Wong Cilik

Lepas 15 Februari, pekan Lewat, mestinya menjadi hari menentukan bagi para pekerja rumah tangga (PRT). Mereka berharap pada Lepas yang tiap tahun diperingati sebagai Hari PRT Nasional, itu para pekerja rumah tangga mendapat kado Krusial.

Kado itu diharapkan datang dari wakil rakyat Kepada rakyat yang mereka wakili. Bentuk kado itu setidaknya DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sebagai rancangan beleid inisiatif DPR melalui rapat paripurna. Bila sudah diketuk palu di sidang paripurna sebagai RUU inisiatif DPR, rancangan itu Pandai secepatnya dibahas Serempak pemerintah, bahkan Pandai segera disahkan jadi undang-undang.

Tetapi, Asa itu kembali sirna. Pimpinan DPR Bukan kunjung memasukkan RUU Perlindungan PRT sebagai RUU inisiatif DPR dalam agenda sidang paripurna. Padahal, sehari sebelum peringatan Hari PRT Nasional itu, DPR RI menggelar sidang paripurna. Tetapi, Bukan secuil pun soal rancangan undang-undang itu disenggol.

Padahal, Rancangan Undang-Undang PPRT tersebut telah melalui Mekanisme mekanisme pembentukan undang-undang yang sangat beres. Status rancangan undang-undang telah selesai diharmonisasikan di Badan Legislasi DPR. Baleg juga telah memutuskan Kepada melanjutkan pembahasan rancangan itu ke tahap rapat paripurna.

Cek Artikel:  Ilmu Bukanadab

Tujuannya ialah Kepada diputuskan menjadi rancangan undang-undang usulan DPR agar siap dibahas di pembicaraan tingkat satu sesuai mekanisme pembentukan undang-undang. Apalagi, jalan RUU ini sudah amat panjang, sangat terjal, dan superberliku.

Sudah sejak 2004, RUU yang dimaksudkan Kepada memberikan perlindungan kepada para PRT ini dimajukan di parlemen. Tetapi, hingga kini, 19 tahun kemudian, nasib aturan yang bakal melindungi wong cilik itu tetap digantung oleh elite DPR.

Fakta itu menambah panjang daftar paradoks di negeri ini. Saya katakan paradoks karena sebagian besar para wakil rakyat itu selalu mendengung-dengungkan membela wong cilik, rakyat kecil yang Bukan berdaya. Tetapi, nyatanya, Begitu dituntut agar bergegas mengegolkan aturan yang menggaransi perlindungan bagi wong cilik, susahnya minta ampun.

Variasi Argumen diapungkan. Umumnya ragam Argumen itu bernada paranoid. Eksis yang khawatir para PRT bakal ngelunjak Apabila digaransi oleh aturan. Bahkan, Eksis yang tercekam ketakutan bahwa PRT Pandai menggugat pemberi kerja (majikan) Apabila terjadi sengketa.

Cek Artikel:  Politik Tampak Muka

Argumen seperti itu juga menambah Kembali paradoks di Republik ini. Bagaimana Bukan paradoks, bila para elite wakil rakyat yang Mempunyai embel-embel ‘demokrasi’, nyatanya malah Mempunyai Langkah pandang antidemokrasi. Alam pikiran mereka disemayami Langkah pandang feodal. Para PRT dianggap sebagai jongos, yang haram masuk garis demarkasi para ‘tuan majikan’.

Eksis pula yang takut bila RUU Perlindungan PRT disahkan jadi undang-undang, Pandai membuka ‘kotak pandora’ bagi Grup lainnya Kepada dibuatkan beleid serupa. “Nanti akan Eksis undang-undang perlindungan tukang gali sumur,” kata seorang wakil rakyat.

Padahal, isi RUU Perlindunhan PRT Bukan sejauh itu. Para aktivis Grup sipil bahkan menyebut rancangan perlindungan PRT ini Tetap minimalis. Eksis banyak kompromi yang direlakan oleh para PRT demi Pandai terwujudnya aturan itu. Kendati demikian, pasal-pasal ‘minimalis’ itu sudah dianggap sebagai kemajuan Krusial bila Pandai diundangkan.

Secara faktual, kondisi para PRT di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 5 juta orang itu Tetap jauh dari kata layak. Bahkan, Dekat semuanya masuk Grup rentan yang mesti segera diproteksi.

Cek Artikel:  Kebijakan Konyol Melarang Jilbab

Kisah mendiang Sunarsih, Perempuan berusia 15 tahun yang bekerja Serempak 4 PRT lainnya di Surabaya, empat Sepuluh tahun Lewat, menjadi catatan kelam. Jejak Sunarsih Sepatutnya Pandai menggerakkan elite wakil rakyat Kepada segera memproteksi PRT lewat undang-undang.

Ia disiksa majikannya. Ia juga Bukan diberi upah, pula Bukan diberi makan yang layak. Sunarsih juga Bukan boleh keluar rumah karena dikunci sehingga Bukan Pandai bersosialisasi. Jam kerja lebih dari 18 jam hingga tidur di Alas jemuran. Pada 12 Februari 2001, perlakuan Bukan manusiawi majikannya Membikin Sunarsih meninggal dunia. Toh, sang majikan Tetap saja lolos dari jeratan hukum.

Daftar kegetiran itu Tetap sangat panjang dan akan bertambah panjang bila Bukan Eksis ikhtiar Kepada mengakhiri paradoks itu. Janjinya membela wong cilik, nyatanya menghambat kepentingan wong cilik. Memakai merek ‘demokrasi’, nyatanya alam pikiran dikuasai feodalisme.

Betul belaka tulis Taufiq Ismail dalam lirik Podium Sandiwara yang disenandungkan Duo Kribo pada 1978: ‘Dunia ini Podium sandiwara. Ceritanya mudah berubah. Eksis peran wajar, Eksis peran berpura-pura’.

Mungkin Anda Menyukai