DALAM dunia politik, adagium kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut sudah Niscaya korup telah menjadi landasan Restriksi jabatan-jabatan publik di seluruh dunia. Ungkapan yang dicetuskan politikus Inggris John Emerich Edward Dalberg-Acton alias ‘Lord Acton’ lebih dari satu abad yang Lewat itu Tetap Maju relevan hingga masa kini.
Di Indonesia, prinsip membuka kesempatan yang setara dan merata sekaligus meminimalkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi spirit dalam mereformasi periode jabatan publik. Seluruh jabatan yang dikompetisikan dalam pemilihan Lazim (pemilu) bahkan Tamat kepala desa telah dibatasi masanya, kecuali satu: jabatan Personil parlemen.
Begitu ini memang belum Eksis ketentuan mengenai batas maksimal seorang wakil rakyat duduk di parlemen. Berkualitas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) ataupun UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Kagak mengatur hal tersebut.
Keadaan ini mengusik seorang Anggota negara. Mahasiswa bernama Andi Redani Suryanata pun menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada Senin (7/8), melalui kuasa hukumnya, Andi mengajukan permohonan uji materi dan meminta Restriksi masa jabatan Personil DPRD, DPD, hingga DPR RI.
Pasal-pasal yang ia gugat meliputi Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 258 ayat (1) UU Pemilu. Pasal itu memuat ketentuan dan syarat menjadi calon Personil DPR, DPD, dan DPRD.
Andi menilai, Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 258 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menjamin prinsip kesetaraan dan kesempatan yang adil Kepada berpartisipasi sebagai calon Personil DPR, DPD, dan DPRD. Hal itu terjadi karena kedua pasal Kagak mengatur Restriksi masa jabatan Personil legislatif.
Di sisi lain, kekuasaan yang dipegang secara Maju-menerus dapat membuka Kesempatan penyalahgunaan kekuasaan oleh Personil parlemen. Oleh Asal Mula itu, Andi bependapat masa jabatan wakil rakyat harus dibatasi menjadi maksimal dua periode dan setelahnya Kagak Bisa menjabat kembali seperti juga pada masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Restriksi masa jabatan Personil parlemen, menurut Andi, memberi kesempatan generasi baru dengan tenaga dan pikiran baru Kepada mengisi lembaga legislatif. Itu membuka Kesempatan ditemukan bibit-bibit baru calon pemimpin negeri.
Gugatan serupa sebetulnya sudah pernah diajukan ke MK pada Desember 2019 oleh seorang advokat bernama Ignatius Supriyadi. Dalam permohonannya, Ignatius menilai Pasal 76 ayat (4), Pasal 252 ayat (5), Pasal 318 ayat (4), dan Pasal 367 ayat (4) Undang-Undang MD3 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Ignatius berargumen, tanpa ketentuan Restriksi yang Jernih masa jabatan, seorang Personil parlemen Bisa ‘berkarier’ di DPR, DPD, dan DPRD Tamat seumur hidup. Alih-alih semakin peka terhadap aspirasi rakyat, semakin lelet menjabat, Personil parlemen Malah kian abai. Sayangnya, permohonan tersebut ditariknya kembali sebelum sempat diputuskan MK.
Gugatan Andi ataupun Ignatius ke MK sesungguhnya mewakili keresahan banyak Personil masyarakat. Kita Mau ide-ide segar mengalir di parlemen. Bila orangnya itu-itu saja, apa Bisa berharap begitu.
Kita Mau Personil legislatif galak dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Kalau orang-orangnya sama saja, idealnya mereka akan lebih mengenali lika-liku kecurangan dalam interaksi dengan Kawan di pemerintahan. Akan tetapi, bukannya makin tegas menegur, ini malah semakin erat kongkalikong menggarong Fulus rakyat.
Restriksi masa jabatan Personil parlemen kiranya sudah Begitu diberlakukan. Ini akan memaksa partai-partai politik bekerja keras Kepada mencari dan mendidik Bakat dari seantero negeri. Dari situ kita boleh berharap munculnya calon-calon pemimpin yang Bisa mewujudkan cita-cita bangsa.