Kebebasan Akademis dan Transisi Demokrasi

Kebebasan Akademis dan Transisi Demokrasi
Ilustrasi(Duta)

OPTIMISME dalam membangun bangsa ialah keharus­an karena akan memberi energi positif dalam berpikir dan bertindak. Optimisme kini mulai mengalir dan momentumnya ialah 2045, tepat 100 tahun RI merdeka. Diperkirakan Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia dengan PDB US$7,3 triliun dan pendapatan per kapita US$25 ribu.

Tak dimungkiri, saat ini kita belum dalam kondisi ideal. Dalam banyak indikator ternyata kita masih di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya. Indeks inovasi global Indonesia berada di urutan ke-85, jika bandingkan dengan Singapura (8), Malaysia (35), Thailand (43), Vietnam (42), Filipina (54), dan Brunei (71).

Pada 2019, indeks daya saing global kita di urutan ke-50 dunia dan urutan ke-4 di Asia Tenggara di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Indeks ketahanan pangan global 2019 kita nomor 62 dunia dan ke-5 di Asia Tenggara.

Dalam food sustainability index (FSI) 2018, Indonesia mendapat skor 59,1, tertinggal dari Ethiopia 68,5 yang dulu kita kenal sebagai daerah kelaparan. food loss and waste atau FLW (kehilangan dan pemborosan pangan) kita juga tergolong tinggi.

Menurut FAO, FLW kita sekitar 300 kg/kapita/tahun dan tergolong nomor 2 di dunia, setelah Arab Saudi. FLW telah menjadi perhatian dunia karena 1/3 produksi pangan dunia hilang dan mengalami pemborosan. Sebenarnya dengan mengatasi FLW ini saja, ketersediaan pangan kita akan meningkat.

Belum lagi kalau kita melihat indeks kelaparan global versi International Food Policy Research Institute (IFPRI), bahwa skor indeks kita sebesar 21 dan skor negara maju kurang dari 5. Pada 1992, skor kita 35,8 dan selama 22 tahun hingga 2016 turun 12,9%, atau dirata-rata turun 0,6 poin per tahun. Bila tidak ada usaha khusus yang sistematis dan serius dengan penurunan 0,6 per tahun, diperlukan waktu 27 tahun untuk sama dengan negara maju.

Tentu kita mengapresiasi langkah pemerintah untuk mengatasi masalah stunting karena stunting ini menjadi variabel penting dalam indeks kelaparan global. Bila masalah ini ditangani dengan kerja ekstra keras, waktu yang diperlukan untuk setara negara maju akan lebih cepat lagi.

Fakta-fakta di atas mestinya tidak membuat kita berkecil hati. Fakta-fakta itu mesti membuat kita makin serius memikirkan masa depan bangsa ini. Dunia mana pun sedang mengalami kegalauan tersendiri karena yang dihadapi ialah ketidakpastian.

Inggris galau karena ketidakpastian masa depannya pascakeputusannya tentang Brexit. Singapura galau karena ketidakpastian akan muncul pascaberoperasinya Laluan Kra, proyek Thailand dan Tiongkok yang berpotensi akan membunuh Pelabuhan Singapura.

VUCA dan SDM unggul

Memang kita hidup di era volati­lity, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA) yang penuh guncangan perubahan disertai ketidakpastian dan situasi yang makin kompleks. Wajar bila kemudian VUCA disebut-sebut membuat kita fragile. Tetapi, fragility akibat VUCA itu dapat kita konversi menjadi agility bila kita siap dengan skill baru, antara lain menciptakan kekuatan visi baru tentang masa depan, kreativitas, dll.
 
Sebut saja studi Mc Kinsey (2019) yang menunjukkan di Indonesia ada 23 juta pekerjaan yang akan digantikan mesin akibat otomatisasi. Tetapi, saat yang sama 27 juta-46 juta pekerjaan baru tercipta. Definisinya, VUCA tetap membuka peluang bagi orang-orang yang adaptif.

