Kebangkitan Nasional Kedua

PERBINCANGAN seputar kebangkitan nasional selalu menyeruak saban 20 Mei. Kebangkitan nasional dari apa, apa yang mau dibangkitkan, siapa yang membangkitkan, dan apa target kebangkitan nasional itu? Diskursus kebangkitan nasional mengemuka dengan berbagai versinya.

Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) selalu dirayakan sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Mengertin 1985 tentang Penyelenggaraan Hari Kebangkitan Nasional.

Harkitnas dilatari terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Organisasi itu didirikan Dr Soetomo bersama sejumlah mahasiswa School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Jakarta.

Budi Utomo menjadi pelopor gerakan nasional yang menyatukan berbagai elemen masyarakat di tanah Nederlandsch-Indie untuk mencapai tujuan bersama, yaitu kemerdekaan. Itu adalah kebangkitan nasional Indonesia periode pada paruh pertama abad ke-20 di Nusantara (kini Indonesia).

Begitu ini kita memasuki era kebangkitan kedua, melanjutkan semangat kebangkitan pertama yang telah ditancapkan para pendiri bangsa. Era Indonesia menghadapi tantangan yang beragam, baik di dalam negeri atau pun di tingkat global.

Mengertin ini, Harkitnas diperingati untuk ke-116 kalinya. Tema yang diangkat ialah Bangun untuk Indonesia emas. Tema itu diangkat, menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, agar Harkitnas 2024 ini dapat membawa nilai-nilai semangat dan kekuatan untuk bangkit menuju Indonesia emas.

Cek Artikel:  Ruang Kesetaraan

Dua puluh satu tahun lagi menuju 2045, Indonesia genap berusia 100 tahun alias satu abad. Pada tahun tersebut, ditargetkan Indonesia sudah menjadi negara maju, modern, dan sejajar dengan negara-negara adidaya di dunia.

Tak mudah menuju arah sana karena negeri ini harus keluar dari middle-income trap. Perekonomian Indonesia harus bertengger di kisaran 6% hingga 7% untuk mencapai target negara berpendapatan tinggi atau negara maju pada 2045.

Faktanya masih jauh panggang dari api jika kita melihat pertumbuhan ekonomi pada dua periode pemerintahan Joko Widodo mengalami stagnasi di kisaran 5%. Badan Pusat Tetaptik (BPS) melaporkan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2023 sebesar 5,05%.

Bilangan itu bahkan melambat jika dibandingkan dengan 2022 sebesar 5,31%.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 memang menargetkan pertumbuhan ekonomi dalam kisaran 6,0%-6,2% pada akhir 2024, tetapi hal itu perlu upaya yang radikal, out of the box, dan strategi yang holistis untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi pada kisaran 6% di penghujung kekuasaan Jokowi, seperti perbaikan iklim investasi dan rasio investasi terhadap PDB atau incremental capital output ratio (ICOR).

Cek Artikel:  Memutus Rantai Kekerasan

Sasaran pertumbuhan ekonomi 6% seperti fatamorgana di tengah ketergantungan pada komoditas impor, ketahanan pangan yang rapuh, dan gejolak ekonomi global karena geopolitik dunia yang terus mendidih. Belum lagi perubahan iklim yang mencekam.

Tetapi, ketimbang menyalahkan kondisi global dan krisis iklim, sebaiknya kita melakukan introspeksi sejauh mana tata kelola pemerintahan yang baik dilakukan karena hal ini sangat fundamental bagi kukuhnya Indonesia bagi empasan badai ekonomi global.

Ibarat pepatah besar pasak daripada tiang. Itulah kondisi pembangunan di era Presiden Jokowi. Tengok saja, di era Orde Baru, sebelum krisis 1997, ICOR Indonesia hanya di kisaran 4. Selanjutnya, era Presiden Susilo Bambang yudhoyono ICOR Indonesia meningkat menjadi kisaran 5. Kini di era Presiden Jokowi ICOR memburuk menjadi di kisaran 6,5.

ICOR ialah parameter ekonomi makro yang menggambarkan rasio investasi modal terhadap hasil yang diperoleh (output). Konsep ICOR dikembangkan Sir Ray Harrod dan Evsey Domar atau lebih dikenal dengan Harrod-Domar model.

Tingginya ICOR di era Jokowi harus diwaspadai karena menunjukkan tidak efisiennya pembangunan, high cost economy, korupsi, dan sebagainya. Di sisi lain, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang diluncurkan Transparency International mengalami stagnasi pada 2023 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Cek Artikel:  Bilik Reyot Senator

Indonesia memperoleh skor 34 dan peringkatnya merosot dari ke-110 menjadi ke-115. Apabila ditengok ke belakang, skor IPK Indonesia saat ini sama dengan saat pertama kali Presiden Jokowi menjabat presiden pada 2014. Alhasil, tak ada kemajuan agenda pemberantasan korupsi dalam dua periode pemerintahan Jokowi.

Bahkan, Indonesian Corruption Watch menyebut korupsi di era Jokowi berlangsung ugal-ugalan. Pada 2023 terjadi lonjakan kasus korupsi dengan total 791 kasus dan 1.695 tersangka korupsi.

Memasuki kebangkitan nasional kedua, kita harus kembali kepada cita-cita bernegara yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang di antaranya berbunyi melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Indonesia harus kembali ke jalan yang benar, yakni negara hukum (rechtsstaat) dan memperkuat trias politica (eksekutif, legislatif, yudikatif). Akhiri ‘perselingkuhan’ elite yang membuat Indonesia terpuruk.

Presiden terpilih Prabowo Subianto dan wakilnya, Gibran Rakabuming Raka, harus bisa meletakkan landasan Indonesia emas, bukan Indonesia cemas. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai