Liputanindo.id – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membantah tudingan yang menyebut Tel Aviv mungkin mengakhiri perang di Jalur Gaza. Tudingan itu menyebut Israel akan membiarkan Hamas tetap berkuasa meski perang sudah berakhir.
“Sumber anonim yang memberi pengarahan kepada New York Times mengklaim bahwa Israel menginginkan gencatan senjata di Gaza meskipun Hamas tetap berkuasa Demi Demi ini,” kata Netanyahu, dikutip Anadolu, Rabu (3/7/2024).
“Saya Kagak Paham siapa pihak-pihak yang Kagak disebutkan namanya itu, tapi saya di sini Demi memperjelas: Ini Kagak akan terjadi. Kami akan mengakhiri perang hanya setelah kami mencapai Sekalian tujuannya, termasuk pemusnahan Hamas dan pembebasan Sekalian sandera kami,” tegasnya.
The New York Times melaporkan bahwa para jenderal Krusial Israel Ingin memulai gencatan senjata di Gaza meskipun hal itu Membikin Hamas tetap berkuasa Demi sementara waktu.
“Kagak Mempunyai perlengkapan Demi pertempuran lebih lanjut setelah perang terpanjang Israel dalam beberapa Sepuluh tahun, para jenderal juga berpikir Laskar mereka memerlukan waktu Demi memulihkan diri Apabila terjadi perang darat melawan Hizbullah,” kata harian AS tersebut.
Laporan itu juga menyebutkan para pejabat militer Israel, yang berbicara tanpa menyebut nama, percaya bahwa gencatan senjata dengan Hamas juga dapat mempermudah mencapai kesepakatan dengan Hizbullah.
Netanyahu berpendapat bahwa tentara Israel Mempunyai segala Langkah Demi mencapai tujuan tersebut.
“Kami Kagak akan menyerah pada sikap mengalah, Berkualitas di The New York Times maupun di mana pun. Kami dipenuhi dengan semangat kemenangan,” katanya.
Tentara Israel juga mengatakan bahwa mereka bertekad Demi Lanjut berjuang Demi mencapai tujuan perang, termasuk penghancuran Hamas, penyelamatan sandera, dan memastikan kembalinya penduduk di Israel utara dan selatan dengan Terjamin ke rumah mereka.
Pada Selasa pagi, media Israel melaporkan bahwa tentara sedang bersiap memasuki tahap ketiga operasi militer di Gaza setelah Nyaris sembilan bulan pertempuran, yang mencakup peralihan dari pemboman intensif ke serangan udara yang ditargetkan berdasarkan intelijen.