Cek Artikel:  Memproteksi NKRI

Pertanyaannya, bagaimana posisi perguruan tinggi di Indonesia di tengah keharusan optimisme, tapi dengan fakta-fakta yang membuat kita miris serta situasi VUCA yang membingungkan? Secara sederhana postulatnya ialah Indonesia Maju butuh SDM unggul dan untuk SDM unggul butuh perguruan tinggi. Tetapi, apakah perguruan tinggi atau kampus menjamin akan menghasilkan SDM unggul?

Apa itu SDM unggul? SDM unggul ialah yang adaptif terhadap perubahan. Charles Darwin mengingatkan kita spesies yang bisa bertahan tidaklah yang terkuat dan terpintar, tetapi yang responsif terhadap perubahan. Responsif terhadap perubahan mensyaratkan sejumlah soft skill, seperti kemampuan belajar cepat, kelincahan, fleksibilitas, dan future mindset.

Perubahan hampir selalu membawa kebaruan. Menghadapi kebaruan butuh belajar cepat sehingga butuh mental sebagai pembelajar yang lincah. Future mindset menarik garis ke depan dengan penuh keyakinan bahwa perubahan ialah keniscayaan. Future mindset selalu siap dan sigap menghadapi perubahan dan ketidakpastian. Tetapi, kecepatan dan kelincahan juga diperlukan menghadapi volatilitas.

Ketidakpastian harus dihadapi dengan kolaborasi. Ke depan, inovasi yang dahsyat pun umumnya berbasis kolaborasi. Kita tidak mungkin sendiri-sendiri menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian itu. Kolaborasi memungkinkan terjadinya akumulasi potensi untuk menjadi kekuatan baru. Tetapi, kolaborasi yang kuat akan tercipta bila didasari rasa saling percaya yang tinggi.

Masyarakat di negara maju dicirikan dengan high trust society, sebagaimana studi Fukuyama. Unsur penting dalam membangun high trust society ialah integritas dan itu akan muncul dari kejujuran. Hal ini selaras dengan hasil riset T Stanley yang menyebutkan dari 100 faktor yang membuat orang sukses, ternyata IQ berada di urutan ke-21, bersekolah di sekolah favorit di urutan ke-23, dan lulus dengan nilai terbaik berada di urutan ke-30.

Elemen yang menempati urutan ke-5 besar ialah kejujuran, disiplin, skill interpersonal yang baik, dukungan dari pasangan hidup, dan bekerja lebih keras dari orang lain. Jadi, menghadapi masa depan memerlukan integritas yang kuat. Dengan demikian SDM unggul dicirikan integritas yang kuat, soft skill yang bagus, dan hard skill yang tangguh.

Bagaimana kampus mampu mencetak karakteristik SDM unggul dengan kekuatan skill dan integritas seperti di atas? Apakah kebebasan akademis dan kebebasan mimbar akademis menjadi faktor penting?

Kebebasan akademis

Kampus memiliki kebebasan akademis dan kebebasan mimbar akademis. Kebebasan akademis ialah modal pokok bagi kampus untuk tumbuh berkembang dan menghasilkan SDM unggul. Menurut UU RI No 12/2012 Pasal 9 ayat 1, kebebasan akademis ialah kebebasan sivitas akademika dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab.

Kebebasan mimbar akademis ialah kewenangan yang dimiliki profesor dan/atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu, cabang ilmu, atau bidang yang dikajinya.

Kebebasan akademis dan kebebasan mimbar akademis akan menjadi atmosfer krusial untuk membangun kreativitas dan berpikir kritis. Kreativitas dan berpikir kritis itu ialah skill yang diperlukan di era VUCA ini. Kreativitas kini menjadi modal tidak terbatas dan sangat menentukan.

Sebagaimana dikatakan Jack Ma bahwa kompetisi mendatang ialah kompetisi berbasis kreativitas dan imajinasi. Dulu orang berkompetisi berbasis pada seberapa banyak modal finansial yang dimiliki. Tetapi, kini kondisi berubah dan modal finansial, pengetahuan, serta aset sudah dikalahkan modal kreativitas. Begitu pula, berpikir kritis ialah modal penting menghadapi ambiguitas yang kini terjadi.

