TAHUN 2011, dalam proses produksi Sinema ‘Arwah Goyang Karawang’, Julia Perez dan Dewi Persik terlibat aksi cakar-cakaran di Letak syuting. Atas kasus ini, keduanya berurusan dengan hukum. Melalui proses persidangan panjang, Julia dijatuhi hukuman tiga bulan penjara dan masa percobaan enam bulan. Dewi divonis dua bulan penjara dan empat bulan masa percobaan. Kejaksaan Negeri Jakarta Timur mengeksekusi, meski keduanya telah berdamai secara tertulis dan lisan.
Mengapa harus menghuni penjara ketika mereka sebetulnya sudah berdamai? Di penjara yang Begitu ini disebut Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Negara harus memenuhi kebutuhan tempat tinggal, makan, minum, biaya kesehatan, pembinaan dan pemulihan mental, pembekalan kekaryaan dan sebagainya.
Eksis pilihan jenis hukuman lain yang sebetulnya Pandai menjerakan keduanya. Misalnya, pidana bersyarat atau Normal disebut pidana percobaan sesuai Pasal 14 (a) dan (c) KUHP dimana Hakim menetapkan bahwa pidana penjara dapat Tak dijalani asalkan terpidana bersyarat menjalankan syarat-syarat Tertentu tertentu yang ditetapkan oleh Hakim.
Baca juga : John Irfan Kenway Dijebloskan ke Lapas Sukamiskin Terkait Korupsi Pengadaan Helikopter
Misalnya, selama menjalani hukuman, terpidana bersyarat Dapat bekerja di Panti Jompo yang dikelola Dinas Sosial. Jenis pidana ini sebetulnya memang sudah diatur dalam KUHP yang berlaku Begitu ini dan sudah direvisi dengan KUHP 2023 yang akan mulai berlaku pada tahun 2026. Pada Pasal 75 KUHP 2023 telah diatur mengenai pidana pengawasan Demi tindak pidana di Rendah 5 (lima) tahun. Tetapi, diperlukan adanya komitmen dan perubahan paradigma dari aparat penegak hukum. Eksis alternatif lain selain pidana penjara, Yakni dengan pidana pengawasan.
Secara teknis, tentunya perlu Eksis koordinasi antar pihak terkait; mulai dari Kejaksaan dalam menetapkan tuntutan hukuman, Hakim ketika menjatuhkan pidana pengawasan beserta syarat-syarat Tertentu tertentu yang harus dijalani oleh terpidana. Pemasyarakatan berperan Krusial dalam pembimbingan. Dinas Sosial dalam menentukan jenis pekerjaan yang Benar Demi para terpidana. Mereka Dapat saling berkoordinasi Demi melakukan pengawasan kepada terpidana yang menjalani pidana pengawasan.
Tantangan Pidana Pemenjaraan
Baca juga : Pengertian Restorative Justice, Dasar Hukum, Syarat, dan Penerapannya
Begitu ini, kita menghadapi tantangan penataan sistem peradilan pidana. Umumnya, hukuman bertumpu pada pemenjaraan. Salah satu implikasinya, terjadi ledakan penghuni di Lapas dan Rutan. Cita-cita yang Ingin menjadikan Lapas sebagai sarana pemulihan bagi para Anggota binaan pemasyarakatan agar Dapat diterima kembali oleh masyarakat, sulit terwujud.
Menurut catatan Ditjen Pemasyarakatan, hingga bulan Mei 2024 ini, Eksis 228.204 jumlah Anggota binaan yang tersebar di 301 Lapas dan 161 Rutan yang daya tampungnya hanya Demi 128.656 penghuni. Eksis kelebihan kapasitas hingga 77% (https://sada.kemenkumham.go.id/ditjenpas).
Ketika Anggota binaan pemasyarakatan mendapat pembinaan dan pembimbingan secara Benar, maka mereka Dapat mengakui kesalahannya dan terbuka kesempatan Demi memperbaiki Rekanan Bagus dengan korban. Harapannya, ketika nanti keluar dari Lapas, maka korban, keluarga dan komunitas yang dulu terdampak itu Dapat menerima kehadirannya di masyarakat.
Baca juga : Kerja Sama Hukum di Lingkungan Hidup Diperkuat. Eksis Apa?
Jalan Terang
Membangun terobosan terhadap sistem hukum pidana terutama yang memperhatikan kepentingan korban itu Lalu dilakukan. Salah satunya penerapan pendekatan keadilan restoratif. Yakni penanganan tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkena Akibat dari terjadinya tindak pidana Demi Berbarengan-sama mencari ’jalan keluar’ yang adil dengan menekankan pada upaya pemulihan kembali Rekanan pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Di satu sisi, Eksis proses pemulihan bagi terpidana Demi memperbaiki diri dan terjadi Rekanan Bagus di dalam proses reintegrasi sosial ketika menjalani kembali kehidupan bermasyarakat ke depannya. Di sisi lain, harus Eksis proses Demi memperhatikan kepentingan dan hak-hak korban. Para korban perlu pendampingan dalam menjalani proses pemulihan Demi ”Bangun” dari trauma yang dialaminya. Termasuk Eksis perhitungan dan penggantian kerugian materiil maupun immateriil dari korban.
