Humanisme Kejaksaan

DUA tersangka pencurian dan penadahan besi di Masjid Azizi Langkat, Sumatra Utara, semringah. Pasalnya, setelah menjalani proses hukum, Kejaksaan Negeri Langkat menghentikan penuntutan perkara kedua tersangka dengan keadilan restoratif atau restorative justice. Alhasil, kedua tersangka Kagak akan merasakan dinginnya penjara. Makan tak Lezat dan tidur pun Niscaya tak nyenyak.

Kedua tersangka ialah Adriansyah Putra alias Putra (dijerat dengan Pasal 480 ayat 1 KUHP) dan Rizal Affandi (dijerat dengan Pasal 362 KUHP). Peristiwa pencurian itu terjadi pada 9 Desember 2021.

Kedua pemuda tersebut mencuri besi Punya Masjid Azizi yang dalam proses pembangunan.

Kejari Langkat melakukan penghentian penuntutan itu atas dasar peraturan Jaksa Mulia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif pada 3 Februari 2022.

Perkara yang menjerat kedua tersangka itu dihentikan karena jumlah kerugian akibat pencurian yang dilakukan tersangka di Dasar Rp2,5 juta, tuntutan di Dasar 5 tahun penjara, baru pertama kali melakukan aksi pencurian, dan Terdapat perdamaian antara tersangka dan korban.

Kejari Langkat mengingatkan kepada tersangka dan pihak keluarga bahwa pembebasan itu sebagai bentuk peringatan agar ke depan Kagak mengulangi perbuatan haram tersebut. Tetapi, Kalau kedua tersangka kembali melakukan hal yang sama di kemudian hari, mereka akan diproses secara hukum dan dituntut dengan hukuman yang berat.

Cek Artikel:  Nestapa Tekstil Kita

Itulah salah satu Misalnya program Kejaksaan Mulia (Kejagung) yang bernama keadilan restoratif di Dasar pimpinan Jaksa Mulia Sanitiar Burhanuddin. “Perbuatan tindak pidana Kagak melulu masuk penjara. Kami Mau menghapus kesan ‘hukum tajam ke Dasar dan tumpul ke atas’. Kasus-kasus yang menimpa rakyat kecil dan berkasus kecil Kagak perlu diproses hukum. Iba mereka (pelaku) kalau dipenjara. Iba pula pihak lembaga pemasyarakatan sudah penuh dan harus memberi makan pula,” kata Burhanuddin dalam kunjungannya ke Media Group Network, Kedoya, Jakarta Barat, kemarin.

Menurutnya, pihaknya Mau Berbarengan-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula pada kasus tindak pidana ringan. “Paradigma kami bukan Tengah pembalasan, melainkan pemulihan,” ujarnya.

Lembaga penegak hukum itu Kagak sekadar menerbitkan peraturan Jaksa Mulia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, tetapi juga Membikin Rumah Restorative Justice (RJ) bekerja sama dengan sejumlah pemerintah daerah.

“Rumah RJ berfungsi sebagai wadah Kepada menyerap nilai-nilai kearifan lokal, melibatkan tokoh masyarakat, tokoh Keyakinan, dan tokoh adat Berbarengan-sama dengan jaksa dalam proses penyelesaian perkara yang berorientasikan pada perwujudan keadilan substantif,” kata Burhanuddin. Pihaknya, kata dia, Mau menghapus kesan kejaksaan sebagai lembaga yang angker. Dia Mau Persona kejaksaan humanis dalam penegakan hukum. “Kami juga tak segan-segan mengambil tindakan tegas terhadap jaksa-jaksa yang Bandel,” tandasnya.

Cek Artikel:  Rakyat bukan Pemenang Pemilu

Hingga 16 Juli 2022 sebanyak 1.334 perkara hingga kini telah dihentikan penuntutannya berdasarkan restorative justice. Sementara itu, Kepada kasus-kasus kakap (big fish), Kejagung Kagak gentar Kepada mengusutnya, seperti kasus Jiwasraya (kerugian negara Rp16,8 triliun), ASABRI (Rp22,78 triliun), persetujuan ekspor (PE) minyak mentah kelapa sawit (CPO) di Kementerian Perdagangan (Rp20 triliun), penyerobotan dan penguasaan lahan hutan seluas 37.095 hektare di Indragiri Hulu, Riau, oleh pemilik PT Duta Palma Group Surya Darmadi (Rp78 triliun).

Langkah Kejagung Membikin keadilan restoratif dan menggarap kasus-kasus megakorupsi patut diacungi jempol. Dengan kedua langkah itu, tak mengherankan bila sejumlah lembaga menyebutkan Kejagung sebagai lembaga yang paling tepercaya di atas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI.

Sejatinya, Kejagung harus menghadirkan keadilan di samping kepastian hukum. Tetapi, di atas Segala itu Korps Adhyaksa juga harus bekerja keras menciptakan kesadaran hukum di masyarakat. Itu karena kesadaran hukum akan membantu menentukan efektif tidaknya suatu hukum yang berlaku. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat, akan semakin mudah aparat penegak hukum bekerja. Kesadaran hukum ditandai empat hal, yakni pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum, dan perilaku hukum.

Cek Artikel:  Bukan Capres Seolah-olah

Indonesia ialah negara hukum sebagaimana Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 dengan tujuan hukum Terdapat tiga, Yakni kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum. Tetapi, dari ketiga tujuan hukum tersebut keadilanlah yang menjadi tujuan Penting ketimbang kemanfaatan hukum dan kepastian hukum.

Mantan hakim Mulia yang juga mantan Personil Dewan Pengawas KPK Artidjo Alkostar (almarhum) yang terkenal ‘berdarah dingin’ dalam putusan-putusan hukumnya Demi di MA mengatakan, di dunia ini Kagak Terdapat keadilan yang hakiki karena Terdapat kecenderungan Insan memburu hawa nafsu atas Insan lain. Hanya di akhirat kelak, Allah SWT akan memberi muqsith (adil) yang hakiki. “Keadilan harus bersumber kebenaran yang berada dalam pikir (logika) dan zikir (hati/keyakinan),” ujarnya. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai