Bumerang Naik Kelas Pendapatan


KEMBALI masuknya Indonesia ke Golongan negara berpendapatan menengah atas, jangan Membangun terbuai. Karena, status upper middle-income country (UMIC) itu Malah dapat menjadi bumerang Kalau hanya gegap gempita kenaikan pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita.

Status UMIC sebelumnya didapat pada Juli 2020 berdasarkan PNB per kapita 2019. Akan tetapi, pukulan pandemi kemudian Membangun Indonesia kembali turun ke status pendapatan menengah Dasar. Dalam Pengelompokkan terbaru Bank Dunia, PNB per kapita Indonesia pada 2022 telah naik kembali dan berada di level US$4.580. Itu berarti naik 9,8% dari US$4.170 pada 2021.

Tetapi, kita harus paham bahwa PNB per kapita dipengaruhi banyak Elemen, termasuk pertumbuhan ekonomi, kurs, Tamat ke pertumbuhan populasi. Sementara itu, pengamat menilai, kenaikan PNB kali ini lebih disebabkan pendapatan ekspor komoditas Penting dan Sebelah jadi. Artinya, kenaikan tersebut hanya temporer. Ketika harga komoditas melandai maka ekonomi Dapat kembali melemah.

Dampak status UMIC sebagai sentimen positif bagi pemodal juga belum tentu didapat. Sebagaimana yang telah terjadi, bahkan sebelum pandemi, investor Malah semakin beralih ke negara berpendapatan menengah Dasar atau malah yang berpenghasilan rendah karena upah buruh yang lebih rendah.

Cek Artikel:  Politik Dinasti Membunuh Demokrasi

Dengan naik kelas pula maka Indonesia akan dipandang lebih mapan sehingga sangat mungkin Kagak Tengah mendapat keringanan fasilitas perdagangan. Contohnya fasilitas pembebasan tarif barang-barang ke pasar Amerika Perkumpulan melalui skema Generalized System of Preferences (GSP).

Kemudian, kendati dapat memperoleh Kembang pinjaman yang lebih rendah di pasar karena rating utang yang lebih Berkualitas, Dapat saja Indonesia Kagak Tengah mudah mendapat skema pinjaman lunak (soft loan) dan skema hibah. Pinjaman-pinjaman yang didapatkan mungkin akan lebih banyak dalam skema pasar.

Bumerang status UMIC lebih mencemaskan Kalau kita Menyaksikan berbagai data ketimpangan di dalam negeri, yang Malah makin lebar. Berdasarkan laporan World Inequality Report 2022, Golongan 50% terbawah hanya Mempunyai 5,46% dari total kekayaan ekonomi Indonesia pada 2021. Nomor itu berarti bahkan lebih Jelek daripada di 2001 yang sebesar 5,86%.

Cek Artikel:  Mengemban Tugas Bersih Oposisi

Di sisi lain, pada 2021, 10% penduduk terkaya di Indonesia menguasai 60,2% ekonomi nasional. Kalau dibandingkan dengan di 2001, Nomor itu naik cukup tajam dari 57,44%.

Laporan yang sama menyebutkan ketimpangan pendapatan yang juga menyedihkan. Pendapatan Golongan 50% terbawah hanya Rp22,6 juta per tahun pada 2021. Sebaliknya, Golongan 10% teratas Mempunyai pendapatan sebesar Rp285,07 juta per tahun. Itu berarti 1 orang dari kelas ekonomi atas Mempunyai pendapatan 19 kali lipat lebih besar ketimbang orang dari ekonomi terbawah.

Ketimpangan itu Jernih-Jernih memalukan karena ketimpangan di Indonesia berarti lebih parah daripada ketimpangan di 127 negara lain. Ketimpangan itu Kagak boleh Lanjut terjadi. Kebanggaan naik kelas pendapatan, bahkan ambisi menjadi negara berpenghasilan tinggi, Jernih-Jernih menjadi bumerang bagi penduduk kelas Dasar. Merekalah yang akan Lanjut dalam lingkaran setan naiknya biaya hidup.

Cek Artikel:  Pantang Kendur Melawan DBD

Oleh Karena itu, ketimbang Arogan dengan status UMIC, pemerintah harus lebih serius memperkecil jurang ketimpangan. Salah satunya lewat perbaikan capaian indeks pembangunan Insan, khususnya soal Nomor partisipasi sekolah. Sudah menjadi rumusan dunia bahwa pendidikan dan kesehatan adalah modal Penting Demi perbaikan kualitas penduduk, yang pada akhirnya juga membawa pada peningkatan ekonomi nasional.

Tetapi, berdasarkan laporan Indeks Pembangunan Insan 2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Nomor Kagak bersekolah usia 13-15 tahun dan usia 16-18 tahun Malah naik. Sejurus dengan itu, Nomor melanjutkan/transisi ke SMP/sederajat dan Nomor melanjutkan/transisi ke SMA/sederajat Malah turun. Itu artinya semakin banyak anak yang putus sekolah.

Tanpa pendidikan maka angkatan kerja yang kita miliki hanyalah angkatan kerja tanpa keahlian. Di era teknologi robotik dan kecerdasan artifisial, kita selamanya akan menjadi negara pesuruh atau sekadar pemasok sumber daya alam. Segala Martabat status ekonomi nasional hanyalah ilusi manis yang dinikmati segelintir orang.

Mungkin Anda Menyukai