SAAT menjelang akhir 2019, tentu banyak kalangan, terutama dunia usaha, mulai sibuk meneropong masa depan ekonomi 2020.
Pasalnya, berbagai perencanaan bisnis sekaligus mitigasi risiko harus dimatangkan dan diputuskan dalam bussines plan sembari tutup buku 2019. Apalagi di tengah merebaknya kekhawatiran potensi terjadinya resesi ekonomi dunia. Setidaknya, ekonomi global memang masih dalam tekanan, cenderung melemah sehingga diproyeksi kembali melambat pada 2020.
Eskalasi dan masih berlanjutnya perang dagang antara Amerika Perkumpulan (AS) dan Tiongkok semakin menimbulkan ketidakpastian. Harga minyak dunia dikhawatirkan kembali fluktuatif seiring risiko geopolitik yang masih tinggi. Demikian juga penurunan tiga kali suku bunga the Fed sepanjang 2019 turut memicu meningkatnya ketidakpastian ekonomi global. Ditambah memanasnya suhu politik di AS terkait potensi impeachment terhadap Donald Trump.
Bahkan, perang dagang yang diawali saling proteksi perdagangan dua kekuatan ekonomi terbesar dunia kini telah meluas menjadi perang mata uang (currency war) dan perang investasi (investment war). Perlindungan AS terhadap barang-barang impor dari Tiongkok dibalas oleh negara ‘Kelambu Bambu’ dengan mendevaluasi yuan. Tiongkok sengaja melemahkan yuan hingga 2% agar barang-barang ekspor negeri itu tetap kompetitif sekalipun diproteksi oleh AS.
Selanjutnya, pelemahan yuan dan penguatan dolar AS tentu membuat tekanan terhadap perusahaan AS yang berinvestasi di Tiongkok, ataupun sebaliknya. Akibatnya, memuncul fenomena investment war, yakni baik Tiongkok maupun AS mengurangi, memindahkan, dan atau menarik investasinya ke negara lain. Bermula pada 2018, investasi langsung Tiongkok ke AS yang semula mencapai US$1,8 miliar turun sebesar 90%.
AS merespons dengan memulangkan dan memindahkan investasinya dari Tiongkok. Setidaknya terdapat 33 perusahaan asal Tiongkok yang melakukan relokasi, yakni 23 pabrik pindah ke Vietnam dan 10 lainnya ke Thailand, Malaysia, dan Kamboja. Sayangnya, tidak ada satu pun yang direlokasi ke Indonesia.
Definisinya, perang dagang tidak sepenuhnya memiliki dampak negatif. Buktinya Vietnam justru meraup keuntungan paling besar akibat pengalihan kebutuhan impor AS dari Tiongkok (trade diversion). Bukan hanya Vietnam, Taiwan, Cile, dan Malaysia juga memperoleh manfaat cukup besar dari trade diversion AS dan Tiongkok.
Keuntungan Vietnam atas pengalihan impor AS mencapai 7,9% terhadap produk domestik bruto (PDB), termasuk peningkatan investasi dan pada 2019 sektor manufaktur Vietnam mampu tumbuh 13% serta total ekspor meningkat 13,8% (year on year).
Momentum Indonesia
Derasnya penetrasi ekspor barang dari Vietnam ke AS kini mulai teridentifikasi bahwa Vietnam menjadi little of China. AS mulai melakukan berbagai instrumen proteksi perdagangan untuk menjaga tekanan defisit perdagangan terhadap Vietnam. Hal ini tentu saja membuka peluang Indonesia untuk mengisi potensi pengalihan perdagangan tersebut.
Sayangnya, ekspor Indonesia masih bergantung pada komoditas, sedangkan ekspor produk industri mengalami ketergantungan pada bahan baku impor. Dekat 40% ekspor Indonesia dikontribusikan produk minyak nabati (sawit), batu bara, karet, dan permata. Negara tujuan ekspor Indonesia hanya terkonsentrasi ke beberapa negara industri.
Kurang Lebih 43% ekspor Indonesia bergantung pada Tiongkok, AS, Jepang, dan India. Perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok berdampak terhadap penurunan permintaan dan harga berbagai komoditas ekspor Indonesia. Akibatnya, ekspor Indonesia sangat rentan terhadap gejolak harga sehingga kinerja ekspor menjadi tertekan.
Sepanjang Januari-Oktober 2019 ekspor turun atau minus 7,8%. Tetapi, tekanan defisit perdagangan relatif terbantu karena penurunan impor yang lebih besar jika dibandingkan dengan penurunan ekspor. Total impor sepanjang Januari-Oktober 2019 anjlok 9,94% atau lebih tinggi dari penurunan ekspor. Penurunan impor yang cukup drastis ini belum tentu berdampak positif terhadap perekonomian. Pasalnya, dengan struktur impor yang didominasi bahan baku dan penolong (74,06%), penurunan justru merupakan sinyal semakin terpuruknya kinerja industri pengolahan.
Oleh karena itu, akselerasi pertumbuhan industri atau reindustrialisasi harus segera menjadi agenda prioritas, khususnya industri pengolahan yang berdampak pada nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Terlebih lagi industri-industri pengolahan substitusi impor dan yang berorientasi ekspor. Selain akan menyelamatkan cadangan devisa, itu juga berguna untuk memitigasi gejolak nilai tukar. Apalagi ke depan, tekanan kebutuhan devisa akan meningkat seiring peningkatan kewajiban beban bunga utang luar negeri.
