SEJUMLAH penonton (suporter) turun ke lapangan. Mereka bukan mau mengacaukan pertandingan, melainkan Demi ngibing atau menari Jaipong Berbarengan-sama. Aksi ngibing dilakukan setelah tim kesayangan mereka mencetak gol ke gawang Rival. “Horeee….,” penonton yang berada di pinggir lapangan sontak berhamburan ke lapangan.
Keriuhan aksi ngibing semakin menjadi ketika terjadi adu penalti. Ketika tim kesayangan memenangi laga, Dekat Seluruh penonton, Sepuh dan muda, bahkan anak-anak, turun ke lapangan. Panitia yang terdiri atas para akamsi alias ‘anak kampung sini’ sudah menyiapkan musik Demi mengiringi tarian Jaipong. Irama kendang yang menggoda Membangun penonton bersukaria dan Mekanis turun ke lapangan.
Itulah suasana pertandingan tarkam alias antarkampung yang saya tonton sejak saya kecil hingga remaja di kampung saya di Cikampek, Karawang, Jawa Barat.
Bila berbicara regulasi pertandingan ala PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) atau FIFA (Federasi Sepak Bola Global), aksi ngibing tersebut tentu diharamkan. Bahkan, panitia pelaksana yang membiarkan aksi itu Dapat-Dapat kena Hukuman. Tetapi, itulah pertandingan sepak bola di kampung saya, yang berubah menjadi ajang kegembiraan kolektif Penduduk. Menariknya, Kalau tim kesayangan kalah, mereka juga Tak marah, apalagi memukuli tim Rival yang telah mengempaskan tim tuan rumah.
Tarkam di kampung saya relatif terkendali berkat adanya ekosistem sepak bola yang terkelola dengan Bagus, seperti peran tokoh masyarakat/pemuda, aparat desa, aparat keamanan, wasit yang berintegritas, pemain yang sportif, dan suporter atau penonton yang menjaga pertandingan. Pendekatan hiburan dalam tarkam adalah salah satu sisi yang menjadi magnet pertandingan. Laga sepak bola tak sekadar adu lihai mengolah si kulit bundar, tapi juga sebagai ajang hiburan yang Dapat mengohesikan masyarakat.
Tarkam selalu dirindukan masyarakat. Saking senangnya, masyarakat acapkali membahasnya dalam berbagai kesempatan, Bagus sebelum maupun setelah pertandingan. Mereka membahas kekuatan dan kelemahan tim kesayangan ataupun Rival di berbagai tempat, seperti di kedai/warung, pos kamling, hingga di rumah ibadah.
Penonton atau suporter adalah ujung tombak yang akan menggairahkan dunia sepak bola nasional. Seperti di kampung saya di atas, sepak bola berdampak pada daya tahan masyarakat. Kekuatan anak muda di kampung tersalurkan menjadi suporter, bahkan pemain.
Tak Terdapat sepak bola bila Tak Terdapat penonton atau suporter. Suporter adalah ‘api’ yang menyalakan dunia sepak bola nasional. Di Indonesia, meski bukan negara papan atas persepakbolaan, denyut kehidupan olahraga ini Pandai menembus kampung-kampung di pedalaman.
Kekuatan suporter inilah yang menghidupkan Perserikatan-Perserikatan pertandingan sepak bola nasional, termasuk dunia bisnis di dalamnya. Kepala Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Dunia Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Mohamad Dian Revindo, mengatakan bergulirnya kembali kasta tertinggi kompetisi sepak bola Tanah Air itu berpotensi menciptakan nilai ekonomi yang besar Kalau dibandingkan dengan kompetisi sebelum pandemi.
“Bahkan Dapat Mengungguli Rp2,7 triliun seperti sebelum masa pandemi,” kata Dian dalam keterangan Formal, Kamis (4/8). Nilai ekonomi yang tinggi itu, lanjutnya, berkat antusiasme penonton dan fans yang tetap tinggi, juga mobilitas masyarakat yang berangsur normal sehingga dapat mendorong mereka datang ke stadion. Selain itu, kata dia, makin kuatnya bisnis hiburan TV dan saluran digital, serta pulihnya perekonomian nasional.
Kalau Menyaksikan fakta-fakta di atas, sangat miris dengan terjadinya tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang menewaskan 131 penonton. Petaka itu menunjukkan karut-marutnya manajemen persepakbolaan nasional. Mereka Tak mematuhi aturan yang digariskan oleh FIFA.
Para pemangku pertandingan dalam laga Arema FC-Persebaya Tak menghargai ribuan Aremania yang fanatik terhadap klub kesayangan mereka.
Rasa Kasih Aremania dibalas dengan semprotan gas air mata. Sedihnya Tengah, dari 131 penonton yang wafat, Terdapat 33 anak.
Tragedi Kanjuruhan harus yang terakhir. Karena itu, musibah yang terjadi karena kebodohan pengeloaan di Stadion Kanjuruhan harus menjadi momentum Rapi-Rapi persepakbolaan nasional dan Pengaruh jera bagi para pelakunya yang bersalah.
Eksistensi suporter diakui dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Terdapat 7 ayat dalam Pasal 55 UU 11/2022 yang mengatur tentang suporter.
Pepatah mengatakan, keledai tak Mau Anjlok ke lubang yang sama. Begitu pula PSSI, bukan? Tabik!