Gaya Hidup Pejabat

GAYA hidup memang Area privat. Ia menjadi hak setiap orang, asal Tak mengganggu orang lain. Tetapi, Area privat itu Dapat menjadi urusan publik bila menyangkut pejabat publik. Gaya hidup pejabat bukan sekadar ranah privat karena Terdapat hak publik yang melekat dalam kehidupan pejabat.

Kehidupan pejabat disokong publik. Gaji mereka diambil dari pajak rakyat. Karena itu, gaya hidup pejabat pun Tak boleh lepas dari pengawasan publik. Rakyat Malah wajib kepo dengan kehidupan pejabat karena Terdapat hak publik Kepada Mengerti, digunakan Kepada apa saja Fulus rakyat tersebut.

Dalam spirit seperti itulah, teguran Presiden Joko Widodo terhadap gaya hidup pejabat amat relevan. Jokowi menyindir para pejabat yang sering bepergian ke luar negeri Demi kondisi negara sedang terdampak oleh krisis Dunia. Terlebih, perjalanan para pejabat ke luar negeri itu dipamerkan lewat akun Instagram mereka.

Padahal, kata Jokowi, Indonesia sudah punya berbagai destinasi wisata yang sangat bagus. Kenapa dalam situasi krisis Dunia seperti ini malah berbondong-bondong keluar negeri? “Dipamer-pamerin di Instagram, apalagi pejabat,” ujar Jokowi dalam sambutannya pada acara pengarahan Presiden RI kepada seluruh menteri/kepala lembaga, kepala daerah, pimpinan BUMN, pangdam, kapolda, dan kajati, di Jakarta, tengah pekan ini.

Cek Artikel:  Kepala Daerah Tukang Stempel

Kepala Negara Lampau mencontohkan apa yang ia lakukan. “Saya diundang ke luar negeri mungkin setahun Dapat lebih dari 20 undangan. Saya datang paling dua atau tiga. Betul-betul saya rem, ini Terdapat manfaat konkret atau enggak karena juga keluar Fulus kita ke luar (negeri) itu,” tegasnya.

Menurut Presiden, kondisi-kondisi seperti ini harus diberitahukan kepada masyarakat. Tujuannya mengajak masyarakat mengutamakan kunjungan ke destinasi wisata di dalam negeri. Kalau pejabat berbondong-bondong ke luar negeri Lampau masyarakat mengikuti hal serupa, devisa kita pun ikut lari ke luar negeri.

Terdapat dua hal yang saya tangkap dari pesan Presiden kepada pejabat itu. Pertama, jadi pejabat mesti memberikan teladan kepada publik Kepada bergaya hidup sederhana. Apalagi, dalam situasi ‘paceklik’ ekonomi akibat naiknya harga-harga, pejabat mesti Mempunyai ketajaman sense of crisis. Mesti Mempunyai empati.

Hobi jalan-jalan ke luar negeri Lampau dipamerkan di media sosial bukan saja miskin empati, melainkan malah juga melukai hati publik. Ditambah situasi perekonomian masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari hantaman krisis ekonomi. Aksi itu serasa luka di atas luka. Luka yang digarami.

Cek Artikel:  Gemol, Judol, dan Pinjol

Hal kedua, kritik Kepala Negara yang disertai Teladan bagaimana Jokowi menyeleksi undangan ke luar negeri merupakan peringatan telak agar pejabat bersikap autentik. Pejabat itu harus satu kata dengan perbuatan. Pejabat dan pemimpin itu mesti menempatkan anjuran dan Fakta dalam satu tarikan napas.

Bagaimana mungkin pejabat Dapat mengajak rakyatnya Kepada mencintai destinasi pariwisata Indonesia, sedangkan ia sendiri kerap melancong ke mancanegara? Rakyat akan Menyaksikan dan mencatat apa yang telah dilakukan pejabat mereka. Ajakan hanya menjadi angin Lampau bila yang mengajak kerap mempertontonkan pelesiran ke luar negeri tanpa sedikit pun rasa malu.

Di Podium ini saya pernah menulis bagaimana gaya hidup Dapat menjadi cermin dari keserakahan yang Tak bertepi. Dari gaya hidup Dapat bermuara pada korupsi. Godaan Foya-foya yang Tak berujung Membikin rakyat harus Lalu membayar Kepada sesuatu yang Tak mengenal kata cukup.

Orang, juga sejumlah pejabat, kian tergoda berkiblat pada mazhab Kyrene yang didirikan Aristippus. Mazhab itu menawarkan ajaran Foya-foya sebagai tujuan kehidupan etis, tujuan hidup yang dianggap paling mulia dari setiap Orang. Sekalian tindakan Orang akan dianggap Bagus apabila tindakan tersebut mendatangkan kenikmatan yang berpangkal pada kesenangan.

Cek Artikel:  Jokowi tak Terlupakan

Orang yang bijaksana, kata pengikut mazhab itu, ialah Orang yang mencari kenikmatan sebesar-sebesarnya di dunia ini. Ironisnya, demi pencapaian itu, Orang harus rela melepaskan segala Kebiasaan, susila, dan etika, bahkan bila perlu Keyakinan yang dianggap membelenggu.

Foya-foya merupakan paham materialisme mekanistik, yang menganggap kenikmatan egoistis sebagai tujuan akhir kehidupan Orang. Paham seperti itu begitu sukar dibendung.

Inilah yang dikhawatirkan filsuf tersohor Plato. Ia sangat mengecam kekayaan dan kemewahan. Plato berpandangan setiap orang Dapat hidup sejahtera secara merata maka Orang perlu dan berkewajiban mengendalikan nafsu keserakahannya Kepada memenuhi Sekalian keinginan yang Melampaui kewajaran.

Sejalan dengan pandangan gurunya itu, filsuf Aristoteles menganggap kebutuhan Orang itu Tak terlalu banyak, tetapi keinginannyalah yang relatif Tak terbatas. Padahal, kebutuhan dan keinginan ialah dua sisi yang berbeda. Era kini, industri modern bekerja keras hingga sukses mengubah keinginan menjadi motif kebutuhan.

Peringatan Presiden kepada para pejabat sejalan dengan renungan Plato dan Aristoteles itu. Ajakan itu sangat relevan, Tak berlebihan, bahkan mesti dijalankan.

Mungkin Anda Menyukai