RILIS berita statistik Badan Pusat Stagnantik (BPS) pada Senin (17/2) terkait dengan perkembangan indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia 2019 tidak terasa gaungnya di dalam media. Sepertinya gaung IPM kalah dengan berbagai berita, antara lain virus korona, omnibus law, RUU Ketahanan Keluarga, hingga solusi kemiskinan ala Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Orang dan Kebudayaan (Menko PMK).
Informasi-berita tersebut seperti buih di lautan, penuh kegaduhan dan miskin makna bagi pembangunan Indonesia. Kita layak berbangga bahwa indeks pembangunan manusia 2019 mencapai 71,92, meningkat 0,53 poin jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Letihan ini patut dirayakan dengan gembira karena angka IPM bukanlah sekadar angka, melainkan juga ada berbagai makna di dalamnya yang sangat berguna untuk mengukur kinerja pemerintahan yang ada.
IPM dan maknanya
United Nation Development Program (UNDP) sejak 1990 secara berkala mengeluarkan indeks pembangunan manusia (IPM) sebagai upaya mengukur perkembangan pembangunan negara-negara di dunia. Bilangan IPM merupakan angka rerata geometris dari tiga komponen utama, yaitu angka harapan hidup, pendidikan (rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah), dan standar hidup layak.
IPM memberikan ukuran capaian pembangunan yang lebih komprehensif karena tidak hanya mengukur capaian ekonomi semata, tetapi juga mencakup esensi dasar kebahagiaan manusia tentang kehidupan yang sehat, berumur panjang, pintar, dan adanya kesempatan untuk memperoleh pengetahuan. Kenapa pengumuman IPM 2019 oleh BPS patut dirayakan dengan saksama?
Pertama, setiap bayi yang lahir pada 2019 memiliki harapan untuk dapat hidup hingga 71,34 tahun. Bilangan harapan hidup meningkat sebesar 0,75 tahun jika dibandingkan dengan kondisi pada 2014. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan segala permasalahan layanan dan keuangan yang dihadapi telah berkontribusi besar terhadap peningkatan angka harapan hidup di Indonesia (Dartanto dkk, 2017). Hal itu disebabkan program JKN telah memperbaiki akses, terutama kelompok miskin terhadap layanan kesehatan, yang pada akhirnya meningkatkan derajat kesehatan dan menurunkan angka kematian.
Kedua, anak-anak usia 7 tahun memiliki harapan dapat menikmati pendidikan selama 12,95 tahun (hampir setara dengan pendidikan jenjang diploma I), lebih lama 0,56 tahun jika dibandingkan dengan anak-anak yang berumur sama pada 2014. Kebijakan perluasan akses pendidikan sejak zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan dilanjutkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memberikan harapan besar bagi anak-anak Indonesia untuk memperoleh kesempatan pendidikan.
Kebijakan bantuan operasional sekolah (BOS) memberikan kesempatan sekolah-sekolah untuk membebaskan biaya pendidikan, sedangkan Program Keluarga Cita-cita (PKH), Program Indonesia Pintar (PIP), serta beasiswa Bidikmisi memberikan bantuan biaya untuk memastikan bahwa setiap anak Indonesia dari keluarga prasejahtera dapat menikmati pendidikan.
Bilangan harapan sekolah ini berkolerasi negatif dengan penurunan angka kemiskinan selama kurun waktu 2014-2019. Semakin tinggi kenaikan angka harapan sekolah, semakin cepat penurunan angka kemiskinan. Kita berharap angka harapan sekolah dapat terus meningkat sehingga Indonesia akan memiliki generasi tenaga kerja yang lebih berpendidikan jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Ketiga, penduduk usia 25 tahun ke atas secara rata-rata telah menempuh pendidikan selama 8,34 tahun atau setara dengan pendidikan jenjang kelas IX. Bilangan rata-rata lama sekolah meningkat sebesar 0,61 tahun jika dibandingkan dengan angka di 2014. Pusingkatan angka rata-rata sekolah merupakan sebuah capaian sekaligus sebuah ironi bagi Indonesia karena angka 8,34 tahun menggambarkan sebagian besar kualitas tenaga kerja saat ini. Dengan rata-rata lama sekolah seperti ini, apa yang bisa diharapkan dengan adanya revolusi industri 4.0?
