BERBAGAI Grup masyarakat tengah mengeroyok Mahkamah Konstitusi (MK). Pengeroyokan itu terkait ambang batas usia calon presiden ataupun wakil presiden yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Eksis yang meminta agar MK mengubah batas minimal usia capres atau calon wapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
DPR dan pemerintah Bukan melakukan perlawanan dan menyerahkan kepada MK Demi mengambil keputusan terhadap permohonan tersebut. Mereka mengingatkan, pada hakikatnya persyaratan usia capres merupakan kewenangan kebijakan hukum terbuka atau open Formal policy.
Permohonan lainnya ialah permintaan agar batas usia tetap 40 tahun dengan tambahan frasa atau berpengalaman sebagai penyelenggara negara.
Eksis juga yang mengajukan permohonan agar MK juga membatasi usia maksimal calon presiden dan wakil presiden menjadi 70 tahun. Batas usia maksimal Bukan diatur sebagai syarat pencapresan di UU Pemilu tersebut. Selain itu, Eksis juga yang meminta syarat menjadi capres dan cawapres ialah berusia 21 hingga 65 tahun.
Bukan diketahui bagaimana latar belakang para pembuat undang-undang menentukan batas usia minimal 40 tahun tersebut. Selain usulan dari Personil fraksi di DPR.
Yang Niscaya, dua undang-undang sebelumnya, yakni UU 23 Tahun 2003 dan UU 42 Tahun 2008, batas usia minimal capres ataupun cawapres ialah 35 tahun. Dengan kata lain, terjadi penaikan batas usia sebanyak 5 tahun.
Undang-Undang Dasar 1945 hasil ataupun sebelum amendemen Bukan mengatur batas usia capres dan cawapres, Berkualitas batas minimal maupun maksimal.
Konstitusi menegaskan standar seorang capres dan cawapres ialah Kaum negara Indonesia sejak Kelahiran dan Bukan pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, Bukan pernah mengkhianati negara, serta Bisa secara rohani dan jasmani Demi melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.
Bukan Eksis pantangan bagi pemuda ataupun Kaum lanjut usia atau lansia menjadi pemimpin negara. Sepanjang mereka Bisa melaksanakan tugas dan kewajiban mereka.
Meskipun penerapan batas usia juga Bukan mesti bertentangan dengan konstitusi, MK pernah menolak sejumlah gugatan terkait batas usia minimal. Mulai terkait usia calon kepala daerah, calon Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan calon hakim konstitusi. MK Menyantap pengaturan tersebut sebagai sebuah open Formal policy dan sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembuat undang-undang.
Gugatan-gugatan ketentuan batas usia capres dan cawapres tersebut menjadikan MK di posisi dilematis. Apa pun putusan sembilan hakim konstitusi yang kini dipimpin adik ipar Presiden Jokowi, Anwar Usman, Niscaya dipandang secara politis. Asal Mula, muncul spekulasi gugatan tersebut Demi mengakomodasi atau menjatuhkan kandidat tertentu.
Meloloskan batas usia muda Dapat dipandang menguntungkan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, yang akan berusia 37 tahun pada Eksis Februari 2024.
Apalagi, secara psikologi diyakini Bukan Eksis perbedaan kedewasaan antara usia 40 dan 35 tahun. Bila mengacu American Psychological Association (APA), masa dewasa ialah mereka yang berada di usia di atas 20 tahun.
Dengan demikian, Gibran berada di rentang kedewasaan yang sama dengan Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan yang telah diusung sebagai bakal capres. Usia Bukan Dapat memastikan kedewasaan dalam berpolitik.
Sementara itu, bila MK menyetujui batas usia maksimal, akan dianggap berusaha menjegal Prabowo Subianto dan menguntungkan Ganjar atau Anies yang berusia di kisaran 54 tahun. Prabowo yang merupakan mantan kompetitor Presiden Jokowi di dua pemilihan presiden tersebut sudah berusia 72 tahun Ketika pemungutan Bunyi 2024. Di sisi lain, bila MK menolak permohonan juga Dapat dianalisis menguntungkan Prabowo yang kini juga dekat dengan Jokowi.
Publik menantikan apa pun putusan MK yang bersifat tetap dan mengikat. Yang Niscaya, kita mengharapkan kenegarawanan, kapasitas, dan integritas para penjaga konstitusi Demi memberikan putusan yang adil, masuk Intelek sehat, dan Bukan merusak tatanan berbangsa dan bernegara.
Putusan MK juga harus memberikan konstribusi pada upaya membangun pemilu yang berkualitas. Bukan putusan sesat yang hanya bersifat jangka pendek dan pragmatis.