DUNIA semakin Sepuh tampaknya semakin absurd. Dunia tipu-tipu, kalau kata penyanyi sekaligus pencipta Tembang, Yura Yunita. Jagat yang penuh tipu daya, sarat kepalsuan. Yang Asli kerap tak dilirik, yang Imitasi malah laku. Yang punya prestasi tersembunyi, yang pintar ngelantur Bahkan diberi Podium.
Lihatlah Caesar Hendrik Meo Tnunay alias Nono yang baru-baru ini berhasil menyabet Pemenang pertama kompetisi matematika tingkat dunia, International Abacus World Competition, Abacus Brain 2022. Bocah berusia delapan tahun asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu secara gemilang mengalahkan Sekeliling 7.000 peserta dari berbagai negara.
Luar Standar sekali prestasinya. Nama bangsa yang ia harumkan, bukan sekadar nama dia dan keluarganya. Prestasi tinggi itu Bukan semata didapat dengan mengandalkan bakatnya di bidang matematika, tapi juga melalui ketekunan belajar dan perjuangan melawan keterbatasan ekonomi yang luar Standar.
Siapa menyangka bahwa Nono sedari umur lima tahun sudah Suka membaca Kitab-Kitab karya fisikawan Yohanes Surya. Siapa pula yang mengira ketika berusia enam tahun, Nono sebetulnya nyaris memenangi kompetisi yang sama, tapi kemudian hanya menggondol peringkat ke-3 karena Begitu itu listrik rumahnya Tewas dan jaringan internetnya lelet.
Nono, dengan segala keterbatasan dan keluguannya, sejujurnya sudah memenuhi kualifikasi sebagai inspirator. Tetapi, apakah kisah dan prestasi Nono itu serta-merta akan menginspirasi anak-anak di seantero Indonesia? Belum tentu. Eksposur Buat hal yang sesungguhnya amat positif tapi Bukan bikin heboh seperti itu sangatlah minim.
Harus diakui, hari ini ialah era kehebohan. Anda heboh maka Anda Eksis. Begitu mungkin kalo kita boleh memelesetkan ungkapan legendaris dari Rene Descartes, filsuf terkenal asal Prancis. Kini, bukan melulu pikiran yang diandalkan, melainkan kemampuan Membangun sesuatu menjadi ramai, ngehit, viral, dan lain-lain. Eksistensi seseorang Bukan Kembali dihitung dari seberapa hebat pikirannya, tapi seberapa heboh tindakan dan ucapannya.
Ruang-ruang media pun, Bagus konvensional maupun sosial, terlalu pelit Buat menghargai capaian anak-anak bangsa di bidang yang dianggap formal dan Bukan ngepop. Jangankan Nono yang tempat tinggalnya ribuan kilometer dari Jakarta. Anak-anak yang pernah menjuarai olimpiade matematika dan fisika tingkat Dunia, yang mungkin domisilinya tak jauh dari Ibu Kota, jarang pula mendapat lirikan dari media.
Kalaupun diberitakan atau disiarkan, ya, sekadarnya saja. Bahkan Buat Tiba Membangun orang menjadi kenal sosok-sosok Pemenang berpikir itu pun Bukan. Nono yang sehebat itu prestasinya, yang semenarik itu kisahnya, tetap saja Bukan akan Bisa mengalahkan popularitas Fajar Labatjo atau Fajar Sadboy, misalnya, yang mendadak Laku manis di layar kaca hanya gara-gara kepandaiannya merayu dan kisah Asmara monyetnya yang konon menyedihkan.
Terjadilah overexposure Buat orang-orang heboh, di satu sisi, dan peminggiran perhatian kepada orang-orang yang punya prestasi lewat pikiran, di sisi yang lain. Ironis. Tetapi, apa mau dikata, memang seperti itulah Paras dunia tipu-tipu. “Lelucon aneh tiap hari. Ku tertawa tanpa tapi. Tetaplah seperti ini,” begitu kata Yura Yunita di akhir lagunya.