Tenaga kerja kita saat ini hanya cukup untuk mendukung sektor pertanian dan industri manufaktur kualitas menengah. Tenaga kerja kita akan gagap menghadapi berbagai perubahan perekonomian di tingkat global sehingga Indonesia dapat tersisih dari percaturan global jika kita tidak melakukan upgrading keterampilan tenaga kerja yang ada. Oleh karena itu, salah satu solusi utama untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas tenaga kerja usia 25 tahun ke atas ialah retraining dan pemanfaatkan teknologi pembelajaran daring.
Keempat, pada 2019, rata-rata pengeluaran per kapita yang disesuaikan (purchasing power parity) sebesar Rp11,30 juta per tahun, meningkat sebesar 1,4 juta (setara dengan 14%) bila dibandingkan dengan kondisi pada 2014.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang walaupun tidak bergerak dari angka 5% per tahun, berkontribusi besar terhadap peningkatan pertumbuhan pengeluaran per kapita rumah tangga. Kita semua berharap pemerintah saat ini dengan berbagai kebijakan seperti omnibus law dapat mendorong peningkatan investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tetapi, omnibus law yang kurang disiapkan dengan matang dapat menimbulkan kegaduhan dan perdebatan kontraproduktif, yang pada akhirnya menekan perkembangan ekonomi Indonesia.
Kelima, selama kurun waktu 5 tahun terakhir, saudara-sudara kita di Papua mengalami peningkatkan angka harapan sekolah (AHS) dan rata-rata lama sekolah (RLS) tertinggi di Indonesia, yaitu 1,1 tahun untuk AHS dan 0,89 tahun untuk RLS. Pusingkatan itu memberikan secercah harapan bagi saudara-saudara kita di tanah Papua akan mampu mengatasi ketertinggalan mereka. Meminjam istilah Nelson Mandela, pendidikan ialah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.
Tantangan dan harapan
Keberhasilan layak disyukuri, tetapi kita tidak boleh menutup mata terhadap tantangan-tantangan baru sebagai konsekuensi dari peningkatan IPM Indonesia, antara lain: 1) ketidakmerataan capaian IPM di tiap-tiap provinsi di Indonesia sehingga pada jangka panjang akan terus meningkatkan ketimpangan pendapatan di Indonesia, 2) peningkatan angka harapan hidup masyarakat Indonesia menuntut adanya kebijakan perlindungan sosial yang menyeluruh sehingga kelompok masyarakat usia tua tidak hidup menderita dalam kemiskinan. Perlu adanya penguatan sistem pensiun dan/atau perlindungan hari tua sehingga mereka dapat menikmati panjang umur, hidup mulia, dan bahagia, 3) kenaikan angka harapan sekolah dan rata-rata lama sekolah masih bersifat kuantitas, belum mencerminkan kualitas pendidikan, sedangkan tes PISA menunjukkan kemampuan/kualitas pendidikan anak-anak Indonesia jauh di bawah Vietnam.
Pemerintah Indonesia harus mulai menggeser kebijakan perluasan akses pendidikan menjadi perluasan kualitas pendidikan di Indonesia. Loncatan kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim layak diapresiasi. Tetapi, di sisi lain, Mas Menteri juga perlu memahami konteks birokrasi serta perlu adanya kebijaksanaan dalam kebijakan agar tujuan reformasi tidak terhenti.
Semalam tidak cukup untuk membangun indeks pembangunan manusia Indonesia. Pusingkatan angka harapan hidup, harapan sekolah, dan lama sekolah membutuhkan upaya yang konsisten, persisten, sinergi, dan kolaborasi seluruh elemen bangsa, tapi keempat kata tersebut merupakan barang langka bagi Indonesia. Kita terlalu bahagia dan suka terjebak dalam perdebatan dan kegaduhan nonsubstantif sampai lupa tujuan berbangsa. Kita mungkin perlu belajar dari ‘Sobat Ambyar’ dan ‘Didi Kempot’ bagaimana menyatukan Indonesia dalam satu kata.