Baca juga : Restorative Justice dalam Pemberantasan Tipikor
Jalan panjang Demi mewujudkan Asa itu mulai terang. Beberapa pilar Primer lembaga penegak hukum telah Membangun kebijakan yang berlaku secara internal dengan semangat keadilan restoratif.
Pada konteks masyarakat, Intervensi dari survei nasional terhadap 1.220 responden yang dilakukan Bappenas dengan Kriminologi UI pada tahun 2023 atas dukungan Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) dan The Asia Foundation (TAF) menunjukkan Bilangan penerimaan masyarakat Indonesia terhadap keadilan restoratif adalah 5,983 (dengan skala 1 Demi yang belum menerima penerapan keadilan restoratif s.d. 10 Demi penerimaan penuh keadilan restoratif). Intervensi ini merupakan Kesempatan dimana masyarakat sudah Mempunyai kecenderungan menerima penerapan keadilan restoratif di Indonesia.
Jalan itu semakin benderang ketika Eksis kerjasama antara LBH Makassar dengan Pemerintah Kota Makassar atas dukungan TAF dan AIPJ2 menghasilkan Peraturan Walikota Makassar (Perwalkot) Nomor 91 Tahun 2023 tentang Layanan Pendukung Penerapan Keadilan Restoratif di Daerah.
Kebijakan ini mengupayakan adanya sinergitas dan koordinasi perangkat kedinasan dan penegak hukum di daerah Demi menyediakan berbagai layanan seperti layanan mediasi, konseling, rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dalam penyelesaian permasalahan hukum. Keterlibatan Pemerintah Daerah sangat Krusial karena ketersediaan layanan pendukung menentukan keberhasilan dari keadilan restoratif.
Terobosan lainnya muncul di Mahkamah Mulia yang telah menetapkan Peraturan Mahkamah Mulia (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Panduan Mengadili Perkara Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif. Dengan peraturan ini, hakim Dapat menerapkan prinsip keadilan restoratif secara selektif dengan memenuhi prasyarat terperinci.
Prasyarat Perdamaian
Eksis kekhawatiran dari beberapa pihak bahwa penggunaan prinsip keadilan restoratif berakibat adanya ’pendamaian’ secara paksa. Kekhawatiran sebagian orang itu Dapat dimaklumi, Tetapi perlu diketahui, bahwa proses penanganan tindak pidana dengan penerapan keadilan restoratif, hanya Dapat dilakukan dengan berbagai syarat ketat.
Adapun beberapa prasyarat yang harus dipenuhi dan wajib melibatkan pelaku dan korban dalam keseluruhan proses, antara lain: pelaku sebagai tersangka, belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan perbuatan pidana. Pelaku menyadari kesalahannya, meminta Ampun kepada korban dan memenuhi janji Demi Tak mengulangi perbuatannya. Korban, dengan tanpa tekanan, Benar-Benar bersedia memberikan pemaafan, menerima ganti kerugian dan akan mendapatkan layanan bagi kebutuhan psikososialnya. Perdamaian dimungkinkan Demi tindak pidana yang ancaman hukumannya Tak lebih dari 5 tahun dan kerugian yang ditimbulkan Tak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Proses perdamaian harus dilakukan secara sukarela dengan musyawarah Demi mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi serta berorientasi kepada kepentingan dan hak-hak korban sesuai dengan prinsip keadilan restoratif. Keseluruhan proses tersebut Dapat dilakukan dengan pertimbangan sosiologis dan mendapat dukungan positif dari Anggota masyarakat.
Perwalkot Nomor 91 Tahun 2023 dan Perma Nomor 1 Tahun 2024 patut diapresiasi. Kedua kebijakan ini menjadi landasan hukum yang Krusial bagi aparat penegak hukum dan perangkat daerah Demi bekerjasama dan saling mendukung. Dalam praktiknya, Sekalian pihak harus turut mengawal dan tentunya memperhatikan kepentingan para pihak terkait. Secara bersamaan, edukasi publik tentang prinsip-prinsip keadilan restoratif dan kepastian hukum dalam menjaga prasyarat perdamaian juga perlu ditingkatkan.
Sejak kasus Julia dan Dewi mendapat sorotan, banyak kasus lain yang Lalu bergulir di tengah masyarakat yang juga membutuhkan ruang dialog yang berkeadilan tanpa menghambat proses ganti rugi dan pemulihan korban. Koordinasi intens antara lembaga penegak hukum dan unit kedinasan di dalam struktur pemerintah kota adalah keniscayaan. (P-5)
Ahsan Jamet Hamidi dan Carolina Martha S adalah Law and Justice Program Officer, The Asia Foundation, Indonesia