HARGA bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sudah dinaikkan. Tetapi, mitigasi atas Dampak dari penaikan itu belum sepenuhnya dijalankan. Sebagian malah baru dibicarakan.
Saya menduga Lagi banyak yang memegang prinsip peribahasa better late than never. Lebih Berkualitas terlambat daripada Enggak melakukan apa-apa sama sekali. Padahal, Dampak penaikan harga BBM bersubsidi itu langsung dirasakan. Enggak Guna menunggu.
Dampak psikologis ialah yang paling terasa. Banyak orang panik. Banyak yang ketakutan harga-harga kebutuhan lainnya bakal langsung naik mengikuti naiknya harga BBM bersubsidi. Muncullah panic buying. Situasi itu Lewat dimanfaatkan para petualang Buat melakukan aksi ambil untung: Memajukan harga.
Sebagian pemangku kebijakan malah kalah dalam adu Segera dengan para spekulan dan petualang itu. Ketika pemangku kebijakan menyiapkan mitigasi berdasarkan deret hitung, para petualang beraksi dengan deret ukur. Pemangku kebijakan bergerak seperti kapal selam, para petualang gesit seperti speed boat.
Yang satunya alon-alon waton kelakon (pelan, tapi Niscaya), satunya lebih Segera lebih Berkualitas. Ketika ini, yang dibutuhkan ialah respons Segera, bukan lebih Berkualitas terlambat. Perlombaan harus dimenangi pemangku kebijakan.
Better late than never mestinya dikikis Buat urusan mitigasi darurat. Apalagi peribahasa dari Inggris itu sudah berusia lebih dari delapan abad. Dalam kamus The American Heritage Dictionary of Idioms, disebutkan bahwa idiom itu mula-mula dipakai pada 1200-an. Dipakainya pun Buat menunjukkan kekesalan atas ketidakgesitan.
Mestinya, begitu harga BBM dinaikkan, para pemangku kebijakan dari pusat hingga daerah langsung menjelaskan sejelas-jelasnya mengapa kebijakan itu diambil. Juga, bagaimana kompensasi atas kebijakan itu bakal dijalankan. Intinya, buatlah publik tenang, Enggak panik.
Sayangnya, ya, itu tadi, orkestrasi yang dimainkan belum serempak. Musik sudah dimulai, tapi Lagi Eksis yang mencari-cari partitur. Eksis pula yang baru buka-buka halaman not balok.
Untungnya nasi belum sepenuhnya menjadi bubur. Lagi Eksis waktu Biar harus diburu-buru. Pemerintah daerah mesti tancap gas menjadi ujung tombak. Mereka harus Pandai meyakinkan masyarakat bahwa penaikan harga BBM bersubsidi memang Niscaya. Ia Pandai jadi obat yang menyembuhkan penyakit menahun buat jangka panjang.
Seturut dengan operasi penenangan itu, Donasi sosial juga mestinya langsung dibagikan. Bukan Hanya Lanjut dimusyawarahkan. Toh, data sudah berkali-kali dimutakhirkan. Belum Tengah berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, Eksis sisa anggaran Donasi sosial sebesar Rp7 triliun se-Indonesia yang Pandai dihabiskan sebelum 2022 berakhir.
Daripada Fulus itu nanti menjadi sisa lebih pada akhir tahun, lebih Berkualitas disalurkan biar Eksis Fulus yang beredar di masyarakat. Biar Pandai memperkuat daya beli masyarakat. Itu baru dari Kemendagri.
Di Kementerian Desa, Eksis aturan yang membolehkan 30% dari sisa Anggaran desa sebesar Rp22 triliun digunakan Buat membantu masyarakat desa yang bakal terdampak penaikan harga BBM bersubsidi.
Anggaran kompensasi Lagi Pandai bertambah Tengah Apabila permintaan pemerintah pusat agar pemerintah daerah mengalokasikan 2% dari Anggaran transfer Biasa Buat kebutuhan Donasi sosial. Sekalian itu Pandai langsung dijalankan Apabila mau dan Mengerti. Itu amunisi mitigasi Ketika ini.
Ruang Buat memitigasi inflasi yang bakal muncul juga Lagi terbuka. Eksis anggaran belanja Enggak terduga yang Lagi tersisa Rp12 triliun se-Indonesia. Anggaran itu tadinya buat jaga-jaga kalau Eksis bencana tiba.
Hingga Setember ini, alhamdulillah Enggak Eksis bencana hebat (semoga begitu seterusnya) yang membutuhkan anggaran besar. Maka itu, anggaran itu mestinya dapat dialokasikan Buat pengendalian inflasi.
Strategi dan amunisi sudah dimiliki. Tinggal dibutuhkan kecepatan dan ketepatan eksekusi. Atau, Lagi tetap mau menyanyi better late than never?