Terdapat persoalan lebih Krusial ketimbang usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Persoalan itu ialah menyangkut rezim pilkades alias pemilihan kepala desa.
Masa jabatan kepala desa (kades) pada mulanya ialah enam tahun dan dapat dipilih kembali hanya Buat satu kali masa jabatan berikutnya. Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 204 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Rumusan Pasal 204 UU Pemda itu diubah dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014 menyebutkan kades memegang jabatan selama enam tahun terhitung sejak Lepas pelantikan. Pada ayat (2) disebutkan bahwa kades dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau Tak secara berturut-turut.
Dengan demikian, kades yang berprestasi akan berpotensi Buat menjabat selama 18 tahun. Apabila disetujui perpanjangan masa jabatan menjadi sembilan tahun, seorang kades Pandai menjabat selama 27 tahun. Waktu sembilan tahun itu ialah masa yang sangat Pelan bagi masyarakat desa Buat menunggu kepala desa yang bermasalah Tak Kembali menduduki jabatannya.
Masa jabatan yang panjang akan membuka Kesempatan Buat korupsi. Bukankah korupsi itu terjadi karena Terdapat Kesempatan dan Kesempatan itu muncul akibat sistem yang belum tertata dengan Bagus?
Penataan sistem itu Pandai dimulai dengan mempersoalkan apakah ideal masa jabatan selama enam tahun dan dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau Tak secara berturut-turut? Apakah Tak sebaiknya Sekalian jabatan yang dipilih langsung oleh rakyat dibatasi lima tahun dan dapat dipilih kembali Buat satu periode berikutnya?
Dalam perspektif itulah patut diapresiasi Anggota Nias, Eliadi Hulu, yang menggugat UU Desa ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan permintaan masa jabatan kades cukup lima tahun. Biarkan MK memutuskan yang terbaik Buat bangsa ini.
Masa jabatan kades selama enam tahun, Pandai saja diubah menjadi sembilan tahun, berpangkal dari ketidaksinkronan pengaturan rezim pilkades. Eloknya rezim pilkades disetarakan dengan rezim pemilu dan rezim pilkada sehingga dibuatkan undang-undang pilkades Buat masa jabatan lima tahun dan Pandai dipilih kembali Buat satu periode berikutnya.
Alternatif lain, setelah Terdapat penyatuan undang-undang pilpres dan pemilu legislatif, undang-undang pemilihan kepala daerah disatukan saja dengan pilkades. Penyelenggara pemilu, pilkada, pilkades ialah Komisi Pemilihan Standar (KPU) yang sebaiknya dibentuk hingga tingkat desa.
Kalau mau jujur, Tak Terdapat perbedaan signifikan antara tahapan pilkades dan tahapan pemilu ataupun pilkada. Tahapan pemilu dan pilkada dimulai dari tahapan penganggaran, pencalonan, Tamat pada tahapan pengucapan sumpah dan janji calon terpilih.
Tahapan pilkades juga sama sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.
Permendagri itu mengatur tahapan pilkades mulai persiapan, pencalonan, pendaftaran pemilih, pemungutan Bunyi, penghitungan Bunyi, hingga penetapan. Nyaris Sekalian peraturan daerah di setiap kabupaten menambahkan tahapan kampanye dan debat kandidat layaknya rezim pemilu dan rezim pilkada.
Apabila disandingkan secara saksama, Nyaris Tak Terdapat perbedaan dari tahapan persiapan Tamat penetapan calon antara rezim pemilu, rezim pilkada, dan rezim pilkades. Penyetaraan tiga rezim pemilu itu Bahkan memperkuat kedudukan pilkades dalam sistem ketatanegaraan.
Penguatan demokrasi secara substansial dan prosedural di tingkat desa itulah salah satu argumentasi pembentukan UU Desa. Desa yang Mempunyai tata pemerintahan yang lebih Uzur, Sepatutnya juga menjadi ujung tombak dalam setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Urusan rezim pilkades termasuk di dalamnya.