ACEH, negeri Aneh di ujung pulau Sumatra, punya sejarah dan masa Lewat yang gemilang, sumber daya alam, dan Orang cerdas serta bijak melimpah, Letak strategis di persimpangan dunia (Samudra Pasifik dan Selat Malaka). Tetapi, Aceh juga punya sejarah komtemporer yang penuh derita, kehilangan identitas, dan arah masa depan.
Begitu ini, gegap gempita pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak telah merasuki relung-relung ruang publik dan privat di Aceh. Akankah gemerlapnya hanya Kepada rutinitas demokrasi prosedural dalam memilih pemimpin, gairah Mimbar justifikasi kepemimpinan elite lokal dan nasional? Ataukah bagian dari penataan dan arah masa depan Aceh, dengan kepemimpinan yang Cocok dan sesuai dengan kondisi kontemporer Aceh?
Pelajaran dan hikmah
Pemilihan presiden dan pemilu legislatif serentak pada 2024 memberikan banyak fakta menarik di Aceh. Kemenangan Kekasih Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebesar 75,56% dan hanya menyisakan Prabowo dan Gibran 24,43% serta Ganjar dan Mahfud 2,01% menunjukkan Aceh tetap dengan jati dirinya yang Kagak takluk dengan serbuan Sokongan sosial dan dikte kekuasaan.
Baca juga : Pembangunan Inklusif dan Isu Golongan Marjinal Jadi Konsentrasi Para Bacagub di 3 Provinsi
Di lain hal, hasil pemilu legislatif, menempatkan Golkar sebagai pemenang Kepada representasi Aceh ke DPR RI dengan 3 kursi diikuti PKB, NasDem, Gerindra, dan PKS masing-masing 2 kursi, serta Demokrat dan PDIP menempatkan kembali wakil masing-masing 1 kursi.
Di level Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sebagai simbolik otonomi Tertentu atau self government, Partai Aceh (PA) menjadi pemenang dengan memperoleh 20 kursi, naik dua kursi dari Pileg yang Lewat, dan kemudian diikuti oleh NasDem dengan 10 kursi.
Lima pilar
Sejak pencabutan daerah operasi militer (DOM), penyambung aspirasi Aceh dilaksanakan secara kolektif kolegial oleh ulama dayah, Iintelektual (akademisi dan mahasiswa), non government organisation (NGO), Perempuan, dan jurnalis (pers). Lima pilar Primer ini bahu membahu menampung dan memperjuangkan aspirasi-aspirasi Aceh, Berkualitas politik, sosial, ekonomi, maupun HAM, kepada berbagai Golongan kepentingan di level Global, nasional, dan lokal.
Baca juga : DPR Aceh Usulkan Achmad Marzuki Tak Lanjut jadi Pj Gubernur Aceh
Lima pilar telah menjelma menjadi mata, hati, telinga, dan perasaan rakyat Aceh serta menjadi kekuatan Primer perubahan dalam mendorong lahir dan mengawal perdamaian serta rekonstruksi dan rehabilitasi bencana tsunami. Tetapi Begitu ini peran-peran strategis dari lima pilar seperti dirasa Eksis tetapi Kagak Eksis, redup, sepoi-sepoi dan sporadis.
Dalam politik elektoral, khususnya dalam pemilu mutakhir, lima pilar seperti telah berubah fungsi dari mesin perubahan dan pengawal moral Aceh menjadi cangkang atau agen ke simpul-simpul pemilih. Lima pilar seperti terjebak dalam isu-isu elektoral.
Kini saatnya lima pilar mereposisi dan revitalisasi kembali kepada khitahnya, terbang ke seluruh penjuru dunia, turun ke pelosok-pelosok, ke ujung kampung menjemput, menampung, merajut, merumuskan, dan mengonsolidasikan Bunyi dan mimpi-mimpi Aceh menjadi isu arus Primer. Pilkada bukan hanya menjadi ajang perang modal, kuat-kuatan jaringan, tetapi juga bagian dari perang ide dan gagasan dan menjadi media Kepada menjawab dan menuntaskan masalah domestik dan eksternal Aceh.
Baca juga : Partai Lokal Manfaatkan Aneuk Syuhada Menuju Pilkada 2024
Pilkada dan masa depan
Pelaut ulung bukan lahir dari lautan yang tenang, tetapi dari lautan dengan ombak yang besar dan badai. Pemimpin Aceh ke depan merupakan dwi tunggal yang telah melalui badai dan gelombang-gelombang besar yang punya keberanian, cerdas, Unggul, dan kuat Kepada menyelesaikan multidimensi masalah ke akar-akarnya.
