dan Gembira. Ketika terjadi proses pembusukan dan penyimpangan bangsa yang Tak dapat dihindari, gerakan koreksi akan muncul dari Logika yang sehat dan kesadaran moral yang digerakkan pemimpin pencerah Era.

Pemimpin yang berdiri di barisan paling depan dengan ide besar dan membawa cita-cita Asa rakyat Buat kemajuan Indonesia raya. Semakin ke sini, rakyat semakin banyak yang cerdas. Pemimpin yang hanya mengandalkan gimik dan pencitraan perlahan akan ditinggalkan rakyat Alasan kekuasaan hanyalah sementara dan sekadar pinjaman sebagaimana dijelaskan dalam teori sistem. Siapa aktor politik yang berjuang Buat rakyat dan peradaban, siapa politikus yang hanya mengejar dan berburu kekuasaan serta jabatan, siapa pemimpin yang mengkhianati rakyat, akan terbuka dengan terang benderang dan terkenang dalam sejarah.

Mungkin Anda Menyukai