FRASA the perfect storm kini menjadi kalimat pengingat di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Tentu, saya Tak sedang membicarakan Sinema Laku dengan judul yang sama arahan Pengarah adegan Wolfgang Petersen yang dirilis 2000 itu. Sama sekali bukan.
The perfect storm yang saya maksud ialah ancaman krisis Dunia yang sangat kompleks dan berpotensi terjadi oleh Variasi Karena. Saking tinggi kompleksitasnya, ia diserupakan dengan istilah ‘badai yang sempurna’. Dampaknya mirip dengan gambaran dalam Sinema The Perfect Storm yang dibintangi George Clooney.
Saking mengerikannya, Tiba-Tiba hanya dalam hitungan tiga bulan, dua menko memperingatkannya. Pada Juni Lampau, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto meminta kita mewaspadai ‘badai yang sempurna’ itu. Menko Perekonomian menyampaikan itu dalam ceramah di Lemhannas.
Paling baru, peringatan agar kita mewaspadai the perfect storm disampaikan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, kemarin. Begitu berpidato dalam peringatan Hari Maritim Nasional, Luhut mengatakan Indonesia memang telah menjadi salah satu negara dengan ekonomi yang kuat di dunia. Tetapi, Indonesia harus kompak agar dapat mengurangi Akibat dari the perfect storm atau krisis Dunia yang kompleks.
Para Spesialis ekonomi mengidentifikasi ‘badai yang sempurna’ itu sebagai rangkaian krisis yang datang berbarengan. Ia datang dalam satu sapuan sekaligus. Pula, dengan kompleksitas yang tinggi.
Terdapat yang menyebutkannya dengan ‘badai krisis 5 c’. Krisis tersebut, yakni covid-19, conflict, climate change, commodity prices, dan cost of living. Covid-19 telah menyerang lebih dari 620 juta jiwa di seluruh dunia. Tercatat lebih dari 6,5 juta orang meninggal akibat virus yang sudah berkali-kali bermutasi itu.
Pandemi covid-19 memicu krisis dan resesi ekonomi di banyak negara. Bahkan, lebih dari 40 negara terancam bangkrut akibat ketidakmampuan membayar utang luar negeri dan Tak sanggup membayar impor kebutuhan pokok mereka.
Begitu krisis belum juga selesai, muncul badai krisis susulan akibat konflik Rusia-Ukraina. Invasi Rusia ke Ukraina Membikin harga minyak membubung, diikuti krisis pangan dipicu pasokan gandum dari Rusia-Ukraina yang Sempit. Padahal, kedua negara itu merupakan pemasok Istimewa gandum dunia.
Begitu konflik Rusia-Ukraina belum menunjukkan tanda-tanda mereda, muncul Tengah tensi yang Maju mendidih antara Tiongkok dan Taiwan. Kunjungan Ketua DPR Amerika Perkumpulan Nancy Pelosi ke Taiwan jadi pemicunya. Kondisi geopolitik di Kawasan itu pun mulai memantik krisis.
Tiongkok mulai menghentikan bahan baku pembuatan semikonduktor ke Taiwan. Padahal, 70% lebih bahan baku pembuatan semikonduktor Taiwan dipasok dari Tiongkok. Padahal pula, Taiwan ialah produsen Istimewa semikonduktor dunia. Sebanyak 41% pendapatan ekspor Taiwan didapat dari semikonduktor.
Padahal juga, dunia kini amat bergantung pada semikonduktor Taiwan. Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), produsen cip semikonduktor terbesar di dunia kini ‘memimpin’ dunia. Mengutip data TrendForce, TSMC menguasai 54% pangsa pasar semikonduktor dunia pada 2020.
Perusahaan tersebut memproduksi mikrocip Demi perangkat mobile, komputer berperforma tinggi, elektronik otomotif, dan internet of things (IoT). Apa jadinya bila Tiongkok yang ngambek menghentikan pasokan bahan baku pembuatan semikonduktor ke Taiwan? Tentu, kita Tak Ingin kembali ke era prateknologi bukan?
Suka atau Tak suka, krisis 5 c itu akan berdampak bagi Indonesia. Kita amat bersyukur Tiba hari ini Indonesia Tetap Bisa meredam ‘badai yang sempurna’ itu. Tetapi, pertanyaannya, berapa lelet kita Dapat? Tentu kita Tak cukup menjawabnya hanya dengan mengatakan kita punya pengalaman melalui segala krisis.
Sejarah memang telah membuktikan sejak dari krisis moneter 1998, resesi ekonomi 2008, hingga krisis pandemi covid-19 2020, Indonesia selalu Bisa Terbangun menghadapi tantangan yang Terdapat. Tetapi, kompleksitas yang dihadapi ketika itu belum selevel ‘badai yang sempurna’. Krisis kali ini Mempunyai Kepribadian, bentuk, juga kedalaman yang jauh berbeda. Eskalasinya lebih dalam.
Lampau, bagaimana menghadapi itu Sekalian? Saya sepakat dengan pernyataan sejumlah ekonom di Indonesia. Paling Istimewa ialah kekompakan. Spirit kolaborasi itu mesti dimulai dari teladan para pemangku kebijakan. Bila para pemangku kebijakan kompak, spirit dan aksi kolaboratifnya tinggi, serta Tak Terdapat ego sektoral, separuh badai Dapat dijinakkan.
Selain itu, kemampuan dan kejelian membaca ‘peta masa depan’ Lampau merumuskannya secara Segera, Akurat, dan smart akan menjinakkan Tengah sebagian badai lainnya. Sisanya Tengah, ialah kemampuan mendongkrak perekonomian domestik. Jangan salah, resiliensi kita menghadapi krisis dalam beberapa Dasa warsa terakhir ini terjadi karena lebih dari separuh pergerakan ekonomi kita ditopang kegiatan domestik. Terutama konsumsi dalam negeri.
Maka, ketika Terdapat badai yang datang dari luar, sapuannya Tak sehebat bila ekonomi kita sepenuhnya menggantungkan ekspor. Jadi, merawat dan Maju memberikan kemudahan dan Bonus bagi sektor domestik akan menjadi kunci. Bila Sekalian sudah dilakukan, badai yang paling sempurna sekalipun tetap Dapat kita jinakkan. Semoga.