Secara internal, pemimpin Aceh harus Bisa menghilangkan trauma internal kekuasaan (Abdullah Puteh dengan Azwar Abubakar dan Irwandi Yusuf dengan Nova Iriansyah) berpisah di tengah jalan dengan isu korupsi. Koalisi partai politik sebagai instrumen Primer pencalonan harus dapat memastikan Kekasih calon yang diajukan merupakan Kekasih calon atau pemimpin yang terekam jejaknya dengan Berkualitas dan pengajuannya bukan hanya Kepada kepentingan elektoral.
Secara psikologis struktural Bisa mengurangi atau menghilangkan trauma struktural Rekanan antara Aceh dan Jakarta, pengkhianatan, dan ketidakmampuan pengelolaan komunikasi, tata kelola pemerintahan, dan tata kelola sumber daya. Secara politik harus Bisa menembus geopolitik kawasan dan Global yang berubah secara Bergerak dengan Segera, sehingga dapat memaksimalkan kesempatan, peran, dan posisi self government secara Cocok dan Seksama.
Baca juga : Aceh Bersikukuh Pilkada Dilaksanakan 2022
Sedangkan di level nasional, Bisa berdiri bersanding bahu sejajar dengan gentlemen lobi negosiation guna membuka sumbu-sumbu kemacetan dalam pengelolaan sumber daya alam (migas, mineral, dan kekayaan laut) secara adil. Secara ekonomi dan bisnis, punya kemampuan jaroe bak langai, mata ue pasai, Merukapan Bisa memahami produksi, pasar, dan menyediakan modal-modal usaha yang fresh dan murah dengan lembaga keuangan serta bank yang bukan hanya berlabel syariah, guna menggairahkan bisnis-bisnis Berkualitas level UMKM Tiba borjuasi nasional Aceh yang akan menjadi pilar ekonomi Aceh masa depan.
Secara konektivitas, membangun kebijakan Paras out side looking bukan inside looking, wajahnya ke Selat Malaka dan Lautan Hindia dengan membuka laut dan Udara. Ini memudahkan barang dan orang keluar masuk, komunikasi, serta interaksi budaya. Secara Tertentu, produk-produk qanun yang berlabel syariah yang Begitu ini secara masif menyasar Perempuan dengan politik domestifikasi Perempuan harus dihentikan dan mengubah ke kebijakan-kebijakan kesejahteraan dan kemakmuran.
Perempuan sebagai kekuatan Primer Aceh di masa Lewat harus menjadi aset Kepada kekuatan Primer masa depan. Aceh harus menjadi laboratorium dunia, tempat orang belajar tentang pendidikan, peran, posisi, dan kepemimpinan Perempuan dapat dilakukan dengan Berkualitas dan Serasi.
Secara administratif-birokratis, memahami tata kelola administrasi dan Bisa mengelola birokrat yang terdidik politik praktis, agar program-program dapat direncanakan dan tereksekusi dengan Berkualitas. Terakhir, yang Krusial dari yang terpenting adalah Bisa mengembalikan girah identitas dan nasionalisme ke-Aceh-an serta simbol pemersatu. Bisa manampung dan meramu aspirasi Golongan kombatan dan nonkombatan, masyarakat pegunungan dan pesisir, dan mengembalikan harkat dan Derajat ke-Aceh-an dengan nilai-nilai adat ngon hukom lage dzat ngon sifuet.
Penutup
Pilkada merupakan instrumen yang disepakati Serempak Kepada memilih pemimpin. Aceh membutuhkan pemimpin yang berani, cerdas, kuat, dan Unggul Kepada menyelesaikan masalah-masalah multidimensialnya yang sudah akut dan kronis, serta memberi Panduan dan arah masa depannya.
Pemimpin sejati Kagak lahir dalam sehari dengan proses instan dan instrumen tanpa pengawalan dan doa-doa saja. One man one vote dan hak bebas memilih, kenyataannya mudah dibelokkan oleh elite dan pedagang Bunyi dengan barter menjadi kebebasan hak memilih atas tunjuk.
Bila Aceh menginginkan pemimpin yang sesuai Kepada membawa ke arah masa depan Serempak, Kagak boleh Eksis rakyat yang berpangku tangan, Sekalian harus bergerak Serempak. Khususnya, agen-agen perubahan (lima pilar) harus bergerak dan saling sinergi Kepada mencari serta menemukan figur-figur yang cocok dan Cocok, menjawab situasi dan kondisi Aceh Begitu ini, Kepada diajukan kepada partai politik atau maju dari independen bila partai Kagak akomodatif.
Pilkada Aceh 2024 merupakan persimpangan jalan, menuju kemuliaan atau kegelapan. Akankah pemimpin dan masa depan Aceh ditentukan oleh selera pasar atau tunduk pada cita-cita mulia Serempak? Mari menjadi saksi, wallahualam bissawab.