PENGAMAT ekonomi Yanuar Rizki menilai bangkrutnya raja tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk. atau Sritex mengindikasikan kondisi industri tekstil dalam negeri melemah. Perusahaan tekstil ternama yang sudah berdiri Nyaris 60 tahun itu dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Kota Semarang pada Senin (21/10) Lewat.
Ia berpandangan Sritex Kagak Pandai menghadapi tekanan Dunia dari kondisi pandemi covid-19 dan perang Rusia-Ukraina yang mempengaruhi penurunan ekspor tekstil dan garmen. Hal ini diperparah dengan gempuran produk-produk impor ilegal yang masuk ke Indonesia.
“Kondisi sektor tekstil kita melemah. Ini diikuti oleh maraknya impor baju bekas ilegal,” ujar Yanuar kepada Media Indonesia, Kamis (24/10)
Yanuar mengaku Kagak mengetahui Niscaya penyebab bangkrutnya Sritex. Tetapi, berdasarkan putusan PN Semarang, penetapan pailit itu setelah pengadilan mengabulkan permohonan salah satu kreditur Sritex Ialah PT Indo Bharat Rayon, yang meminta pembatalan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang sudah Eksis kesepakatan sebelumnya. Sritex dikabarkan Mempunyai utang jumbo hingga ratusan miliar rupiah kepada para kreditur.
Sritex Mempunyai empat entitas anak yang mendukung bisnisnya, tiga di antaranya yakni PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, PT Primayudha Berdikari Jaya juga dinyatakan pailit oleh PN Semarang.
Yanuar menjelaskan pelemahan industri manufaktur sudah terlihat dari jauh hari. Pada tahun Lewat, sejumlah perusahaan tekstil dan garmen telah tutup di berbagai Daerah seperti di Banten, Tangerang, Pekalongan, Sukabumi, dan lainnya. Yanuar mengatakan industri tekstil dan garmen semakin tertekan dari sisi suplai dan juga dari sisi demand atau permintaan yang menurun karena daya beli yang berkurang.
Secara Standar, lanjutnya, produk Indonesia kalah saing dengan negara lain. Tiongkok, kata Yanuar, mengekspor produk-produk dengan harga di Rendah pasar dalam negeri. Plus marjin biaya distribusi yang jauh dibawah harga pokok produksi di Tanah Air. Produk impor pun lebih kompetitif dan leluasa menguasai pasar dalam negeri.
“Ini yang Membikin rendahnya daya saing produk Indonesia. Impor Pakaian jadi jauh lebih murah dari beli barang di dalam negeri,” ucapnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Standar Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Subandi menuding selama ini pemerintah acuh terhadap kondisi industri tekstil dan garmen dalam negeri yang semakin terpuruk. Ia menegaskan Semestinya pemerintah turun tangan mencegah terjadinya kebangkrutan perusahaan-perusahaan tekstil di dalam negeri melalui pembinaan terhadap industri dari kementrian terkait.
“Sekadar sayangnya kan pemerintah masa bodoh saja, mau bangkrut, ya bangkrut saja. Yang seperti Sritex mungkin Eksis banyak hanya Kagak terekspos ke publik saja,” ucapnya.
Subandi mendorong Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan kementerian terkait lainnya Konsentrasi memberikan perlindungan bagi industri tekstil secara jangka panjang dan melakukan pengetatan impor barang.
“Pemerintah harus Pandai memastikan apakah bahan baku yang dibutuhkan perlu diberi relaksasi atau diberi Pengecualian agar industri Maju berproduksi. Lewat, bagaimana memastikan pengusaha menjual produknya dengan Fasih sesuai regulasi,” pungkasnya. (H-2)