Sayangnya, kinerja investasi justru semakin mengalami tekanan. Pada triwulan ketiga 2019, investasi yang tecermin dalam pembentukan modal domestik bruto hanya tumbuh 4,21%. Secara agregat, nilai investasi melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sepanjang Januari-September 2019 mencapai Rp205,7 triliun atau naik 12,3%.
Ironisnya, rata-rata pertumbuhan industri pengolahan hanya mencapai 4,26%. Pasalnya, terjadi shifting besar-besaran minat investasi dari sektor pengolahan bergeser ke sektor jasa. Pada 2019, porsi investasi langsung (foreign direct investmen/FDI) yang masuk ke sektor industri pengolahan hanya 25%. Padahal pada 2016, FDI ke sektor industri pengolahan masih cukup besar, yakni mencapai 43%. Pada 2019, minat FDI lebih banyak masuk ke sektor jasa mencapai 59%, termasuk semakin minimnya minat PMA ke sektor padat karya.
Akibatnya, pertumbuhan investasi asing tidak membuka lapangan kerja. Sebagai perbandingan, triwulan ketiga 2016, investasi FDI mencapai Rp155,3 triliun, penyerapan tenaga kerja mencapai 276,02 ribu orang. Tetapi, triwulan ketiga 2019, FDI mencapai Rp205,7 triliun. Tetapi, penyerapan tenaga kerja justru turun menjadi 212,6 ribu orang.
Terobosan dan risiko
Keengganan investasi masuk ke sektor industri menghadapi berbagai hambatan dan lemahnya pemenuhan kebutuhan industri, antara lain ketersediaan lahan, ketenagakerjaan, biaya logistik, dukungan bahan baku, energi, dan stimulus fiskal untuk mendukung daya saing industri. Bahkan, berbagai perizinan untuk memulai mendirikan industri masih dinilai terlalu rumit.
Paket-paket kebijakan ekonomi belum mengatasi hambatan investasi. Pelaku usaha masih menghadapi permasalahan yang kompleks. Terobosan pada paket stimulus masih parsial sehingga insentif fiskal belum mampu mengatasi hambatan mendasar dalam investasi. Padahal, investasi di sektor riil terutama pada industri pengolahan harus diperkuat sebagai penopang pertumbuhan ekonomi. Terobosan perizinan melalui sistem pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS) juga belum sinkron dengan beberapa kementerian, lembaga, dan daerah.
Pada 2018, Pusat Analisis dan Penilaian Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkum dan HAM membuat sebuah kajian. Hasilnya, terdapat 271 peraturan perundang-undangan dalam rangka kemudahan berusaha atau ease of doing business (EoDB) di Indonesia. Itulah sebabnya, sekalipun terjadi perbaikan rating EoDB Indonesia pada peringkat 73, pertumbuhan realisasi investasi yang masuk justru mengalami penurunan. Pasalnya, peringkat memulai berusaha tetap berada pada rangking 134.
Terbatasnya realisasi investasi itu diduga karena banyaknya aturan yang sering tidak konsisten, seperti bertabrakan, tumpang-tindih, dan regulasi yang berbelit. Karena itu, pemerintah berkomitmen akan mengharmonisasikan sekitar 72 regulasi di bawah payung hukum omnibus law.
Demi pelantikan, Presiden Joko Widodo menyatakan akan membuat sebuah konsep hukum perundang-undangan yang merupakan penyederhanaan kendala regulasi yang berbelit dan panjang. Sasarannya ialah memudahkan pelayanan perizinan, menghilangkan hambatan, dan mendorong peningkatan investasi, terutama peningkatan investasi yang mendorong penciptaan lapangan kerja dan memberdayaan usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Omnibus law merupakan pekerjaan besar karena harus mampu mengonsolidasikan semua regulasi, baik undang-undang maupun semua aturan yang terkait dijadikan satu payung hukum. Sebagai contoh, regulasi terkait investasi menyangkut banyak UU, antara lain UU Otonomi Daerah, Ketenagakerjaan, Lingkungan Hidup, dan sebagainya. Berdasarkan pemetaan, penyederhanaan regulasi omnibus law untuk mendorong investasi setidaknya meliputi harmonisasi sekitar 72 aturan. Antara lain terbagi dalam lima klaster, yaitu perizinan, penataan kewenangan, sanksi, pembinaan dan pengawasan, serta dukungan.
Bahkan omnibus law untuk Cipta Lapangan Kerja terbagi dalam 11 klaster, yaitu penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan, perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, serta kawasan ekonomi.
Dapat dipastikan omnibus law merupakan pekerjaan besar dan tidak sederhana. Pasalnya, tidak sekadar mengharmonisasikan dan menyingkronkan ratusan pasal. Tetapi, juga harus mampu menyusun tata perundangan yang komprehensif dan memberikan kepastian hukum dalam implementasinya, terutama bagaimana menjamin agar penyederhanaan tersebut justru tidak semakin menimbulkan ketidakpastian. Terutama dalam hal mengharmonisasikan kewenangan dan aturan teknis implementasi operasionalnya.
Kalau tidak hati-hati, omnibus law justru berpotensi semakin menjauhkan tujuan utama investasi yang mendorong kesejahteraan masyarakat. Penyederhanaan, kemudahan, dukungan dan fasilitasi investasi justru hanya akan menciptakan oligarki konglomerasi jika tidak didukung oleh administrasi pemerintahan yang bersih (good corparte governance).
Dengan demikian, harapan pertumbuhan investasi yang memperbaiki outlook ekonomi 2020 bisa jadi justru akan jauh panggang dari api.