Eksis kata-kata yang sepintas sama, tapi pada hakikatnya berbeda. Kebahagiaan dan kesenangan itu seperti sinonim, padahal Tak sama. Begitu pula antara kata ‘keterbukaan’ dan ‘ketelanjangan’. Keduanya kerap disalahartikan sebagai ‘kembar identik’ meski sesungguhnya jauh berbeda.
Perbedaan antara keterbukaan dan ketelanjangan itu serupa dengan perbedaan antara kebahagiaan dan kesenangan. Keterbukaan itu senilai kebahagiaan. Ketelanjangan itu sepadan dengan kesenangan.
Banyak orang menganggap kebahagiaan itu identik dengan pleasure, kesenangan. Padahal, itu dua hal berbeda. Kesenangan itu sifatnya konsumtif dan pasif, sedangkan kebahagiaan itu sifatnya produktif, aktif, juga sesuatu yang menumbuhkan. Sesuatu yang Membangun kemanusiaan kita berkembang.
Begitu pula dengan keterbukaan. Transparansi itu kejujuran. Keterbukaan itu produktif, demokratis, memenuhi hak publik Kepada Paham. Dalam keterbukaan, hak pribadi dilindungi. Domain pribadi Tak boleh dimasuki. Domain publik wajib dibuka.
Itu Terang berbeda dengan ketelanjangan. Ketelanjangan itu keterbukaan yang Tak mengenal garis demarkasi mana hak publik dan mana hak privat. Segala dibuka. Domain privat diacak-acak. Tak Eksis perlindungan atas hak pribadi.
Dalam Langkah pandang seperti itulah saya Menyaksikan pro dan kontra kasus serangan siber oleh hacker yang menamakan dirinya Bjorka. Dalam kacamata pandang saya yang kerap disebut generasi ‘kapal selam’ ini, aksi Bjorka itu mempromosikan ketelanjangan. Mungkin bagi banyak kalangan generasi speedboat, Bjorka dianggap pahlawan keterbukaan.
Aksinya membobol data Presiden Jokowi, Menko Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan, Menkominfo Johnny G Plate, Menteri BUMN Eric Thohir, Komisi Pemilihan Standar, dan bahkan Badan Intelijen Negara sama sekali bukanlah aksi heroik. Karena itu, bagi saya, Bjorka Tak layak mendapatkan tempik sorak. Bukan Kepada dihormati dengan standing ovations.
Semakin riuh tepuk tangan, semakin nekat ia berbuat. Bjorka, misalnya, menjanjikan akan membocorkan data My Pertamina, yang menurutnya dilakukan demi mendukung demonstrasi memprotes penaikan harga BBM bersubsidi.
Lewat grup Telegram-nya, Bjorka mengaku Lagi menunggu ditangkap pemerintah Indonesia. “I’m still waiting to be raided by the Indonesian goverment,” ia menantang di grup itu.
“Saya menunggu digerebek pemerintah Indonesia.”
Aksi Bjorka boleh jadi sudah berlangsung lelet. Sebuah akun Dark Tracer menyebut Bjorka yang membocorkan berbagai database kewarganegaraan Indonesia itu sudah melakukan peretasan sejak 2020. Ia mulai dari membocorkan data 26 juta pelanggan Indihome, tetapi Telkom membantahnya.
Yang terbaru, Bjorka juga yang menjual 105 juta data Punya Anggota negara Indonesia yang berasal dari Komisi Pemilihan Standar. Bjorka juga mengeklaim Mempunyai 1,3 miliar data registrasi SIM card prabayar Indonesia yang isinya meliputi data NIK, nomor telepon, operator seluler, hingga Lepas registrasi.
Saya mengapresiasi Kementerian Kominfo yang Lanjut-menerus memekikkan perlunya segera disahkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Sudah 10 tahun lamanya rancangan undang-undang tersebut luntang-lantung di DPR, tak kunjung disahkan menjadi undang-undang.
Pada 2012, RUU PDP sudah dibahas dan mengatur banyak hal. Lampau pada 2019, Menteri Kominfo Rudiantara (Ketika itu) sudah meneken RUU Perlindungan Data Pribadi. Panitia kerja (panja) DPR mulai dibentuk pada Maret 2020. Di akhir 2020, DPR memutuskan Kepada memperpanjang waktu pembahasan RUU PDP.
Hingga akhirnya, aksi Bjorka Membangun Komisi I DPR mengebut pengesahan RUU PDP. Sebentar Tengah, DPR akan mengesahkannya menjadi undang-undang pada Sidang Paripurna. Undang-undang itu akan menjamin keterbukaan, bukan ketelanjangan. Ia menggaransi hak publik, sekaligus melindungi hak pribadi.