Cek Artikel:  Hantu Inflasi Mendunia Dampak Domino dan Mitigasinya

Bagaimana kebebasan akademis dan kebebasan mimbar akademis mampu menciptakan kreativitas dan berpikir kritis? Ukuran kehidupan kampus ialah rasionalitas. Sebagai lumbung rasionalitas, kampus membuka kesempatan kepada siapa pun di dalamnya untuk berpikir menghasilkan pemikiran baru maupun berpikir untuk merespons pemikiran lain.     

Interaksi rasional di dalam kampus terjadi karena yang diperbincangkan ialah sains dan teknologi. Sains dan teknologi bertumpu pada rasionalitas. Sains dan teknologi semakin berkembang di saat kreativitas dan kemampuan berpikir kritis diagungkan, dan itu bisa terjadi bila rasionalitas juga diagungkan.

Rasionalitas ialah steering media yang membuat kampus tetap eksis. Kampus hidup karena rasionalitas tumbuh subur dan mendapat tempat terhormat. Semakin maju kampus, biasanya semakin banyak alokasi waktu orang-orang di dalamnya mempertukarkan pikiran rasionalnya.

Apa hubungan antara kebebasan akademis dan demokrasi? Kebebasan akademis itu salah satu bentuk demokrasi secara mikro. Kampus dituntut demokratis karena sejatinya kampus dibesarkan dengan cara-cara demokratis. Betapa tidak, yang diagungkan ialah rasionalitas dan ekspresi apa pun sepanjang memenuhi standar rasionalitas, sangat dimungkinkan di kampus. Di sinilah yang membedakan ‘demokrasi’ di kampus dengan demokrasi secara makro di luar kampus.

Tradisi ‘demokratis’ dengan ciri kebebasan akademis di atas membuat kampus memiliki ciri pokok, yaitu rasional. Rasionalitas kampus menjadi pembentuk watak kampus berikutnya, yaitu independen. Independensi inilah yang kemudian membuat kampus semakin bernilai atau tidak. Semakin independen sebuah kampus, artinya semakin mengagungkan rasionalitasnya. Sebaliknya semakin tidak independen sebuah kampus, biasanya rasio­nalitas semakin ditanggalkan dan diganti dengan ikatan kepentingan sebagaimana berlaku dalam dunia politik praktis.

Kehidupan rasional di kampus ialah modal bagi kampus dalam memosisikan diri dalam demokrasi. Kebebasan akademis dan mimbar akademis yang kuat akan memperkukuh independensi kampus dari tarikan-tarikan kepentingan politik praktis.
    
Independensi dan idealisme itu ialah modal kampus dalam menjaga kebebasan akademis dan kebebasan mimbar akademis. Tetapi, apakah kebebasan akademis bentuk kebebasan sebebas-bebasnya tanpa tujuan?

Transisi demokrasi

Kebebasan akademis harus diletakkan dalam kepentingan bangsa ke depan. Kebebasan akademis, instrumen demokrasi yang seharusnya melahirkan gagasan dan tindakan yang mengekspresikan sistem yang menjamin terwujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat.     

Dalam kerangka ini, ada sejumlah langkah yang harus kita lakukan.
Pertama, harus dipahami struktur ekonomi dan demografi kita. Ekonomi perdesaan beserta penduduk di dalamnya yang berbasis agroma­ritim masih menjadi penciri.

Berbicara demokrasi berarti berbicara tentang mayoritas penduduk beserta ciri-ciri ekonominya. Tak bisa dimungkiri bahwa petani, nelayan, peternak, masyarakat sekitar hutan, dan masyarakat perdesaan lainnya masih dominan. Dengan potensi SDA yang melimpah disertai karakteristik demografi yang seperti itu, tidak ada jalan lain selain harus memperkuat sektor agromaritim Indonesia. Membangun ekonomi berbasis pelaku mayoritas itulah salah satu ciri demokrasi ekonomi.

Kedua, harus dipahami bahwa demokrasi harus dilakukan secara bertahap. Ketika ini tampak demokrasi politik lebih dominan daripada demokrasi ekonomi. Padahal, yang saat ini diperlukan ialah demokrasi ekonomi karena langsung berhubungan dengan kepentingan kebutuhan rakyat.

