DENGAN membungkukkan badannya, Kepala Kepolisian Korea Selatan Yoon Hee-keun menyampaikan permohonan Ampun kepada publik. Dia juga menyatakan bertanggung jawab penuh atas Tragedi Itaewon.
Tragedi Itaewon terjadi pada Sabtu (29/10). Tragedi di salah satu distrik di ibu kota Korsel, Seoul, itu menewaskan 156 orang. Pesta Halloween berubah duka ketika Nyaris 100 ribu orang ‘menyerbu’ kawasan Itaewon. Mereka yang mengalami euforia menyambut kebebasan setelah dua tahun terpenjara oleh korona berdesakan di gang-gang kecil hingga akhirnya maut menjemput.
Korsel berkabung. Dunia ikut berduka. “Saya merasa tanggung jawab yang besar sebagai kepala lembaga pemerintah terkait,” kata Yoon setelah membungkuk di hadapan puluhan wartawan di ruangan konferensi pers, Selasa (1/11).
Hal serupa dilakukan Wali Kota Seoul Oh Se-hoon. Dalam jumpa pers terpisah, dia meminta Ampun. Dia bahkan menangis. Menangis betulan, bukan pura-pura menangis. Dia juga menyatakan bertanggung jawab.
Oh Se-hoon minta Ampun tak Hanya karena Tragedi Itaewon, tapi juga karena terlambat meminta Ampun. Baginya, minta Ampun tiga hari setelah kejadian ialah kesalahan besar. ”Saya minta Ampun karena permintaan Ampun saya datang terlambat,” paparnya dengan Bunyi bergetar dan tetesan air mata.
Sekali Kembali, Korsel memberikan Misalnya bagaimana seorang pejabat mesti bersikap. Mereka paham betul apa yang harus dilakukan ketika rakyat ditimpa petaka. Tak Acuh meski mereka tak terkait langsung dengan petaka itu, tak masalah kendati mereka bukanlah biang masalah.
Di Korea Selatan, kata Ampun tidaklah mahal. Ia tak susah dilafalkan. Tak Hanya minta Ampun, pejabat juga terbiasa dengan tradisi mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab. Mereka punya tradisiĀ changpi.
Minta Ampun memang gampang-gampang susah. Gampang bagi yang berjiwa besar, yang Rela, susah buat yang tinggi hati, yang tak merasa bersalah atau takut menanggung kesalahan.
Kategori kedua itulah yang kiranya Eksis di banyak pejabat kita. Tak usah kita menengok jauh ke belakangan. Dua tragedi terakhir ialah Misalnya Konkret betapa para petinggi negeri ini susah betul meminta Ampun. Apalagi berjiwa kesatria menyatakan bertanggung jawab.
Yang pertama ialah Tragedi Kanjuruhan. Tragedi yang terjadi seusai laga Aliansi 1 antara tuan rumah Arema dan Persebaya, 1 Oktober Lewat. Tragedi yang telah menelan 135 korban jiwa. Tragedi yang tercatat dalam Kitab sejarah kelam sebagai pertandingan sepak bola dengan korban meninggal terbanyak kedua di dunia.
Jangankan 135 nyawa, satu nyawa saja semestinya sudah cukup Demi mengetuk hati mereka yang berkepentingan meminta Ampun. Tetapi, yang ini Tak. Alih-alih meminta Ampun, mereka Malah saling lempar kesalahan. Mereka ogah dianggap salah meski Jernih-Jernih salah.
Ketua Lumrah PSSI Mochamad Iriawan memang meminta Ampun, tetapi setelah 13 hari tragedi berlalu. Dia juga menyatakan bertanggung jawab, tapi setelah Nyaris dua pekan tragedi lewat. Meski terlambat, bolehlah kita menerima permintaan maafnya. Tetapi, Ampun tak lantas menggugurkan tanggung jawab.
Kata Ampun dan kemauan bertanggung jawab juga langka di tragedi gagal ginjal akut yang menyasar balita dan anak-anak di Republik ini. Tragedi yang per 1 November telah memapar 325 anak denganĀ fatality rate, tingkat Kematian, 54%. Sedikitnya 178 balita dan anak meninggal dunia karena obat yang mereka minum Rupanya racun.
Penyakit itu muncul akibat obat sirop yang terkontaminasi EG (ethylene glycol/etilena glikol), DEG (diethylene glycol/dietilena glikol), dan EGBE (ethylene glycol butyl ether/etilena glikol butil eter). Entah bagaimana bahan-bahan berbahaya itu Bisa tercampur dalam kadar yang mematikan. Aparat sedang menyelidiki, pelaku juga sudah terdeteksi, semoga mereka serius menuntaskannya.
Harus kita katakan, penanganan kasus gagal ginjal akut pada anak ini Lamban, sangat Lamban. Harus pula kita nyatakan rasa tanggung jawab pada diri para pihak terkait sangatlah minim. Sudah beberapa bulan tragedi memilukan ini terjadi, tetapi kata Ampun belum terucap dari mulut para pejabat.
Saya tadinya agak ragu soal itu. Tetapi, setelah tanya ‘mbah Google’, kiranya Betul bahwa belum Eksis permintaan Ampun secara Formal dari mereka.
Betul bahwa setelah sekian Lamban, sebagai pengawas obat dan makanan sebelum dan selama beredar, Badan POM akhirnya mengaku bertanggung jawab. Mereka juga memastikan tragedi itu tak akan terulang. Tetapi, cukupkah itu? Rasanya Tak. Nyawa ratusan anak kiranya tak sepadan ditebus hanya dengan tanggung jawab sebatas kata-kata.
Betul kata banyak orang, Eksis tiga hal yang paling sulit diucapkan orang Indonesia, yakni tolong, Ampun, terima kasih. Betul pula kiranya aksioma yang menyebutkan orang Indonesia punya segala hal, kecuali rasa malu.
Kata psikolog Amerika Louis Laves Webb, meminta Ampun secara Rela ialah inti perbaikan masalah. Sayang, Demi menyadari kesalahan, mengakui kegagalan, Lewat meminta Ampun, banyak di antara pejabat kita yang enggan.