Cek Artikel:  Penyakit Menular Masalah Dunia, Masalah Kita

Upaya penguatan sektor agromari­tim dimulai dari mengatasi ketimpangan agraria, memberi akses kepada pelaku agromaritim terhadap sumber agraria, baik tanah maupun air. Tetapi, akses pada sumber agraria ini harus diiringi access reform, yaitu teknologi, modal, pasar, dan SDM.

Ini bisa terjadi bila kita menempatkan agromaritim sebagai rezim ‘produksi’, bukan rezim ‘perdagangan’ semata. Rezim ‘produksi’ akan me­ngondisikan terciptanya nilai tambah dari hasil proses produksi yang dilakukan rakyat. Sementara itu, rezim ‘perdagangan’ lebih fokus aspek ketersediaan barang dan tidak peduli dari mana barang berasal.

Di sinilah rezim ‘perdagangan’ rentan terhadap praktik perburuan rente yang tidak jarang memberi dampak negatif bagi terwujudnya keadilan. Anehnya rezim ‘perdagangan’ semakin subur di era demokrasi sehingga muncul fenomena seperti diungkapkan Giddens (1999) tentang paradox democracy. Paradox democracy muncul akibat kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap demokrasi karena demokrasi yang sudah mapan ditunggangi elite memanfaatkan kewenangan yang merugikan banyak pihak.

Ketiga, harus dipahami sangat kuat harapan publik kepada kampus dalam kerangka demokrasi ekonomi. Kampus diharapkan hadir dengan inovasi unggul menjawab kebutuhan pasar. Dengan Revolusi Industri 4.0, kampus pun dituntut mampu hadir dengan inovasi 4.0 yang menjadi solusi bagi masyarakat, industri, dan pemerintah.

Lahirnya inovasi 4.0 unggul dengan aplikasi IoT, kecerdasan buatan, drone, blockchain, dan robotic harus dimulai dari strategi riset yang baik. Kampus harus mulai mengembangkan riset-riset transformatif yang berorientasi perubahan.

Dalam kerangka demokrasi ekonomi yang mana ekonomi rakyat harus kuat, kampus harus memiliki keberpihakan. Keberpihakan ini akan kuat bila kita memiliki nasionalisme yang kuat.

Keempat, harus dipahami bahwa RI masih dalam transisi demokrasi. Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, ternyata kita masih fokus pada prosedur demokrasi dan belum sampai pada substansi. Safiri-nilai demokrasi tidak saja belum dimiliki rakyat kebanyakan, tetapi juga para elite. Tak puasnya elite yang kalah dalam pilkada yang kemudian menyulut kerusuhan di berbagai daerah ialah bukti belum matangnya kita berdemokrasi.

Dalam era transisi ini, kampus memegang peran penting. Tak seperti kampus di negara maju yang sudah tidak lagi diperlukan perannya dalam demokrasi karena peran itu sudah bisa dimainkan masyarakat luas. Di dunia ketiga seperti Indonesia, justru sebaliknya. Kampus dengan independensinya sangat ditunggu-tunggu. Kampus ditunggu perannya sebagai penengah ketika polarisasi sosial meluas.

Kampus ditunggu perannya sebagai penyejuk ketika suasana ruang publik memanas. Kampus ditunggu perannya sebagai agen kontrol sosial ketika lembaga resmi pengontrol kurang berdaya. Kampus ditunggu perannya sebagai kontributor pemikiran kebijakan pembangunan ketika kebijakan diambil tidak berbasis akal sehat lagi. Tetapi, peran kampus ini harus dipahami semua pihak sehingga bukan hanya tugas akademisi saja untuk menjaga kampus, melainkan juga tugas pemerintah dan politisi untuk turut menjaga marwah kampus.

Kampus dengan kebebasan akademisnya semakin ditantang untuk menghadapi perubahan. Era disrupsi tengah kita hadapi dan kita harus ambil salah satu dari dua pilihan, yaitu to disrupt atau to be disrupted. Semoga kampus kembali terlibat dalam proses sejarah sehingga selalu mencetak sejarah baru di Indonesia.

Mungkin Anda Menyukai